Nahdlatul
Ulama (NU) memang sangat kental dengan nuansa sufi, sufisme, tasawuf dan
Thariqah / Tarekat, karenanya, secara organisatoris para sufi, pengamal
ajaran taswuf dan pengikut Thariqah diberi ruang sendiri sebagai Badan Otonom
yang diberi nama Jamiyyah Ahl Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyyah (JATMAN).
Pada Muktamar Thariqah XI di Malang Jawa Timur beberapa waktu yang lalu, Habib
Lutfi Bin Yahya, terpilih kembali sebagai Rais Am JATMAN. Habib Lutfi Bin Yahya
pernah mengatakan, bahwa “Intinya NU, Ya Thariqah”. Ini
menunjukkan kedekatan yang luar biasa antara NU dengan Thariqah. Berikut ini
cuplikan pendapat dan wawancara dengan Habib Luhfi Bin Yahya, yang pernah
dimuat di Majalah AULA/Agustus/2011. Mudah-mudahan penjelasan beliau tentang
dunia tasawuf dan thariqah bisa menambah wawasan bagi kita.
Itu yang
tahu ya PBNU, karena yang punya gawe PBNU. Sedangkan Thariqah dalam posisi
diundang, meski yang hadir para Ulama Sufi, akan tetapi yang punya hajat adalah
PBNU. Maka yang tahu apa maksud dan tujuan dari pertemuan itu ya PBNU.
Tema Besar
Multaqos Shufi adalah “Membangun Peradaban Dunia yang Damai, Adil dan Jujur
Melalui Implementasi Ajaran Thariqah”. Bagaimana Penjelasannya?
Thariqah itu
Min Ahli Laa Iilaaha Illallah, di mana ajarannya mencermikan setelah kita iman dan
Islam lalu Ihsan. Makna Ihsan dalam hal ini adalah menyembahlah kepada Allah
seolah-olah kita berhadapan dengan Allah. Kalau tidak mampu, kita harus yakin
bahwa kita sedang menghadap Allah SWT. Dengan merasa didengar dan dilihat oleh
Yang Maha Kuasa, itu akan mengurangi perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya
sendiri. Apalagi kepada orang lain. Karena kita malu, takut kepada Yang Maha
Kuasa.
Tasawuf itu
sendiri berfungsi untuk menjernihkan hati dan membersihkan haws nafsu dari
berbagai sifat yang dimiliki manusia, utamanya sifat kesombongan yang
disebabkan oleh banyak hal. Jika ajaran Tasawuf itu diamalkan, tidak ada yang
namanya saling dengki dan saling iri, justru yang muncul adalah saling mengisi.
Ada kesan
kuat setiap aliran Thariqah sampai saat ini merasa paling benar sendiri, yang
lain salah. Mengapa muncul pemikiran seperti itu di kalangan pengikutnya?
Thariqah
tidak mengajarkan yang demikian itu. Antara thariqah yang satu dengan yang
lainnya bertentangan atau pengikutnya merasa paling benar, tidak ada itu.
Justru yang ada keutamaan amaliyah ma¬sing-masing Thariqah. Contohnya ada yang
suka baca Surat Al-lkhlas karena Allah Ta’ala memberikan keistimewaan pada
surat tersebut. Ada juga yang mengutamakan mu¬’awwidzatain. Allah SWT memang
memberikan berbagai keutamaan pada surat-surat dalam Al-Qur’an tertentu,
seperti Surat Yaasin, Waqi’ah, dll. Pertanyaannya, apakah dengan membaca salah
satu surat yang diistimewakan Allah itu menunjukkan dirinya paling benar? Tidak
ada itu. Apalagi mengklaim dirinya paling benar.
Antar
Thariqah biasanya saling bersaing. Bagaimana cara mempersatukan persepsi
mereka, sehingga bisa sejalan?
Sesuai
pengetahuan saya tentang Thariqah di Indonesia, dari 41 Thariqah yang bernaung di bawah
Nandlatul Ulama dapat
dipersatukan. Kalau mereka mengklaim paling benar, ya tidak ada Jam’iyah Ahlith
Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nandliyah, karena mereka sulit dipersatukan.
Amaliyahnya sama, yakni bacaan utamanya kalimat “Laa Ilaaha Illallah”.
Apa saja
hasil pertemuan penting Habib Lutfy dengan Syaikh Rojab pada Senin pagi yang
sampai 2,5 jam itu?
Syaikh Rojab
itu guru saya. jadi tidak boleh ada yang tahu apa yang saya bicarakan. Itu
masalah pribadi, bukan masalah umum, apalagi harus dipublikasikan. Beliau
adalah guru saya dalam bidang Thariqah, sehingga pada acara di Jakarta saya
berkesempatan untuk bertemu empat mata.
Habib, dalam
pembicaraan seringkali bias antara Tasawuf dan Thariqah. Apa sebenarnya beda
keduanya?
Tasawuf itu
buah dari Thariqah, pakaian Thariqah adalah Tasawuf yang bersumberkan dari
akhlak dan tatakrama (adab). Contohnya, orang masuk kamar mandi dengan kaki
kiri terlebih dahulu, masuk masjd mendahulukan kaki kanan, dll. Itu semua
ajaran Tasawuf. Contoh lain. Sebelum makan baca Basmalah dan setelah selesai
baca Hamdalah. Apa yang diajarkan dalam Tasawuf sebagai bentuk rasa terima kasih
kepada yang member rejeki. Kita ambil satu butir nasi, karena kita sadar bahwa
kita tidak bisa membuat butir nasi, lalu kita bersyukur, itu semua ajaran
Tasawuf.
Nah, kalau
syari’at sudah terbatas. Makanya jika syariat yang diberlakukan, orang mabuk tidak
boleh berdekatan dengan orang muslim. Kalau Tasawuf tidak demikian. Mereka
harus diajak bicara, mengapa mereka mabuk. Kita tidak boleh tunduk dengan
pejabat karena ada alasan tertentu, akan tetapi kita wajib menjaga wibawa
pejabat di hadapan umum, sekalipun dengan pribadi kita ada ketidakcocokan. Akan
tetapi jangan asal tabrak. Ini semua juga ajaran Tasawuf.
Apa betul
Thariqah itu hanya untuk orang tua dengan batasan umur tertentu?
Lha mau
belajar dzikir kepada Allah Ta’ala kok menunggu kalau sudah tua. Iya kalau
umurnya sampai tua. Bagaimana kalau masih muda meninggal? Yang terpenting
adalah mereka ngerti tata urutan berThariqah, ngerti syarat dan rukunnya dulu,
seperti masalah wudlu dan shalat, mengerti sifat wajib, jaiz dan mokhal bagi
Allah Ta’ala, mengetahui halal dan haram. Kalau menertibkan hati menunggu tua,
nanti terlanjur hati berkarat tebal. Maka sejak usia muda seyogyanya mereka
mulai mengamalkan ajaran Thariqah (seperti MATAN, Mahasiswa
Ahli Thariqah An Nahdliyyah; Red.)
Kesan kaum
Sufi masih identik dengan jubah putih kumal, pakai tongkat, mulut komat-kamit
membaca wirid, tidak mikir dunia. Apa kaum Sufi memang harus seperti itu?
Saya sangat
menyayangkan jika ada yang berpendapat demikian. Apa yang dilakukan para ulama
Sufi seperti itu merupakan hak. Dia dalam kefakiran saja bisa menikmati hidup,
apalagi kalau kaya raya. Satu atau dua hari saja tidak makan bisa menikmati
hidup. Jangan melihat para ulama Sufi dari sisi pakaian, karena apa yang
ditampilkan bukan cermin pribadi mereka. Karen pada dasarnya apa yang dia
pakai, baik yang kumal maupun yang baik, semata-mata karena Allah Ta’ala,
karena sesungguhnya Tasawuf itu ada di hati, bukan di pakaian.
Bagaimana
penganut Thariqah memandang dunia modern yang sudah serba digital ini?
Para ahli
Thariqah enjoy saja melihat modernisasi zaman. Mereka tidak gelisah, karena
dapat mengikuti dengan baik. Lihat saja ikan di laut bergelimang dengan air
asin, dia tidak ikut asin juga bahkan bisa hidup bersama dengan air asin, masak
kita tidak bisa. Sejak Nabi Adam hingga saat ini air laut ya tetap asin dan
bahkan tidak akan pemah berubah, akan tetapi ikan-ikan yang hidup di laut tidak
ada yang ikut menjadi asin. Ya begitulah gambaran para pengikut Thariqah.
Mereka bisa hidup di segala zaman dan dapat mengikutinya dengan baik.
Harlah NU di
Gelora Bun Karno sepi, apa tanggapan Habib Lutfi?
Sebenarnya
Rapat Akbar Harlah ke-85 NU kemarin di Gelora. Bung Karno cukup meriah, dimana
yang hadir ada sekitar 127 ribuan pengunjung, dan itu sudah melebihi target
panitia yang hanya merencanakan sekitar 70 ribuan pengunjung. Akan tetapi
nampakriya panitia kurang pintar mengatur acara, sehingga pengunjung jenuh. Ini
sekaligus kritik kepada PBNU untuk dapat mengefektifkan acara yang menghadirkan
ratusan ribu pengunjung yang datang dari berbagai daerah.
Bukan
begitu, yang ada adalah para pengurus dan pengikut Jatman adalah mayoritas para
kiai sepuh. Lha intinya NU itu ya orang-orang Thariqah. Bukan
Jatman-nya yang lebih tinggi dari NU, akan tetapi karena faktor ‘kesepuhannya’
yang menyebabkan seolah-olah Jatman lebih tinggi dari NU. Tapi secara
organisatoris, posisi Jatman tetap di bawah naungan NU sebagai badan otonomnya.
Untuk menjaga hal itu, kita kembalikan kepada peraturan organisasi, tidak
kurang dan tidak lebih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar