Selasa, 27 September 2011

KEKASIH ALLAH DAN KEKASIH SETAN


Allah berfirman,
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa." (Yunus: 62-63)
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa wali adalah orang mukmin yang bertaqwa dan menjauhi maksiat. Ia berdo'a hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Terkadang tampak padanya karamah ketika sedang dibutuhkan. Seperti karamah Maryam ketika ia mendapatkan rizki berupa makanan di rumahnya.
Maka, wilayah (kewalian) memang ada. Tetapi ia tidak terjadi kecuali pada hamba yang mukmin, ta'at dan mengesakan Allah. Karamah tidak menjadi syarat untuk seseorang disebut wali, sebab syarat demikian tidak diberitahukan oleh Al-Qur'an.
Wilayah itu tidak mungkin terjadi pada seorang fasik atau musyrik yang berdo'a dan memohon kepada selain Allah. Sebab hal itu termasuk amalan orang-orang musyrik, sehingga bagaimana mungkin mereka menjadi para wali yang dimuliakan...?
Wilayah tidak bisa diperoleh melalui warisan dari nenek moyang atau keturunan, tetapi ia didapatkan dengan iman dan amal shalihnya.
Apa yang tampak pada sebagian ahli bid'ah seperti memukul-mukulkan besi ke perut, memakan api dan sebagainya dengan tidak menimbulkan cedera apapun, maka itu adalah dari perbuatan setan. Hal yang demikian bukan karamah tetapi istidraaj agar mereka semakin jauh tenggelam dalam kesesatan.
Allah berfirman,
"Katakanlah, 'Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo bagi-nya'." (Maryam: 75)
Mereka yang pergi ke India, akan menyaksikan orang-orang Majusi lebih dari itu. Di antaranya mereka saling memukulkan pedang, dengan tidak menimbulkan bahaya apapun, padahal mereka adalah orang-orang kafir.
Islam tidak mengakui berbagai perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam tersebut, juga tidak oleh para sahabatnya. Seandainya di dalam perbuatan tersebut terdapat kebaikan, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita.
Menurut persepsi kebanyakan manusia, wali adalah orang yang mengetahui ilmu ghaib. Padahal ilmu ghaib adalah sesuatu yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Memang, terkadang hal itu di-tampakkan pada sebagian RasulNya, jika Dia menghendakinya. Allah berfirman,
"(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya". (Al-Jin: 26-27)
Dengan tegas, ayat di atas mengkhususkan para rasul, dan tidak menyebutkan yang lain.
Sebagian orang menyangka bahwa setiap kuburan yang dibangun di atasnya kubah adalah wali. Padahal bisa jadi kuburan tersebut di dalamnya adalah orang fasik, atau bahkan mungkin tak ada manusia yang dikubur di dalamnya.
Membangun sesuatu bangunan di atas kuburan adalah diharamkan oleh Islam. Dalam sebuah hadits shahih ditegaskan,
"Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam melarang mengapur kuburan atau dibangun sesuatu di atasnya." (HR. Muslim)
Seorang wali bukanlah yang dikuburkan di dalam masjid, atau yang dibangun di atasnya suatu bangunan atau kubah. Hal ini justru melanggar ajaran syari'at Islam. Demikian pula, mimpi bertemu dengan mayit tidak merupakan dalil secara syara' atas kewalian. Bahkan bisa jadi ia adalah bunga tidur yang berasal dari setan.
KHURAFAT, BUKAN KARAMAH
Dalam salah satu edisinya, di bawah judul "Khurafat Seputar Ad-Dasuki", majalah At-Tauhid menulis, "Dalam hasyiah (catatan pinggir) kitab Ash-Shawi disebutkan, "Sesungguhnya Dasuki bisa berbicara dengan segala bahasa; bahasa asing dan bahasa Suryani. Bahasa binatang dan bahasa burung. Ia telah berpuasa sejak dalam buaian, melihat Lauh Mahfuzh, telapak kakinya tidak pernah menginjak bumi, ia bisa memindahkan nasib muridnya dari sengsara menjadi bahagia, dunia di tangannya dibuat laksana cincin, dan dia telah sampai ke Sidratul Muntaha".
Ini adalah omong kosong. Tak seorang pun yang akan mempercayainya, kecuali orang yang amat bodoh sekali. Bahkan hal itu adalah suatu kekufuran yang nyata. Bagaimana mungkin ia bisa melihat Lauf Mahfuzh, yang Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam penghulu semua makhluk tak pernah melihatnya …?
Bagaimana mungkin ia bisa memindahkan nasib murid-muridnya dari sengsara menjadi bahagia …? Semua ini adalah khurafat yang dibuat-buat oleh orang-orang shufi yang angkuh dan sombong. Mereka tidak sadar, sesungguhnya mereka berada di dalam kesesatan yang nyata.
Karena itu pembaca, hindarilah kitab-kitab yang memuat berbagai khurafat semacam ini. Di antaranya kitab At-Tabaqaatul Kubraa, oleh Sya'rani. Khaziinatul Asraar, Nuzhatul Majaalis, Ar-Raudhul Faa'iq, Mukasyafatul Quluub, oleh Al-Ghazali. Al-'Araa'is, oleh Ats-Tsa'aalibi. Semua kitab itu haram dicetak dan diperjualbelikan.

PERTOLONGAN ALLAH KEPADA UMAT ISLAM


 
"Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman". (Ar-Ruum: 47)
Ayat Al-Qur'an ini menjelaskan bahwa Allah menjanjikan pertolongan bagi orang-orang beriman atas musuh-musuhnya. Ini adalah janji yang tidak mungkin diingkari.
Allah telah menolong RasulNya dalam peperangan Badr, Ahzab dan lainnya dari peperangan yang beliau lakukan. Demikian juga menolong para sahabat Rasulullah  sepeninggal beliau dalam meng-hadapi musuh-musuhnya. Karena itu Islam tersebar luas di banyak penjuru dunia. Islam mencapai kemenangan meskipun melalui banyak tragedi dan musibah.
Kesudahan yang baik memang pada akhirnya milik orang-orang yang benar-benar percaya kepada Allah. Yaitu mereka yang beriman kepadaNya, mengesakanNya di dalam beribadah dan berdo'a, baik dalam masa kesempitan maupun kelapangan.
Renungkanlah, bagaimana Al-Qur'an mengisahkan keadaan orang-orang beriman ketika terjadi perang Badar. Jumlah mereka relatif sedikit, juga perbekalan yang mereka bawa. Dalam kondisi seperti itu mereka kemudian berdo'a kepada Allah.
"(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhan-mu, lalu diperkenankanNya bagimu, 'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut'." (Al-Anfaal: 9)
Allah mengabulkan do'a mereka, menurunkan bala bantuan malaikat yang berperang bersama-sama mereka. Para malaikat memenggal kepala orang-orang kafir dan memancung ujung-ujung jari mereka. Allah berfirman,
"Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka." (Al-Anfaal: 12)
Akhirnya tercapailah kemenangan di tangan orang-orang beriman yang mengesakan Allah. Allah berfirman,
"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakallah kepada Allah, supaya kamu men-syukuriNya." (Ali Imran: 123)
Dan di antara do'a Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam ketika perang Badar yaitu,
"Ya Allah, seandainya Engkau hancurkan kelompok dari orang-orang Islam ini, niscaya Engkau tidak disembah di bumi". (HR Muslim)
Pada saat ini, di banyak negara, kita menyaksikan umat Islam melakukan peperangan dengan musuh-musuhnya. Tetapi mereka tidak mendapat kemenangan. Lalu apa gerangan sebabnya? Apakah Allah mengingkari janjiNya kepada orang-orang beriman? Tidak, sama sekali tidak! Allah tidak mengingkari janjiNya. Tetapi yang perlu kita tanyakan kemudian adalah, di manakah orang-orang beriman sehingga datang kepada mereka kemenangan sebagaimana yang dijanjikan oleh ayat Allah di atas? Marilah kita bertanya kepada para mujahidin:
  1. Apakah mereka mempersiapkan diri dengan iman dan tauhid yang dengan keduanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memulai dakwahnya di Makkah sebelum beliau melakukan peperangan?
  2. Apakah mereka melakukan ikhtiar sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam firmanNya,
    "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi". (Al-Anfaal: 60)
    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menafsirkan ayat di atas dengan (persiapan) melempar.
  3. Apakah mereka berdo'a kepada Allah dan mengesakanNya dalam berdo'a, saat berkecamuk perang. Atau sebaliknya, mereka menyekutukanNya dengan yang lain sehingga meminta pertolongan dari selainNya, yang mereka percayai memiliki kekuasaan. Padahal mereka adalah hamba Allah, yang tidak memiliki manfaat dan mudharat untuk dirinya sendiri.
    Lalu, mengapa mereka tidak meneladani Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dalam berdo'a yang hanya ditujukan kepada Allah semata? Bukankah Allah telah berfirman,
    "Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya?" (Az-Zumar: 36)
  4. Apakah mereka bersatu, saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain, sehingga semboyan dan syi'ar mereka adalah firman Allah,

    "Dan janganlah Kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu." (Al-Anfaal: 46)
  5. Yang terakhir, ketika umat Islam meninggalkan aqidah dan perintah-perintah agama mereka, maka mereka menjadi umat yang terbelakang. Sebaliknya jika mereka kembali lagi kepada agama mereka, niscaya akan kembali pula kemajuan dan kemuliaan mereka, sebab pada hakekatnya Islam mewajibkan umat untuk maju di bidang ilmu dan kebudayaan.
Sungguh jika kalian merealisasikan iman sebagaimana yang telah diperintahkan, niscaya akan datang pertolongan yang dijanjikan kepada kalian.
Allah berfirman,
"Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman." (Ar-Ruum: 47)

SYARAT-SYARAT TURUNNYA PERTOLONGAN


Orang yang membaca Sirah Nabawiyah (Pejalanan Hidup Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam), serta jilhad beliau, maka ia akan melihat beberapa periode berikut ini:
  1. Periode Tauhid:
    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam tinggal di Makkah selama tiga belas tahun. Selama itu, beliau menyeru kaumnya untuk bertauhid dan mengesakan Allah dalam beribadah, berdo'a dan mengambil hukum serta menyeru untuk memerangi kemusyrikan. Hal itu terus beliau lakukan selama masa tersebut, sehingga aqidah Islam menjadi kokoh dan teguh dalam jiwa setiap sahabat, dan jadilah mereka orang-orang pemberani yang tidak takut kecuali kepada Allah.

    Karena itu, para da'i hendaknya memulai dakwahnya dengan mengajak kepada tauhid dan memperingatkan agar mereka tidak terjerumus dalam perbuatan musyrik. Dengan demikian, ia telah mengikuti teladan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dalam berdakwah.
     
  2. Periode Ukhuwah (Persaudaraan):
    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk mem-bangun sebuah masyarakat muslim yang tegak berdasarkan saling cinta dan kasih sayang.

    Hal yang pertama beliau lakukan adalah membangun masjid, tempat berkumpul nya umat Islam dalam beribadah kepada Allah. Di dalamnya, mereka berkumpul
    lima kali sehari, untuk mengatur hidup mereka.

    Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam segera mempersaudarakan antara kaum Anshar, penduduk pribumi (Madinah) dengan orang-orang Muhajirin dari Makkah, yang hijrah dengan meninggalkan semua harta benda mereka. Orang-orang Anshar pun lalu menawarkan harta mereka kepada kaum Muhajirin, serta membantu memenuhi apa yang mereka butuhkan.

    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mengetahui bahwa terjadi saling bermusuhan antara sebagian penduduk Madinah. Yaitu antara suku Aus dan Khazraj. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mendamaikan di antara mereka, menjadikan mereka bersaudara yang satu sama lain saling mencintai dalam ikatan iman dan tauhid. Seperti ditegaskan dalam sabda beliau, "Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya ...".
     
  3. Periode Persiapan:
    Dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala memerintahkan agar umat Islam bersiap siaga untuk menghadapi musuh-musuh Islam. Allah berfirman,
    "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang kamu sanggupi." (Al-Anfaal: 60)
    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menafsirkan ayat ini dengan sabdanya,

    "Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah (kepandaian) melempar." (HR. Muslim)

    Melempar dan mengajarkannya adalah wajib atas setiap muslim, sesuai dengan kemampuannya. Meriam, tank baja, pesawat tempur dan berbagai senjata lainnya, semua membutuhkan latihan dan belajar melempar ketika menggunakannya. Alangkah baiknya jika para siswa di sekolah-sekolah diajari olah raga melempar atau memanah. Lalu digalakkan lomba untuk jenis olah raga tersebut, sehingga anak-anak menjadi siap guna mempertahankan agama dan tempat-tempat suci mereka.

    Sayang sekali, anak-anak sekarang lebih suka menghabiskan waktunya dengan bermain bola, dengan penyelenggaraan pertandingan di sana-sini. Mereka membuka paha (aurat) padahal Islam menyuruh kita untuk menutupinya, serta meninggalkan shalat padahal Allah menyuruh kita untuk menjaganya.
     
  4. Ketika kita kembali kepada aqidah tauhid,

    saling berkasih sayang dalam ikatan persaudaraan Islam, serta telah siap menghadapi musuh dengan berbagai senjata yang dimiliki. Maka insya Allah akan turunlah pertolongan buat kaum muslimin, sebagaimana pertolongan itu telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, dan kepada para sahabat sesudah beliau wafat.
    Allah berfirman,
    "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedu-dukanmu." (Muhammad: 7)
     
  5. Urutan periode sebagaimana di atas,
    tidak berarti masing-masing periode berdiri sendiri. Dengan kata lain, bahwa periode ukhuwah, tidak disertai oleh periode tauhid, tetapi periode-periode tersebut saling mengisi dan berhubungan erat.

TAWASSUL YANG DILARANG


 
Tawassul yang dilarang adalah tawassul yang tidak ada dasarnya dalam agama Islam.
Di antara tawassul yang dilarang yaitu:
  1. Tawassul dengan orang-orang mati, meminta hajat dan memo-hon pertolongan kepada mereka, sebagaimana banyak kita saksikan pada saat ini.
    Mereka menamakan perbuatan tersebut sebagai tawassul, padahal sebenarnya tidak demikian. Sebab tawassul adalah memohon kepada Allah dengan perantara yang disyari'atkan.
    Seperti dengan perantara iman, amal shalih, Asmaa'ul Husnaa dan sebagainya.

    Berdo'a dan memohon kepada orang-orang mati adalah berpaling dari Allah. Ia termasuk syirik besar. Allah Subhanahu wata'ala  berfirman,

    "Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim".
    (Yunus: 106)
    Orang-orang zhalim dalam ayat di atas berarti orang-orang musyrik.
     
  2. Tawassul dengan kemuliaan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. Seperti ucapan mereka, "Wahai Tuhanku, dengan kemuliaan Muhammad, sembuhkanlah aku." Ini adalah perbuatan bid'ah. Sebab para sahabat tidak melakukan hal tersebut.
    Adapun tawassul yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab dengan do'a paman Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, Al-Abbas adalah semasa ia masih hidup. Dan Umar tidak ber-tawassul dengan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam setelah beliau wafat.
    Sedangkan hadits,

    "Bertawassullah kalian dengan kemuliaanku."

    Hadits tersebut sama sekali tidak ada sumber aslinya. Demikian menurut Ibnu Taimiyah.
    Tawassul bid'ah ini bisa menyebabkan pada kemusyrikan. Yaitu jika ia mempercayai bahwa Allah membutuhkan perantara. Sebagai-mana seorang pemimpin atau penguasa. Sebab dengan demikian ia menyamakan Tuhan dengan makhlukNya.
    Abu Hanifah berkata, "Aku benci memohon kepada Allah, dengan selain Allah."
    Demikian seperti disebutkan dalam kitab Ad-Durrul Mukhtaar.
     
  3. Meminta agar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mendo'akan dirinya setelah be-liau wafat, seperti ucapan mereka, "Ya Rasulullah do'akanlah aku", ini tidak diperbolehkan. Sebab para sahabat tidak pernah melakukannya. Juga karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,

    "Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo'akan kepada (orang tua)-nya." (HR. Muslim)

Menakar hukum FB dalam Islam

Beberapa waktu lalu, tersiar kabar bahwa salah satu organisasi Islam di Jawa Timur mewacanakan pengharaman facebook. Tentu saja kabar ini segera menarik respon banyak kalangan, baik dari masyarakat umum maupun Majelis Ulama Indonesia. Dalam wawancara di sebuah stasiun televisi, ketua MUI, H. Amidhan, membantah kalau pengharaman itu berasal dari MUI. Sementara, pendapat masyarakat yang diwawancarai mengenai pengharaman facebook oleh ulama ditanggapi dingin. Menurutnya, ulama yang mengharamkan facebook “kurang kerjaan”.

Ormas Islam dan Fatwa

Dalam Al Qur’an, terdapat perintah agar suatu masyarakat Islam mempunyai sekumpulan orang ahli dalam bidang agama. Sekelompok orang ini difasilitasi oleh masyarakat tersebut untuk menjadi kelompok cendekia. Tugas mereka setelah selesai belajar adalah kembali ke masyarakat untuk mengajarkan agama kepada mereka.

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS At Taubah [9]: 122)

www.sjdowntown.com

www.sjdowntown.com
Ayat ini setidaknya memberi ruang bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk menyusun sendiri program keagamaan mereka. Sehingga, hampir setiap organisasi masyarakat yang berbasis agama Islam mempunyai semacam ‘majelis fatwa’. NU dan Muhammadiyah misalnya masing-masing mempunyai majelis fatwa dan majelis tarjih. Demikian juga dengan ormas Islam lainnya. Tujuan dari majelis atau dewan fatwa ini adalah untuk merumuskan hukum atas suatu masalah dengan metode istinbath (perumusan) hukum yang sesuai dengan faham masing-masing.

Selain majelis fatwa, beberapa organisasi dan pesantren juga mempunyai program rutin yang disebut pembahasan masalah (bahtsul masa’il). Kegiatan ini biasanya terbuka untuk umum dengan menghadirkan beberapa ahli sebagai narasumber. Topik yang dibahas bermacam-macam. Baik persoalan yang baru muncul maupun persoalan lama yang dianggap masih menyisakan perdebatan. Hasil dari pembahasan ini ada yang di publikasikan ke luar institusi, ada pula yang cukup hanya menjadi hasil kajian internal.

Hasil dari perumusan hukum yang dihasilkan oleh majelis fatwa dan kesimpulan dari bahtsul masa’il oleh institutsi Islam bukanlah fatwa secara mutlak. Sebab fatwa harus dikeluarkan oleh institusi yang resmi dan mengikat secara menyeluruh kepada umat Islam. Oleh karena itu, apapun yang dihasilkan, baik oleh mejelis fatwa dari satu ormas Islam maupun hasil kajian dari sebuah institusi keislaman seyogyanya dilimpahkan kepada Majelis Ulama Indonesia, sebagai institusi resmi di Indoensia. MUI inilah yang mempunyai kapasitas mengeluarkan fatwa.

Facebook dan Etika Islam

Facebook merupakan sebuah fitur yang memungkinkan seseorang berkomunikasi dengan banyak orang secara sangat mudah. Facebook menjadikan pertemanan semakin mudah dan dekat. Seseorang di Jakarta dapat memperoleh teman atau kenalan di New York dan berkomunikasi dengannya hampir di setiap saat dengan biaya sangat murah. Facebook juga memungkinkan mereka saling bertukar foto dan profil masing-masing sehingga lebih saling mengenal jauh lebih baik dari sekedar berkomunikasi lewat telpon.

Bagaimana dengan etika dalam komunikasi facebook? Sama halnya dengan komunikasi via telepon yang sudah lebih dulu digunakan, komunikasi via facebook juga menuntut etika tertentu. Meski secara teknis tidak ada pembatasan dalam hal berucap atau penayangan profil –bisa saja seseorang berkata-kata tidak senonoh atau menampilkan profil yang kurang bersusila- akan tetapi sanksi moral yang diperoleh justru lebih berat dan lebih cepat. Sebab dalam facebook, profil seseorang yang sudah menjadi “teman” dapat dilihat dan diakses oleh temannya yang lain. Karena itu, seseorang akan berpikir seribu kali jika dia ingin menampilkan sesuatu yang “jorok”. Itu sama saja dengan bertelanjang di muka umum.

Dalam etika Islam, sangat tidak disukai (baca: dilarang) seorang pria dan wanita yang bukan muhrim berdua-duaan. Rasulullah saw. Bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian bersunyi-sunyi dengan seorang perempuan lain kecuali disertai muhrimnya”. HR Bukhari dan Muslim.

Hadis di atas mengisyaratkan suatu prinsip dasar etika pergaulan dalam Islam berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Prinsip tersebut adalah larangan pria dan wanita yang bukan muhrim untuk berduaan di tempat yang sunyi. Kalau kasusnya ditarik kepada kasus facebook, maka pertanyaannya adalah apakah berkomunikasi dalam facebook itu sama dengan atau sama bahayanya dengan berduaan di tempat sunyi. Jika sama, tentu hukumnya akan sama pula. Jika tidak, maka hukumnya tidak bisa dipersamakan. Dalam metodologi hukum Islam, metode ini disebut analogi atau qiyas.

Prinsip etika Islam lainnya dalam bergaul adalah larangan bergunjing, menhasut, berkata porno, serta perintah untuk mengucapkan sapaan yang baik, menjawab salam dan seterusnya. Prinsip-prinsip ini jika dapat diterapkan dalam pergaulan dan komunikasi facebook tentu menjadi pergaulan yang baik.

Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat difahami bahwa facebook sebagai alat dan media komunikasi menempati posisi bebas nilai. Seperti halnya telepon, surat menyurat, dan sebagainya, facebook tidak menempati posisi halal atau haram. Tatacara berkomunikasi, isi komunikasi, serta profil yang ditampilkan, itulah yang bisa dinilai. Apakah sesuai dengan norma dan etika Islam atau tidak. Seorang muslim selayaknya memperhatikan nilai-nilai akhlak Islam dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam menggunakan facebook.[]

TAWASSUL YANG DISYARI'ATKAN


Allah berfirman,
 "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri KepadaNya." (Al-Maa'idah: 35)
Qatadah berkata, "Dekatkanlah dirimu kepadaNya, dengan keta'atan dan amal yang membuatNya ridha."
Tawassul yang disyari'atkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Qur'an, diteladankan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan dipraktekkan oleh para sahabat.
Di antara tawassul yang disyari'atkan yaitu:
  1. Tawassul dengan iman:
    Seperti yang dikisahkan Allah dalam Al-Qur'an tentang hamba-Nya yang bertawassul dengan iman mereka. Allah berfirman,

    "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), 'Berimanlah kamu kepada Tuhanmu', maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." (Ali Imran: 193)
     
  2. Tawassul  dengan mengesakan Allah:
    Seperti do'a Nabi Yunus Alaihis Salam, ketika ditelan oleh ikan Nun. Allah  mengisahkan dalam firmanNya:

    "Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, 'Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim. Maka Kami telah memperkenankan do'anya, dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (Al-Anbiyaa': 87-88)
     
  3. Tawassul dengan Nama-nama Allah:
    Sebagaimana tersebut dalam firmanNya,
    "Hanya milik Allah Asma'ul Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma'ul Husna itu." (Al-A'raaf: 180)
    Di antara do'a Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dengan Nama-namaNya yaitu:

    "Aku memohon KepadaMu dengan segala nama yang Engkau miliki." (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan shahih)
     
  4. Tawassul dengan Sifat-sifat Allah:
    Sebagaimana do'a Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam,

    "Wahai Dzat Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya), dengan rahmatMu aku mohon pertolongan." (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan)
     
  5. Tawassul dengan amal shalih:
    Seperti shalat, berbakti kepada kedua orang tua, menjaga hak dan amanah, bersedekah, dzikir, membaca Al-Qur'an, shalawat atas Nabi Shallallahu'alaihi wasallam, kecintaan kita kepada beliau dan kepada para sahabatnya, serta amal shalih lainnya.

    Dalam kitab Shahih Muslim terdapat riwayat yang mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Lalu masing-masing ber-tawassul dengan amal shalihnya. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya, berupa memelihara hak buruh. Orang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tua. Orang yang ketiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan. Akhirnya Allah membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalanginya, sampai mereka semua selamat.
     
  6. Tawassul dengan meninggalkan maksiat:
    Misalnya dengan meninggalkan minum khamr (minum-minuman keras), berzina dan sebagainya dari berbagai hal yang diharamkan. Salah seorang dari mereka yang terperangkap dalam gua, juga ber-tawassul dengan meninggalkan zina, sehingga Allah menghilangkan kesulitan yang dihadapinya.

    Adapun umat Islam sekarang, mereka meninggalkan amal shalih dan bertawassul dengannya, lalu menyandarkan diri ber-tawassul dengan amal shalih orang lain yang telah mati. Mereka melanggar petunjuk Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan para sahabatnya.
     
  7. Tawassul dengan memohon do'a kepada para nabi dan orang-orang shalih yang masih hidup.
    Tersebutlah dalam riwayat, bahwa seorang buta datang kepada Nabi Shallallahu'alaihi wasallam. Orang itu berkata, "Ya Rasulullah, berdo'alah kepada Allah, agar Dia menyembuhkanku (sehingga bisa melihat kembali)." Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menjawab, "Jika engkau menghendaki, aku akan berdo'a untukmu, dan jika engkau menghendaki, bersabar adalah lebih baik bagimu." Ia (tetap) berkata, "Do'akanlah." Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna, lalu shalat dua rakaat, selanjutnya beliau menyuruhnya berdo'a dengan mengatakan,

    "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadap kepadaMu dengan (perantara) NabiMu, seorang Nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan (perantara)mu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar dipenuhiNya untukku. Ya Allah jadikanlah ia pemberi syafa'at kepadaku, dan berilah aku syafa'at (pertolongan) di dalamnya." la berkata, "Laki-laki itu kemudian mela-kukannya, sehingga ia sembuh." (HR. Ahmad, hadits shahih)
Hadits di atas mengandung pengertian bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berdo'a untuk laki-laki buta tersebut dalam keadaan beliau masih hidup. Maka Allah mengabulkan do'anya.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memerintahkan orang tersebut agar berdo'a untuk dirinya. Menghadap kepada Allah untuk meminta kepadaNya agar Dia menerima syafa'at NabiNya Shallallahu'alaihi wasallam. Maka Allah pun menerima do'anya.
Do'a ini khusus ketika Nabi Shallallahu'alaihi wasallam masih hidup. Dan tidak mungkin berdo'a dengannya setelah beliau wafat. Sebab para sahabat tidak melakukan hal itu. Juga, orang-orang buta lainnya tidak ada yang mendapatkan manfa'at dengan do'a itu, setelah terjadinya peristiwa tersebut.

FENOMENA SYIRIK


 
Fenomena dan kenyataan perbuatan syirik yang bertebaran di dunia Islam merupakan sebab utama terjadinya musibah yang menimpa umat Islam. Juga sebab dari berbagai fitnah, kegoncangan dan peperangan serta berbagai siksa lainnya yang ditimpakan Allah atas kaum muslimin.
Hal itu terjadi karena mereka berpaling dari tauhid, serta karena perbuatan syirik yang mereka lakukan dalam aqidah dan perilaku mereka.
Bukti yang jelas dari hal itu adalah apa yang kita saksikan di sebagian besar negara-negara Islam. Berbagai fenomena kemusyrikan, justru oleh sebagian besar umat Islam dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam, karena itu mereka tidak mengingkari dan menolaknya.
Islam datang untuk menghancurkan berbagai bentuk kemusyrikan, atau berbagai fenomena yang menyebabkan seseorang terjerumus ke perbuatan syirik. Di antara fenomena syirik yang terjadi ialah:
  1. Berdo'a kepada selain Allah:
    Hal ini tampak jelas dalam nyanyian-nyanyian dan senandung mereka, yang sering diperdengarkan pada peringatan maulid atau pada peringatan-peringatan bersejarah lainnya.Penulis pernah mendengar mereka menyanyikan kasidah.

    "Wahai imam para rasul, wahai sandaranku.
    Engkau adalah pintu Allah, dan tempat aku bergantung.
    Di dunia serta akhiratku.
    wahai Rasulullah, bimbinglah diriku.
    Tak ada yang menggantikanku dari kesulitan kepada kemudahan, kecuali engkau, wahai mahkota yang hadir"
    Seandainya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mendengar nyanyian di atas, tentu Rasulullah akan berlepas diri daripadanya. Sebab tidak ada yang bisa mengubah dari kesulitan menjadi kemudahan kecuali Allah semata. Nyanyian-nyanyian dan pujian yang sama, banyak kita jumpai di koran-koran, majalah dan buku. Di antara isinya adalah memohon pertolongan, bantuan dan kemenangan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, para wali dan orang-orang shalih yang sebenarnya mereka tidak mampu melakukannya.
     
  2. Mengubur para wali dan orang-orang shalih di dalam masjid:
    Banyak kita saksikan di negara-negara Islam, kuburan berada di dalam masjid. Terkadang di atas kuburan itu dibangun kubah, lalu orang-orang datang memintanya, sebagai sesembahan selain Allah. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melarang hal ini dengan sabdanya:

    "Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid (atau tempat bersujud menyembah Tuhan)." (Muttafaq alaih)

    Jika menguburkan para nabi di dalam masjid tidak diperintahkan, bagaimana mungkin dibolehkan mengubur para syaikh dan ulama di dalamnya? Apakah lagi telah dimaklumi, kadang-kadang orang yang dikubur tersebut dijadikan tempat berdo'a dan meminta, sebagai sesembahan selain Allah. Karena itu ia merupakan sebab timbulnya perbuatan syirik. Islam mengharamkan syirik dan mengharamkan perantara yang bisa menyebabkan kepadanya.
     
  3. Nadzar untuk para wali:
    Sebagian manusia ada yang melakukan nadzar berupa binatang sembelihan, harta atau lainnya untuk wali tertentu. Nadzar semacam ini adalah syirik dan wajib tidak dilangsungkan. Sebab nadzar adalah ibadah, dan ibadah hanyalah untuk Allah semata. Adapun contoh nadzar yang dibenarkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh isteri Imran. Allah Ta'ala berfirman:

    "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis)," (Ali Imran: 35)
     
  4. Menyembelih di kuburan para nabi atau wali:
    Meskipun penyembelihan yang dilakukan dikuburan para nabi atau wali dengan niat untuk Allah, tetapi ia termasuk perbuatan orang-orang musyrik. Mereka menyembelih binatang di tempat berhala dan patung-patung wali mereka. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

    "Allah melaknat orang yang menyembelih selain Allah."
    (HR. Muslim)
     
  5. Thawaf sekeliling kuburan para wali:
    Seperti mengelilingi kuburan Syaikh Abdul Qadir Jaelani, Syaikh Rifa'i, Syaikh Badawi, Syaikh Al-Husain, dan lainnya. Perbuatan semacam ini adalah syirik, sebab thawaf adalah ibadah, dan ia tidak boleh dilakukan kecuali thawaf di sekeliling Ka'bah, Allah berfirman:

    "Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (Al-Hajj: 29)
     
  6. Shalat kepada kuburan:
    Shalat kepada kuburan adalah tidak boleh. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

    "Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat kepadanya." (HR. Muslim)
     
  7. Melakukan perjalanan (tour) menuju kuburan:
    Melakukan perjalanan (tour) menuju kuburan tertentu untuk mencari berkah atau memohon kepadanya adalah tidak diperbolehkan. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

    "Tidaklah dilakukan perjalanan (tour) kecuali kepada tiga masjid; Masjidil Haram, Masjidku ini, Masjidil Aqsha." (Muttaffaq 'alaih)

    Jika kita ingin pergi ke Madinah Al-Munawwarah misalnya, kita boleh mengatakan, "Kami pergi untuk berziarah ke Masjid Nabawi kemudian memberi salam (do'a) kepada Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam."
     
  8. Berhukum dengan selain yang diturunkan Allah Subhanahu wata'ala  :
    Mengambil hukum selain yang diturunkan Allah adalah syirik. Seperti menentukan hukum dengan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia, yang bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan hadits shahih yaitu jika ia meyakini diperbolehkannya mengamalkan undang-undang buatan manusia.

    Termasuk di dalamnya adalah fatwa yang dikeluarkan oleh sebagian syaikh yang bertentangan dengan nash-nash Al-Qur'an dan hadits shahih. Seperti fatwa dihalalkannya riba, padahal Allah Ta'ala memaklumkan perang terhadap pelakunya.
     
  9. Ta'at kepada para penguasa, ulama atau syaikh:
    Yaitu keta'atan kepada mereka dengan menyelisihi dan menentang nash Al-Qur'an dan hadits shahih. Syirik semacam ini "Syirkut thaa'ah" (syirik keta'atan) Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

    "Tidak ada keta'atan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khaliq (Allah)." (HR. Ahmad, hadits shahih)

     Allah berfirman:
    "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Mahaesa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31)

    Hudzaifah menafsirkan ibadah dengan keta'atan terhadap apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh ulama Yahudi kepada kaumnya.

ORANG YANG MENGESAKAN ALLAH


 
Barangsiapa menafikan ketiga macam syirik tersebut dari Allah, kemudian ia mengesakan Allah dalam DzatNya, dan dalam menyembah dan berdo'a kepadaNya, juga dalam sifat-sifatNya, maka dia adalah seorang muwahhid (yang mengesakan Allah) yang bakal memiliki berbagai keutamaan yang khusus dijanjikan bagi orang-orang muwahhidin.
Sebaliknya, jika ia melakukan salah satu dari ketiga macam syirik di atas, maka dia bukanlah seorang muwahhid, tetapi ia tergolong seperti yang disebutkan dalam firman Allah:
"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (Al-An'am: 88)
"Jika kamu mempersekutukan Tuhan, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)
Hanya jika ia bertaubat dan menafikan sekutu dari Allah maka ia termasuk golongan orang-orang muwahhidin.
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mengesakanMu dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang menyekutukanMu.
 
MACAM-MACAM SYIRIK KECIL
 
Syirik kecil yaitu setiap perantara yang mungkin menyebabkan kepada syirik besar, ia belum mencapai tingkat ibadah, tidak menjadikan pelakunya keluar Islam, akan tetapi ia termasuk dosa besar.
Macam-macam Syirik kecil:
  1. Riya' dan melakukan suatu perbuatan karena makhluk:
    Seperti seorang muslim yang beramal dan shalat karena Allah, tetapi ia melakukan shalat dan amalnya dengan baik agar dipuji manusia. Allah I berfirman:
    "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhan-nya." (Al-Kahfi: 100)

    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

    "Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalian adalah syirik kecil, riya'. Pada hari Kiamat, ketika memberi balasan manusia atas perbuatannya, Allah berfirman, "Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian tujukan amalanmu kepada mereka di dunia. Lihatlah, apakah engkau dapati balasan di sisi mereka?" (HR. Ahmad, hadits shahih)
     
  2. Bersumpah dengan nama selain Allah:
    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

    "Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka dia telah berbuat syirik." (HR. Ahmad, hadits shahih)

    Bisa jadi bersumpah dengan nama selain Allah termasuk syirik besar. Yaitu jika orang yang bersumpah tersebut meyakini bahwa sang wali memiliki kemampuan untuk menimpakan bahaya atas dirinya, jika ia bersumpah dusta dengan namanya.
     
  3. Syirik khafi :
    Ibnu Abbas menafsirkan syirik khafi dengan ucapan seseorang kepada temannya, "Atas kehendak Allah dan atas kehendak kamu."
    Termasuk syirik khafi adalah ucapan seseorang, "Seandainya bukan karena Allah, kemudian (seandainya bukan karena) si fulan."
    Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam,

    "Jangan mengatakan, 'Atas kehendak Allah, dan atas kehendak si fulan.' Tetapi katakanlah, 'Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak si fulan'." (HR. Ahmad dan lainnya, hadits shahih)

SYIRIK AKBAR / BESAR DAN MACAMNYA


 
Syirik besar adalah menjadikan sesuatu sebagai sekutu (tandingan) bagi Allah. Ia memohon kepada sesuatu itu sebagaimana ia memohon kepada Allah. Atau melakukan padanya suatu bentuk ibadah, seperti istighatsah (mohon pertolongan), menyembelih hewan, bernadzar dan sebagainya.

Dalam Shahihain disebutkan, Ibnu Mas'ud meriwayatkan, aku bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihi wasallam, "Dosa apakah yang paling besar?" Beliau menjawab:


"Yaitu engkau menjadikan tandingan (sekutu) bagi Allah sedangkan Dialah yang menciptakanmu."
(HR. Al-Bukhari dan Mus-lim)
MACAM-MACAM SYIRIK AKBAR / BESAR
  1. Syirik dalam do'a:
    Yaitu berdo'a kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, baik kepada para nabi atau wali, untuk meminta rizki atau memohon kesembuhan dari penyakit. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

    "Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zha-lim."(Yunus: 106)

    Zhalim yang dimaksud oleh ayat ini adalah syirik. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menegaskan dalam sabdanya:

    "Barangsiapa meninggal dunia sedang dia memohon kepada selain Allah sebagai tandingan (sekutu), niscaya dia masuk Neraka." (HR. Al-Bukhari)

    Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa berdo'a kepada selain Allah, baik kepada orang-orang mati atau orang-orang yang tidak hadir merupakan perbuatan syirik adalah firman Allah:

    "Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.
    Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui," (Faathir: 13-14)
     
  2. Syirik dalam sifat Allah:
    Seperti kepercayaan bahwa para nabi dan wali mengetahui hal-hal yang ghaib. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
    "Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri." (Al-An'aam: 59)
     
  3. Syirik dalam mahabbah (kecintaan):
    Yang dimaksud syirik dalam mahabbah yaitu ia mencintai seseorang baik wali atau lainnya sebagaimana kecintaannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Allah Ta'ala berfirman:

    "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya, sebagaimana mereka mencintai Allah.
    Adapun orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah." (Al-Baqarah: 165)
     
  4. Syirik dalam keta'atan:
    Yaitu keta'atan kepada ulama atau syaikh dalam hal kemaksiatan, dengan mempercayai bahwa hal tersebut dibolehkan. Allah berfirman:
    "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." (At-Taubah: 31)

    Ta'at kepada para ulama dalam hal kemaksiatan yaitu dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Atau sebaliknya, mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Ta'at kepada para ulama dalam hal kemaksiatan inilah yang ditafsirkan sebagai bentuk ibadah kepada mereka. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menegaskan:

    "Tidak ada keta'atan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khalik (Allah)." (HR. Ahmad, hadits shahih)
     
  5. Syirik hulul:
    Yaitu mempercayai bahwa Allah menitis kepada para makhlukNya. Ini adalah aqidah Ibnu Arabi, seorang shufi yang meninggal dunia di Damaskus. Sampai-sampai Ibnu Arabi mengatakan:

    "Tuhan adalah hamba, dan hamba adalah Tuhan.
    Duhai sekiranya, siapakah yang mukallaf?"
    Seorang penyair shufi lainnya, yang mempercayai aqidah hulul bersenandung:

    "Tiada anjing dan babi itu, melainkan tuhan kita (juga).
    Dan tiadalah Allah itu, melainkan seorang rahib yang ada di gereja."
     
  6. Syirik tasharruf (tindakan):
    Yaitu keyakinan bahwa sebagian para wali memiliki keleluasaan untuk bertindak dalam urusan makhluk. Percaya bahwa mereka bisa mengatur persoalan-persoalan makhluk. Mereka namakan para wali itu dengan "wali Quthub". Padahal Allah Ta'ala telah menanyakan orang-orang musyrik terdahulu dengan firmanNya:
    "Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka menjawab, 'Allah'." (Yunus: 31)
     
  7. Syirik khauf (takut):
    Yaitu keyakinan bahwa sebagian dari para wali yang telah meninggal dunia atau orang-orang yang ghaib bisa melakukan dan mengatur suatu urusan serta mendatangkan mudharat (bahaya). Karena keyakinan ini, mereka menjadi takut kepada para wali atau orang-orang tersebut.

    Karena itu, kita menjumpai sebagian manusia berani bersumpah bohong atas nama Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali, karena takut kepada wali tersebut. Hal ini adalah kepercayaan orang-orang musyrik, yang diperingatkan Al-Qur'an dalam firmanNya:
    "Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya? Dan mereka menakut-nakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah." (Az-Zumar: 26)

    Adapun takut kepada hewan liar atau kepada orang hidup yang zhalim maka hal itu tidak termasuk dalam syirik ini. Itu adalah ketakutan yang merupakan fitrah dan tabiat manusia, dan tidak termasuk syirik.
     
  8. Syirik hakimiyah:
    Termasuk dalam syirik hakimiyah (kekuasaan) yaitu mereka yang membuat dan mengeluarkan undang-undang yang bertentangan dengan syari'at Islam serta membolehkan diberlakukannya undang-undang tersebut. Atau dia memandang bahwa hukum Islam tidak lagi sesuai dengan zaman.

    Yang tergolong musyrik dalam hal ini adalah para hakim (penguasa, yang membuat serta memberlakukan undang-undang), serta orang-orang yang mematuhi dan menjalankan undang-undang tersebut, jika dia meyakini kebenaran undang-undang itu serta rela dengan-nya.
     
  9. Syirik besar bisa menghapuskan amal:
    Allah berfirman:
    "Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu terma-suk orang-orang yang merugi."
    (Az-Zumar: 65)
     
  10. Syirik besar tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan taubat dan meninggalkan perbuatan syirik secara keseluruhan:
    Allah berfirman:
    "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (An-Nisaa': 116)
     
  11. Syirik banyak macamnya:
    Di antaranya adalah syirik besar dan syirik kecil. Semua itu wajib dijauhi. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mengajarkan kepada kita agar berdo'a:

    "Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari menyekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampun kepadaMu dari (menyekutukanMu dengan sesuatu) yang kami tidak ketahui." (HR. Ahmad dengan sanad shahih)

AKIDAH DAHULU ATAUKAH KEKUASAAN?


 
Lewat manakah Islam akan tampil kembali memimpin dunia? Da'i besar Muhammad Qutb menjawab persoalan ini dalam sebuah kuliah yang disampaikannya di Daarul Hadits, Makkah Al-Mukar-ramah. Teks pertanyaan itu sebagai berikut:
"Sebagian orang berpendapat bahwa Islam akan kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lain berpendapat bahwa Islam akan kembali dengan jalan meluruskan akidah, dan tarbiyah (pendidikan) masyarakat. Manakah di antara dua pendapat ini yang benar?"
Beliau menjawab: "Bagaimana Islam akan tampil berkuasa di bumi, jika para du'at belum meluruskan akidah umat, sehingga kaum muslimin beriman secara benar dan diuji keteguhan agama mereka, lalu mereka bersabar dan berjihad di jalan Allah. Bila berbagai hal itu telah diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, barulah agama Allah akan berkuasa dan hukum-hukumNya diterapkan di persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu tidak datang dari langit, tidak serta merta turun dari langit. Memang benar, segala sesuatu datang dari langit, tetapi melalui kesungguhan dan usaha manusia. Hal itulah yang diwajibkan oleh Allah atas manusia dengan firmanNya:
 "Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain." (Muhammad: 4)
Karena itu, kita mesti memulai dengan meluruskan aqidah, mendidik generasi berikut atas dasar akidah yang benar, sehingga terwujud suatu generasi yang tahan uji dan sabar oleh berbagai cobaan, sebagaimana yang terjadi pada generasi awal Islam."

HUKUM HANYA MILIK ALLAH SEMATA


 
Allah menciptakan makhluk dengan tujuan agar mereka beribadah kepadaNya semata. Ia mengutus para rasulNya untuk mengajar manusia, lalu menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sehingga bisa memberikan hukum (putusan) yang benar dan adil di antara manusia. Hukum tersebut tercermin dalam firman Allah Ta'ala, dan dalam sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. Hukum-hukum itu mengandung berbagai masalah. Di antaranya ibadah, mu'amalah (pergaulan antar manusia), aqa'id (kepercayaan), tasyri' (penetapan syari'at), siyasah (politik) dan berbagai permasalahan manusia lainnya.
  1. Hukum dalam aqidah:
    Yang pertama kali diserukan oleh para rasul adalah pelurusan aqidah serta mengajak manusia kepada tauhid.
    Nabi Yusuf misalnya, ketika berada di dalam penjara beliau menyeru kedua temannya kepada tauhid, ketika keduanya menanyakan padanya tentang ta'bir (tafsir) mimpi. Sebelum nabi Yusuf menjawab pertanyaan keduanya, ia berkata:

    "Hai kedua penghuni penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.
    Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Hukum (keputusan) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 39-40)
     
  2. Hukum dalam ibadah:
    Kita wajib mengambil hukum-hukum ibadah, baik shalat, zakat, haji dan lainnya dari Al-Qur'an dan hadits shahih, sebagai realisasi dari sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam:

    "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat" (Muttafaq alaih)

    "Ambillah teladan dariku dalam tata cara ibadah (hajimu)." (HR. Muslim)

    Dan merupakan penerapan dari ucapan para imam mujtahid, "Jika hadits itu shahih maka ia adalah madzhabku."
    Bila antara imam mujtahid terjadi perselisihan pendapat, kita tidak boleh fanatik terhadap perkataan seseorang di antara mereka, kecuali kepada yang memiliki dalil shahih yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
     
  3. Hukum dalam mu'amalah:
    Hukum dalam mu'amalah (pergaulan antarmanusia), baik yang berupa jual beli, pinjam meminjam, sewa-menyewa dan lain sebagai-nya. Semua hal tersebut harus berlandaskan hukum (keputusan) Allah dan RasulNya. Hal ini berdasarkan firman Allah:

    "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65)

    Para mufassir, dengan menyitir riwayat dari Imam Al-Bukhari menyebutkan, sebab turunnya ayat di atas adalah karena sengketa masalah irigasi (pengairan) yang terjadi antara dua sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memutuskan bahwa yang berhak atas irigasi tersebut adalah Zubair. Serta merta lawan sengketanya berucap, "Wahai Rasulullah, engkau putuskan hukum untuknya (maksudnya, dengan membela Zubair) karena dia adalah anak bibimu!"
    Sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat di atas.
     
  4. Hukum dalam masalah hudud (hukuman yang ditetapkan untuk memenuhi hak Allah) dan qishash (hukum balas yang sepadan):
    Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'la:

    "Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim." (Al-Maa'idah: 45)
     
  5. Tasyri' (penetapan syari'at) adalah milik Allah semata:
    Allah berfirman:
    "Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu." (Asy-Syuura: 13)

    Allah menolak orang-orang musyrik yang memberikan hak penetapan hukum kepada selain Allah. Allah berfirman:
    "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?" (Asy-Syuura: 21)
KESIMPULAN:
Setiap umat Islam wajib menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sebagai hakim (penentu hukum), merujuk kepada kedua-nya manakala sedang berselisih dalam segala hal, sebagai realisasi dari firman Allah:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah." (Al-Maa'idah: 49)
Juga penerapan dari sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam:
"Dan selama para pemimpin umat tidak berhukum kepada kitab Allah, dan memilih apa yang diturunkan oleh Allah, niscaya kesengsaraan akan ditimpakan di tengah-tengah mereka." (HR. Ibnu Majah dan lainnya, hadits hasan)
Umat Islam wajib membatalkan hukum-hukum (perundang-undangan) asing yang ada di negaranya. Seperti undang-undang Perancis, Inggris dan lainnya yang bertentangan dengan hukum Islam.
Hendaknya umat Islam tidak lari ke mahkamah yang berlandaskan undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Hendaknya mereka mengajukan perkaranya kepada orang yang dipercaya dari kalangan ahli ilmu, sehingga perkaranya diputuskan secara Islam, dan itulah yang lebih baik bagi mereka. Sebab Islam menyadarkan mereka, memberikan keadilan di antara mereka, efisien dalam hal uang dan waktu. Tidak seperti peradilan buatan manusia yang menghabiskan materi secara sia-sia. Belum lagi adzab dan siksa besar yang bakal diterimanya pada hari Kiamat. Sebab dia berpaling dari hukum Allah yang adil, dan berlindung kepada hukum buatan makhluk yang zhalim.