Sebagian orang selalu mencari-cari dalil untuk membenarkan amalan
tanpa tuntunan yang ia lakukan. Di antara cara yang dilakukan adalah menjadikan
perkataan ulama Ahlus Sunnah sebagai argumen untuk mendukung bid’ah mereka.
Inilah yang terjadi dalam... perayaan Maulid Nabi. Di antara perkataan ulama Ahlus
Sunnah yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, disalahpahami oleh sebagian kalangan
sehingga beliau pun disangka mendukung perayaan Maulid. Begitu pula ada
perkataan lain dari Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengenai hal ini. Ibnu Hajar adalah
di antara ulama yang memiliki ketergelinciran dalam masalah Maulid. Nantinya
kami juga akan membahas syubhat (kerancuan) lainnya yang sengaja disuarakan oleh
para simpatisan Maulid seperti pemutarbalikkan sejarah Maulid yang disangka
dipelopori oleh Shalahuddin Al Ayubi. Semoga Allah memudahkan untuk mengungkap
yang benar dan yang batil. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkan dan
tolonglah). Kerancuan Pertama: Salah Paham dengan Perkataan Ibnu Taimiyah Di
salah satu website yang kami telusuri, ada perkataan Syaikhul Islam sebagai
berikut, “Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam
setahun sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian orang, akan mendapatkan
pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasallam.” Perkataan beliau inilah yang menjadi dasar sebagian kalangan
yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung Maulid. [1] Kalimat
selengkapnya terdapat dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim sebagai
berikut. فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد ولهذا قيل للامام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف دينار ونحو ذلك فقال دعه فهذا أفضل ما أنفق فيه الذهب أو كما قال مع أن مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقها في تجديد الورق والخط وليس مقصود أحمد هذا وإنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة وفيه أيضا مفسدة كره لأجلها فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا وإلا اعتاضوا الفساد الذي لا صلاح فيه مثل أن ينفقها في كتاب من كتب الفجور ككتب الأسماء أوالأشعار أو حكمة فارس والروم “Adapun mengagungkan maulid dan
menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang.
Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan
pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang
aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian
orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik. Oleh karena
itu, diceritakan kepada imam Ahmad mengenai beberapa pemimpin (umaro’)
bahwasanya mereka menginfaqkan 1000 dinar untuk pencetakan Mushaf. Maka beliau
berkata, “Biarkan mereka melakukan itu, itulah infaq terbaik yang dapat mereka
lakukan dengan emas” atau sebagaimana yang Imam Ahmad katakan. Padahal menurut
madzhab Imam Ahmad, makruh hukumnya memperindah mushaf. Namun sebagian pengikut
Imam Ahmad menafsirkan maksud Imam Ahmad adalah beliau memakruhkan
memperbaharui kertas dan khothnya. Namun sebenarnya maksud Imam Ahmad bukanlah
seperti yang ditafsirkan ini. Imam Ahmad memaksudkan bahwa memperindah mushaf
ini ada mashlahat (manfaat) di satu sisi dan ada pula mafsadatnya (bahayanya).
Inilah yang beliau makruhkan. Namun perlu diketahui bahwa jika mereka (para
umara’) tidak melakukan hal ini (yaitu memperindah mushaf), tentu mereka akan
melakukan hal-hal lain yang tidak berfaedah. Misalnya para umara’ tersebut
malah menyalurkan infaq mereka untuk mencetak buku-buku tidak bermoral: buku
cerita yang hanya menghabiskan waktu, buku sya’ir (yang sia-sia belaka) dan
buku filsafat dari Persia dan Romawi.”[2] Demikian perkataan beliau
rahimahullah. Jika seseorang membaca teks di atas secara utuh, insya Allah dia
tidak memiliki pemahaman yang keliru. Lihat baik-baik perkataan beliau di atas:
”Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah
jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi
tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik”. Dari perkataan beliau
ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid tidak dianggap baik oleh orang-orang yang
mendapat taufik. Jika ada yang menganggap amalan Maulid itu baik, maka dia
adalah orang yang keliru. Maka ini menunjukkan bahwa Maulid bukanlah amalan
yang baik. Coba kita lihat kembali perkataan Syaikhul Islam lainnya dalam kitab
yang sama (Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim) agar kita tidak salah keliru dengan
perkataan beliau di atas. Dalam beberapa lembaran sebelumnya, Syaikhul Islam
mengatakan, وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي صلى الله عليه و سلم وتعظيما له والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه و سلم عيدا مع اختلاف الناس في مولده فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضى له وعدم المانع منه ولو كان هذا خيرا محضا أو راجحا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه و سلم وتعظيما له منا وهم على الخير أحرص وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته واتباع أمره وإحياء سنته باطنا وظاهرا ونشر ما بعث به والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان فإن هذه هي طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسا “Begitu pula halnya dengan kebiasaan yang
dilakukan oleh sebagian orang. Boleh jadi perbuatan mereka menyerupai tingkah
laku Nashrani sebagaimana Nashrani pun memperingati kelahiran (milad) ‘Isa
‘alaihis salam. Boleh jadi maksud mereka adalah mencintai dan mengagungkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka
dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang
mereka ada-adakan sebagai perayaan. Padahal perlu diketahui bahwa para ulama
telah berselisih pendapat mengenai tanggal kelahiran beliau. Apalagi merayakan
maulid sama sekali tidak pernah dilakukan oleh para salaf (sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in). Padahal ada faktor pendorong (untuk memuliakan nabi) dan
tidak ada faktor penghalang di kala itu. Seandainya merayakan maulid terdapat
maslahat murni atau maslahat yang lebih besar, maka para salaf tentu lebih
pantas melakukannya daripada kita. Karena sudah kita ketahui bahwa mereka
adalah orang yang paling mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam daripada kita. Mereka juga tentu lebih semangat dalam
kebaikan dibandingkan kita. Dan perlu dipahami pula bahwa cinta dan pengagungan
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna adalah dengan ittiba’
(mengikuti) dan mentaati beliau yaitu dengan mengikuti setiap perintah,
menghidupkan ajaran beliau secara lahir dan batin, menyebarkan ajaran beliau
dan berjuang (berjihad) untuk itu semua dengan hati, tangan dan lisan. Inilah
jalan hidup para generasi utama dari umat ini, yaitu kalangan Muhajirin, Anshor
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”[3] Kami rasa sudah jelas
jika kita memperhatikan penjelasan beliau yang kedua ini. Jelas sekali beliau
menyatakan perayaan Maulid itu tidak ada salafnya (pendahulunya) artinya amalan
yang tidak ada tuntunannya, bahkan merayakan Maulid sama halnya dengan Natal
yang dirayakan oleh Nashrani. Lantas dengan penjelasan beliau ini apakah masih
menuduh beliau rahimahullah mendukung maulid?! Mohon jangan menukil perkataan
beliau sebagian saja, cobalah pahami perkataan beliau secara utuh di
halaman-halaman lainnya dalam kitab Iqtidho’. Simak baik-baik perkataan beliau
di atas: “Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan
dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan
sebagai perayaan.” Dari sini, beliau menggolongkan maulid sebagai bid’ah karena
memang tidak pernah diadakan oleh para salaf dahulu (sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in). Namun perayaan ini dihidupkan dan diada-adakan oleh Dinasti
‘Ubaidiyyun[4]. Dan ingat, beliau katakan bahwa mudah-mudahan mereka mendapat
pahala karena mengangungkan dan mencintai beliau, namun bukan pada acara bid’ah
maulid yang mereka ada-adakan. Mohon pahami baik-baik perkataan beliau ini.
Semoga Allah beri kepahaman. Lebih tegas lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan mengenai Maulid Nabi dapat dilihat dalam Majmu’ Al Fatawa sebagai
berikut. وَأَمَّا اتِّخَاذُ مَوْسِمٍ غَيْرِ الْمَوَاسِمِ الشَّرْعِيَّةِ كَبَعْضِ لَيَالِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ الَّتِي يُقَالُ : إنَّهَا لَيْلَةُ الْمَوْلِدِ أَوْ بَعْضِ لَيَالِيِ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنَ عَشَرَ ذِي الْحِجَّةِ أَوْ أَوَّلِ جُمْعَةٍ مِنْ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنِ شَوَّالٍ الَّذِي يُسَمِّيهِ الْجُهَّالُ عِيدَ الْأَبْرَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي لَمْ يَسْتَحِبَّهَا السَّلَفُ وَلَمْ يَفْعَلُوهَا وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ . “Adapun melaksanakan perayaan tertentu
selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha)
seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut
dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8
Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang
dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ‘Idul Abror (lebaran
ketupat)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf
(sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah
melaksanakannya. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.”[5] Renungkan perkataan
beliau baik-baik. Apakah bisa dipahami dari perkataan terakhir ini bahwa beliau
mendukung Maulid? Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita sekalian agar
bisa membedakan mana yang benar dan mana yang keliru. Kerancuan Kedua: Ibnu
Hajar Al ‘Asqolani Membolehkan Maulid Nabi Perkataan berikut kami nukil dari
kitab Al Hawiy yang ditulis oleh Imam As Suyuthi.[6] وقد سئل شيخ الإسلام حافظ العصر أبو الفضل بن حجر عن عمل المولد فأجاب بما نصه: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا قال وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم وعلى هذا فينبغي أن يتحرى اليوم بعينه حتى يطابق قصة موسى في يوم عاشوراء ومن لم يلاحظ ذلك لا يبالي بعمل المولد في أي يوم من الشهر بل توسع قوم فنقلوه إلى يوم من السنة وفيه ما فيه - فهذا ما يتعلق بأصل عمله، وأما ما يعمل فيه فينبغي أن يقتصر فيه على ما يفهم الشكر لله تعالى من نحو ما تقدم ذكره من التلاوة والإطعام والصدقة وإنشاد شيء من المدائح النبوية والزهدية المحركة للقلوب إلى فعل الخير والعمل للآخرة وأما ما يتبع ذلك من السماع واللهو وغير ذلك فينبغي أن يقال ما كان من ذلك مباحا بحيث يقتضي السرور بذلك اليوم لا بأس بإلحاقه به وما كان حراما أو مكروها فيمنع وكذا ما كان خلاف الأولى Syaikhul Islam Hafizh di masa ini, Abul
Fadhl Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan Maulid, beliau pun menjawab dengan
redaksi sebagai berikut: “Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak
diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya
terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa
melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah
melakukan buid'ah yang baik (bid'ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang
kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari
‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, "Itu
hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa
untuk mensyukuri itu semua.” Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh
melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau
terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada
hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud,
puasa, sedekah, membaca al-Qur'an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi ini. Maka sebaiknya
merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur'an, memberi makan fakir
miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rasulullah yang bisa menggerakkan
hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan
mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada
hukum pekerjaan itu. Kalau perkara yang dilakukan ketika itu mubah maka hukum
merayakannya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang
baik maka begitu seterusnya".[7] Sanggahan untuk kerancuan di atas:
Pertama: Yang harus dipahami dari setiap perkataan ulama bahwa mereka tidaklah
ma’shum, artinya mereka tidaklah luput dari kesalahan dan ketergelinciran. Oleh
karenanya, seharusnya yang jadi pegangan adalah dalil. Janganlah bersikap
mengambil pendapat mereka yang ganjil berdasarkan selera dan hawa nafsu. Jika
ketergelinciran dan kekeliruan mereka yang diambil, maka pasti kita pun akan
menuai kejelekan. Sulaiman At Taimi mengatakan, لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اِجْتَمَعَ فِيْكَ الشَّرُّ كُلُّهُ “Seandainya engkau mengambil setiap
ketergelinciran ulama, maka pasti akan terkumpul padamu kejelekan.” Setelah
mengemukakan perkataan ini, Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, ”Ini adalah ijma’
(kesepakatan) para ulama, saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal
ini.” Al Auza’i mengatakan, مَنْ أَخَذَ بِنَوَادِرِ العُلَمَاءِ خَرَجَ مِنَ الإِسْلاَمِ “Barangsiapa yang mengambil pendapat yang
ganjil dari para ulama, maka ia bisa jadi keluar dari Islam.” Asy Syatibi
menyampaikan adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa mencari-cari pendapat
yang ganjil dari para ulama tanpa ada pegangan dalil syar’i adalah suatu
kefasikan dan hal ini jelas tidak dibolehkan.[8] Kedua: Ibnu Hajar rahimahullah
telah mengatakan di atas: “Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak
diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama”, maka sebenarnya
perkataan beliau ini sudah cukup untuk menyatakan tercelanya perayaan Maulid.
Cukup sebagai sanggahannya, لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ “Seandainya amalan tersebut (perayaan
maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in) sudah mendahului kita
untuk melakukannya.” Ketiga: Justru dalil puasa Asyura di atas bisa berbalik
pada orang yang pro Maulid. Jika puasa Asyura adalah dalil untuk memperingati
Maulid, maka tentu para salaf dahulu akan menjadikannya sebagai dalil. Sudah
dipastikan bahwa mereka telah berijma’ (bersepakat) tidak merayakan maulid
karena tidak satu pun di antara generasi awal Islam yang merayakannya. Argumen
yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah sebenarnya telah menyelisihi
ijma’ (kesepakatan) para ulama salaf dari sisi pemahaman dan pengamalan. Siapa
saja yang menyelisihi ijma’ salaf, berarti ia telah keliru. Karena para salaf
tidaklah mungkin bersatu melainkan dalam petunjuk. Keempat: Menyimpulkan
dibolehkannya perayaan Maulid dari puasa Asyura adalah pendalilan yang terlalu
memberat-beratkan diri dan pendalilan semacam ini tertolak. Karena ingatlah
bahwa Maulid adalah ibadah dan bukan amalan sosial sebagaimana kata sebagian
orang. Buktinya adalah yang merayakan maulid ingin merealisasikan cinta Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun lewat jalan yang keliru. Dan juga setiap
yang merayakannya pasti ingin cari pahala. Bagaimana mungkin ini dikatakan
bukan ibadah?! Jika perayaan tersebut adalah ibadah, maka landasannya adalah
dalil dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hanya
sangkaan baik semata. Jika masih mengklaim bahwa Maulid adalah bid’ah hasanah,
maka cukup kami sanggah dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ “Betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”[9] Ibnu ‘Umar mengatakan, كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia
menganggapnya baik.”[10] Kelima: Ingatlah bahwa mengenai puasa Asyura ada
dorongan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya. Hal ini
jauh berbeda dengan perayaan Maulid yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sama sekali tidak mendorong untuk melakukannya.[11] Kerancuan Ketiga:
Shalahuddin Al Ayubi Mempelopori Peringatan Maulid Di negeri ini lebih terkenal
kalau Shalahuddin Al Ayubi adalah pelopor Maulid Nabi dalam rangka menyemangati
para pemuda. Kami merasa aneh kenapa pejuang Sunnah yang anti Rafidhah (Syi’ah)
malah diklaim sebagai pemrakarsa perayaan Maulid. Perlu diketahui bahwa
Shalahuddin Al Ayubi adalah seorang raja dan panglima Islam. Beliau bahkan yang
melenyapkan perayaan Maulid yang sebenarnya diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun
sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah
mengenai Maulid Nabi. Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para
khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan
tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi
Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang
sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan
bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan
bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup
Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir,
perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz
(Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul
‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”[12] Asy Syaikh Bakhit Al
Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan
bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid
(hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid
Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid
khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan
‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H. Begitu pula Asy Syaikh
‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al
Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa
yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun
(Fatimiyyun).[13] Lalu siapakah sebenarnya ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun)? Al Qodhi
Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau
namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak
tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan
mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah
(Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.” Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni
Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah
kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang
yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara
yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab
dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu
diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas
(‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih
unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit
berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah
kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.” Beliau rahimahullah
juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik
(banyak bermaksiat) dan paling kufur.”[14] Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun
juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai
Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan
demikian. Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama,
“Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang
menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka
memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan
tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”
(QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.”
(QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang
artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81).
Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya
silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”[15] Begitu pula Ibnu Khallikan
mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab
[yang katanya sampai pada Fatimah].”[16] ‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan,
“Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan
mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun
adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan
Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai
ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali
memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan
Nashrani. Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang
lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid
Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah
(Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).”[17] Bagaimana mungkin Shalahuddin
menghidupkan perayaan Maulid sedangkan beliau sendiri yang menumpas
‘Ubaidiyyun?! Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan, صَلَاحِ الدِّينِ الَّذِي فَتَحَ مِصْرَ ؛ فَأَزَالَ عَنْهَا دَعْوَةَ العبيديين مِنْ الْقَرَامِطَةِ الْبَاطِنِيَّةِ وَأَظْهَرَ فِيهَا شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ “Sholahuddin-lah yang menaklukkan Mesir.
Beliau menghapus dakwah ‘Ubaidiyyun yang menganut aliran Qoromithoh Bathiniyyah
(aliran yang jelas sesatnya, pen). Shalahuddin-lah yang menghidupkan syari’at
Islam di kala itu.”[18] Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al
Haroni rahimahullah mengatakan, فَتَحَهَا مُلُوكُ السُّنَّة مِثْلُ صَلَاحِ الدِّينِ وَظَهَرَتْ فِيهَا كَلِمَةُ السُّنَّةِ الْمُخَالِفَةُ لِلرَّافِضَةِ ثُمَّ صَارَ الْعِلْمُ وَالسُّنَّةُ يَكْثُرُ بِهَا وَيَظْهَرُ “Negeri Mesir kemudian ditaklukkan oleh
raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu Shalahuddin. Beliau yang
menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu, berseberangan dengan ajaran
Rafidhah (Syi’ah). Di masa beliau, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam[19][20] semakin terbesar luas.” Dari penjelasan ini, sangat
mustahil jika kita katakan bahwa Shalahuddin Al Ayubi yang menjadi pelopor
perayaan Maulid, padahal beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun. Sungguh,
jika ada yang menyatakan bahwa Shalahuddin sebagai pelopor Maulid, maka ini
sama saja memutar balikkan sejarah. Sejarah yang benar, Shalahuddin itu
menumpas ‘Ubaidiyyun sebelum diadakan perang salib karena ‘Ubaidiyyun yang
sebenarnya melemahkan kaum muslimin dengan maulid yang mereka ada-adakan. Namun
inilah kenyataan sejarah yang direkayasa yang diputarbalik dan disebar di
negeri ini. Hanya Allah yang beri taufik. Kerancuan Keempat: Argumen Peringatan
Maulid dengan Puasa Senin Kamis Berikut adalah kerancuan lainnya dari kalangan
pro Maulid. Mereka mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah hadits dinyatakan: عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم "Dari Abi Qotadah al-Anshori
radhiyallahu 'anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampernah
ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku". (H.R.
Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).”[21] Sanggahan terhadap syubhat di atas:
Pertama: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi pendukung untuk merayakan hari
kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal
kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal
tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih
terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah
puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau
mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus
setiap pekan bukan setiap tahun. Kedua: Ingatlah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bukan hanya menjadikan hari Senin untuk berpuasa namun juga hari
kamis. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.”[22] Sehingga hadits
yang dikemukakan kalangan pro Maulid bukan menunjukkan bahwa beliau ingin
memperingati hari kelahirannya. Ketiga: Jika memperingati maulid adalah dalam
rangka bersyukur kepada Allah atas kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka cara memperingatinya adalah dengan berpuasa sebagaimana yang
beliau contohkan. Namun kami belum ketahui ada yang bersyukur dengan cara
seperti ini. Yang ada bentuk syukurnya adalah dengan membaca shalawat tanpa
tuntunan, bahkan ada pula yang memperingatinya dengan bermusik ria.[23]
Demikian pembahasan kami mengenai beberapa syubhat yang ada dari para
simpatisan pro Maulid. Namun masih banyak syubhat dan kerancuan lainnya,
moga-moga lain waktu bisa kami lengkapi insya Allah. Intinya, syubhat yang
dimunculkan tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu boleh jadi dengan
anggapan baik semata (tanpa dalil) dan boleh jadi dengan dalil namun salah
dalam memahami. Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin
sekalian. Cukuplah maksud kami ini sebagaimanan yang dikatakan oleh Nabi
Syu’aib. إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ “Aku tidak bermaksud kecuali
(mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik
bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal
dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88) Segala puji bagi Allah
yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Disempurnakan berkat
pertolongan Allah di Pangukan-Sleman, Jum’at - 12 Rabi’ul Awwal 1431 H
(26/02/2010) *** Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id , dipublish ulang oleh http://rumaysho.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar