BAB I
Menelusuri Pemikiran Keagamaan
Nahdlatul Ulama: AHLUSSUNNAH WAL
JAMA’AH
Secara etimologi, ‘Nahdlatul
Ulama’ terdiri dari dua kata bahasa Arab, nahdlah artinya ‘bangkit’,
‘bangun’, ‘loncatan’, dan al-‘ulamâ’ artinya ‘orang yang mempunyai ilmu
atau intelektual dalam arti modern’. Secara istilah, ‘Nahdlatul Ulama’
(NU) merupakan sebuah organisasi sosial keagamaan yang dididirikan oleh para
ulama pada 1926. Kehadirannya dimaksudkan untuk mengembangkan dan
mempertahankan ortodoksi Islam yang selama itu dipegang oleh mayoritas ulama
Indonesia. Ortodoksi ini adalah ‘Ahlussunnah wal Jama’ah’ yang dalam pemahaman
dan praktek Islamnya menyandarkan diri kepada mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki
dan Hanbali. Ortodoksi ini juga merujuk pada Abu Hasan al-Asy’ari dalam bidang
teologi yang dipegangnya. Selain itu, ia merujuk pada Abu al-Qasim al-Junaidy,
dalam praktek dan pemikiran tashawufnya.
Mempertahankan ortodoksi
ini perlu digaris bawahi karena lahirnya NU adalah respon terhadap upaya-upaya
penggusuran terhadap tradisi aswaja yang dilakukan oleh penguasa Saudi Arabia
yang terpengaruh paham Wahabi. Tetapi di samping mempertahankan, NU juga
berusaha mengembangkan orthodoksi ini, mengingat pemikiran, paham atau praktek
keagamaan itu dipengaruhi juga oleh perkembangan masyarakat yang
mempunyainya. Dengan demikian, Nahdlatul
Ulama sebagai organisasi yang menandai bangkitnya ulama, lahir karena dalam
masyarakat hadir suatu kondisi yang secara kultural maupun pemikiran kurang
sesuai dengan tradisi keagamaan aswaja.
Meskipun berlandas pada
konsep kebangkitan seperti terlihat dari namanya, NU berusaha menjaga
keseimbangan. Dalam setiap upaya kreatif yang dilakukannya, misalnya, NU sangat
memperhatikan dan menghargai apa-apa yang hidup dalam masyarakat. Terutama
terhadap pemikiran dan praktek keagamaan yang sudah mentradisi hidup dalam
masyarakat, NU secara garis besar tetap menjaga hal-hal yang tidak menyimpang
dari prinsip-prinsip kepercayaan Islam. Karena itu, berbeda dengan Wahabi, NU
sebagai pemegang sunnah Nabi, menjaga keseimbangan antara pengembangan Islam
dan pelestarian apa yang hidup dalam masyarakat yang sesuai dengan kepercayaan
yang dipegang NU. Prinsip yang dipegang NU adalah al-muhâfazhah ‘ala
al-qadîm al-shâlih wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah,[1] yakni memelihara
apa-apa yang baik yang hidup dalam masyarakat, dan mengambil apa-apa yang lebih
baik.
A. Nahdlatul Ulama dalam Kontek Islam
Indonesia
1. Sejarah Penyebaran Islam di Indonesia
Menurut catatan
sejarah, kerajaan Perlak yang berdiri tahun 840 M adalah kerajaan Islam pertama
di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Tentang fakta itu dapat dipastikan bahwa
masuknya agama Islam terjadi jauh sebelum tahun berdirinya kerajaan itu, karena
kerajaan itu didirikan ketika sebagian besar penduduknya telah cukup lama
memeluk agama Islam. Pada abad IX Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad konon
mengirimkan delegasi dakwah yang terdiri dari orang-orang Arab yang berakidah
Ahlussunnah wal Jama’ah, bermazhab Syafi’i dan bertashawuf mu’tabar ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042, berdiri
kerajaan Islam Samudra Pasai. Menurut Ibnu Bathutah, kerajaan ini, dengan raja
pertamanya Al-Malikus Shaleh, menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan
memilih mazhab Syafi’i.
Meski tidak ada
catatan yang pasti, diperkirakan kalau Islam masuk ke Pulau Jawa pada akhir
abad XIV atau awal abad XV. Ini antara lain dapat dibuktikan dengan tulisan di
batu nisan Maulana Malik Ibrahim tentang tahun wafatnya, yakni tahun 1419 M,
setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, yang beragama Hindu. Di awal abad XV,
dengan dukungan Walisongo, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak. Dalam
penyebaran agama Islam, cara berdakwah para wali yang jumlahnya sembilan orang
itu, dirasa sesuai dengan sifat dan pembawaan masyarakat Jawa, sehingga dalam waktu
yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam.
Setelah Demak, berdiri beberapa Kerajaan Islam di Ternate, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara pada abad XVI, sehingga agama Islam
menjadi agama yang dianut mayoritas penduduk nusantara.
Ada beberapa faktor
pendukung bagi cepatnya penyebaran Islam di bumi nusantara. Pertama, sebagai agama tauhid (tawhîd),
Islam menampilkan manusia dalam kedudukan yang sama (musâwah) dan bebas dari penghambatan sesama makhluk (hurriyyah). Prinsip tauhid ini
merupakan ajaran yang sama sekali baru yang menarik dan membebaskan manusia
dari belenggu lama yang membagi manusia ke dalam kelas-kelas.
Kedua, watak Ahlussunnah
wal Jama’ah yang moderat telah membentuk perilaku dan sikap para penyebar
Islam. Seperti diketahui, para wali dan penyebar Islam di nusantara adalah
penganut Ahlussunnah wal Jama’ah yang teguh. Dengan penuh kearifan, dakwah mereka
lakukan secara tadrîj (evolusi) dan sejauh mungkin
memperkecil beban yang bisa dirasakan masyarakat (taqlîl al-takâlif).
Ketiga, Islam dapat
menjadi agama rakyat karena disampaikan dengan penuh kedamaian dan menghormati
tradisi dan nilai secara arif berdasarkan prinsip-prinsip:
- Nilai lama yang secara diametral bertentangan dengan akidah disikapi dengan cara
menolaknya secara argumentatif.
- Nilai lama yang tidak sesuai dengan syari’at
diluruskan secara bertahap.
- Nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam
dibiarkan terus keberadaannya dan diberikan nafas Islam.
Perkembangan Islam
yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah bertambah pesat ketika generasi penerus
Walisongo dan penyebar Islam lainnya mengembangkan strategi dan pendekatan
penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan berperan
sebagai pusat penyebaran dan pendalaman agama Islam secara lebih terarah. Dari
pesantren lahir lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan paham agama
yang relatif utuh dan lurus.
Pada tahap-tahap
awal, lembaga pesantren memang lebih memfokuskan perhatiannya pada upaya
pemantapan tauhid dan pembinaan tashawuf. Pesantren kurang memperhatikan
pendalaman keilmuan Islam. Ini antara lain disebabkan literatur ke-Islaman,
karya ulama-ulama terkemuka masih sangat terbatas.
Pada pertengahan
abad XIX kontak langsung antara umat Islam di nusantara dan dunia Islam
lainnya, termasuk umat Islam di negara-negara Arab, mulai terbuka. Sebelumnya
karena kepentingan politik penjajah Belanda, hal itu sulit dilakukan. Kontak
dengan dunia Islam itu bukan saja melalui jama’ah haji ke Tanah Suci, tapi juga
melalui sejumlah pemuda nusantara yang belajar di negara-negara Arab. Banyaknya
literatur di pusat studi Islam di Timur Tengah, telah memungkinkan para pelajar
dari Indonesia mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas dan pandangan yang
lebih terbuka.
Di antara para
pelajar dari nusantara adalah KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah dan
KH. M. Bisri Sansuri. Ketiganya belajar di Makkah saat ide Muhammad Abduh dan
paham Wahabi sedang gencar-gencarnya diperbincangkan dan disebarluaskan. Ide
Muhammad ‘Abduh antara lain adalah ajakan terhadap umat Islam agar segera
bangkit dari dunianya yang beku dan melepaskan diri dari keterikatannya dengan
pemikiran mazhab yang mengakibatkan kebekuan itu. Kaum Wahabi menilai
praktek-praktek keagamaan umat Islam telah bercampur dengan syirik, tercampur
dengan keyakinan lama yang belum ternetralisasikan, sehingga perlu dibersihkan.
Paham dan gerakan
Wahabi, yang dirintis oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, merumuskan dan
menyajikan paham keagamaan dalam bentuk yang sistematis. Ide dasarnya
berpangkal pada ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah, yang dalam banyak hal mengikuti
garis mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal. Saat ‘Abd al-‘Aziz ibn Sa’ud berhasil
merebut kekuasaan di Hijaz (sekarang Arab Saudi), paham Wahabi dinyatakan
sebagai paham negara yang resmi. Hal ini menjadikan paham dan gerakan Wahabi
cepat menyebar. Selain itu, penyebaran paham ini juga dibawa oleh para jama’ah
haji dari berbagai penjuru dunia, di samping oleh para pelajar yang memperdalam
ilmu agama di Makkah.
2.
Kelahiran Nahdlatul Ulama
Secara historis, memang dalam dunia
Islam saat itu sedang muncul gerakan pembaruan, yang dibawa Muhammad Abduh,
yang terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah yang begitu berpihak pada ahli hadis.
Gerakan ini kemudian mengembangkan dan menyebarkan paham, yang sejauh ini
dikembangkan oleh Wahabi. Gerakan Wahabi secara tegas kurang begitu mengakui
keberadaan imam mazhab, bahkan menganjurkan umat Islam agar melepaskan diri
dari keterikatan pada mazhab. Isu dominan yang diintrodusir oleh mereka adalah
anjuran agar umat Islam melakukan pembaharuan pendidikan dan melepaskan
keterikatan dengan ulama mazhab, termasuk juga penolakan terhadap tarekat.
Di kalangan ulama Indonesia, muncul
dua pandangan berkaitan dengan wacana tersebut. Syekh Muhammad Khatib menerima
sebagian pikiran yang digagas Muhammad ‘Abduh, sementara Syekh Nawawi Banten
dan Syekh Mahfudz Termas yang menekuni fikih, ilmu kalam dan tashawuf menolak
gagasan itu. Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari rupanya lebih tertarik dengan
pikiran Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz Termas, sehingga ia
mengambil jalan tengah, dengan memadukan
pandangan ahlul hadis dan ahlu al-ra’y serta mengikuti empat imam mazhab yang
pada saat itu begitu populer, yakni mengikuti Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam
teologi, dan mengikuti Junaid al-Baghdadi dan Al-Ghazali dalam tashawuf.[2]
Perlu dicatat bahwa
di samping telah memunculkan respon dari ulama Indonesia, gerakan Wahabi juga
sebenarnya ikut mewarnai pergerakan nasional di Indonesia yang mulai marak di
abad XX. Misalnya sebuah Muktamar yang digagas oleh Partai Syarekat Islam
Indonesia (PSII), yang berusaha mengatur dan meyatukan sikap umat Islam dalam
memperbaiki nasibnya yang terancam oleh politik penjajah Belanda, ikut
terwarnai oleh pengaruh Wahabi tadi. Beberapa orang yang mewakili berbagai
kelompok Islam yang hadir dalam apa yang disebut Muktamar Alam Islami Hindi As Syarqiyah (Kongres Umat Islam) itu terlibat
dalam debat mengenai masalah-masalah khilafiah, sehingga muktamar tersebut
gagal menggalang persatuan umat Islam. Namun, ada beberapa hasil penting yang
dicapai dalam muktamar tersebut:
- Al-Quran dan al-Hadits adalah dasar semua ajaran
Islam.
- Para imam pendiri mazhab telah sampai pada rumusan hukum-hukum
mereka setelah mengaji secara seksama teks al-Quran dan al-Hadits.
- Untuk memurnikan dan memberi penjelasan tentang
berbagai cabang ilmu Islam serta mempelajari kitab-kitab agama perlu
meneruskan penelitian sampai kepada al-Quran dan al-Hadits. Dalam
menafsirkan al-Quran tidak boleh sesuka hati, tapi harus menggunakan
peralatan dan kelengkapan dari berbagai macam pengetahuan.
Meski terkesan
kompromistis, hasil-hasil tersebut memperlihatkan bahwa upaya pembaharuan yang
dilancarkan oleh mereka yang mengaku sebagai kaum modernis yang bersemboyan
‘kembali kepada al-Quran dan al-Hadits, mengikis habis takhayyul, bid’ah serta khurafât’
masih belum berhasil. Pada muktamar berikutnya, diadakan pada tahun 1924, kaum
modernis juga belum banyak mewarnai. Ulama-ulama pesantren yang meneruskan
tradisi Walisongo berhasil memberikan warna yang menyolok pada
keputusan-keputusan muktamar. Hasilnya antara lain, ijtihad tetap terbuka, tapi
tidak dapat dilakukan kecuali dengan syarat mengetahui nashsh al-Quran
dan al-Hadits, memahami betul ijma’ para ulama terdahulu, mengetahui bahasa
Arab, asbâb al-nuzûl (sebab-sebab
turunnya ayat), asbâb al-wurûd
(sebab-sebab munculnya hadits) dan beberapa persyaratan lainnya.
Dalam
muktamar-muktamar berikutnya kaum modernis sangat berperan. Namum karena
pertikain di antara mereka sendiri, akhirnya muktamar tersebut bubar. Sebagian
kelompok modernis yang selalu mengungkit-ungkit masalah khilafiah mendapat tentangan dari kelompok lainnya. Yang
mengungkit-ungkit masalah khilafiah menganggap bahwa untuk membenahi umat
Islam, debat mengenai khilafiah perlu dilakukan, sementara yang menentangnya
berpendapat hal tersebut hanya akan melumpuhkan umat Islam.
Selain masalah itu,
masyarakat Islam Indonesia seperti dunia Islam pada umumnya, tengah mengalami
guncangan dengan runtuhnya kekuasaan Sultan Turki yang dianggap sebagai
khalifah oleh umat Islam. Hal itu mendorong penguasa Mesir, pada tahun 1924, untuk
mengadakan kongres tentang khilafat (khilâfah), yang ternyata memperoleh sambutan
positif dari segala penjuru dunia Islam, termasuk masyarakat Islam nusantara (Indonesia).
Untuk menyambut gagasan itu di tanah air, dibentuk Komite Khilafat yang diketuai oleh Wondoamiseno, dengan anggota
Soerjopranoto, H. Fachruddin dan KH. A. Wahab Hasbullah. Karena kongres di
Mesir itu diundur, Komite Khilafat
mengalihkan perhatiannya pada gagasan kongres tentang masalah yang sama yang diajukan
oleh Raja ‘Abd al-;Aziz ibn Sa’ud,
penguasa Hijaz yang baru.
Gagasan Raja ibn Sa’ud
itu sempat menjadi topik utama dalam dua muktamar Islam di Yogyakarta pada
tahun 1925 dan di Bandung pada tahun 1926. Namun, Muktamar di Bandung ternyata
hanya mengesahkan pertemuan kaum modernis yang diadakan sebulan sebelumnya,
yakni untuk menghadiri Kongres Khilafat
di Makkah akan dikirim HOS. Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansur, sementara KH. A.
Wahab Hasbullah disingkirkan. Namun demikian, KH. A. Wahab Hasbullah dan ulama
pesantren menitipkan usul kepada delegasi yang ditunjuk, agar penguasa Arab
Saudi tetap menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di sana dan ajaran
mazhab yang dianut masyarakat Islam. Usul ini ditolak kaum modernis.
Mengingat betapa
pentingnya masalah itu, KH. A. Wahab Hasbullah mengambil inisiatif untuk
mengadakan musyawarah sendiri mengenai masalah itu dengan ulama-ulama yang
berpendirian sama. Langkah ini memperoleh sambutan antusias dari kalangan ulama
terkemuka. Pada tanggal 31 Januari 1926 bertepatan dengan 16 Rajab 1334
diadakan pertemuan di rumah KH. A. Wahab Hasbullah di Surabaya, yang dihadiri
oleh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. M. Bisri Sansuri, KH. R. Asnawi, KH. Ma’shum,
KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Nahrawi, KH. Abdullah Ubaid, KH. Alwi Abdul Aziz,
KHA. Halim, KH. Ndoro Munthaha, KH. Dahlan Abdul Qohar dan KH. Abdullah Faqih.
Pertemuan tersebut
menghasilkan beberapa keputusan penting, di antaranya; pertama, meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz dengan masa kerja sampai delegasi yang diutus menemui
Raja ibn Sa’ud kembali ke tanah air. Komite ini akan mengirim delegasi sendiri
ke Kongres Umat Islam di Makkah (tentang khilafah) yang terdiri dari KH. A.
Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghunaim al-Mishry. Tugas delegasi adalah
menghadap langsung Raja ibn Sa’ud untuk menyampaikan tuntutannya agar
ajaran-ajaran mazhab empat tetap dihormati dan melakukan observasi sejauh
kebangkitan Islam berjalan, terutama setelah runtuhnya kekuasaan Turki.
Delegasi ini memang tidak tergabung dalam Kongres Umat Islam itu, karena wakil
umat Islam Indonesia sudah ada. Delegasi Komite
Hijaz diterima langsung oleh Raja ibn Sa’ud dan memperoleh tanggapan yang
positif darinya. Raja ibn Sa’ud bahkan memberikan jawaban secara tertulis,
supaya diketahui oleh anggota Komite Hijaz lainnya. Jawaban itu
antara lain berisi janji untuk menjamin dan menghormati ajaran-ajaran mazhab
empat dan paham Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh wilayah kerajaan Arab Saudi.
Kedua, pertemuan di
Surabaya itu membentuk jam’iyyah sebagai wadah persatuan para ulama dalam
tugasnya memimpin umat menuju terciptanya cita-cita ‘izzu al-Islâm wa al-muslimîn, yang diberi nama Nahdlatul Ulama
(NU). Secara singkat, jam’iyyah ini bertujuan untuk membina terwujudnya
masyarakat Islam berdasarkan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Setidaknya, ada dua
faktor yang mendorong para ulama yang berkumpul saat itu bersepakat untuk
membentuk jam’iyyah NU. Pertama,
berkaitan erat dengan langkah politik penjajah Belanda yang melakukan
pembatasan ketat terhadap umat Islam Indonesia yang berniat melakukan ibadah
haji. Dalam pandangan penjajah Belanda, umat Islam Indonesia harus dibatasi
secara ketat untuk bertemu dengan umat Islam dari berbagai penjuru dunia, sebab
maraknya perlawanan umat Islam Indonesia terhadap penjajah Belanda tidak lepas
dari pengaruh umat Islam dari negara-negara lain.
Kedua, pembentukan NU
didorong oleh prinsip al-muhâfazhah ‘ala
al-qadîm al-shâlih wa al akhdzu bi al-jadîd al-ashlah
(memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebh baik), yang
selama ini menjadi pegangan para ulama. Seperti diuraikan di atas, para wali
berhasil menyebarkan agama Islam di Indonesia dalam waktu yang relatif cepat
juga dengan berpegangan pada prinsip itu.
B.
Ahlussunnah wal Jama’ah
Dari segi bahasa, ahlussunnah
berarti penganut sunnah[3]
Nabi, sedangkan ahlul jama’ah berarti
penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum “Ahlussunnah
wal Jama’ah” (ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah) adalah kaum yang menganut kepercayaan
yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan
sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi secara
terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh
seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah
tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun).
Menurut
Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya Nasy’ah
al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (Ahlussunnah
wal Jama’ah) mengandung dua konotasi, ‘âmm
(umum/global) dan khâshsh (spesifik). Dalam makna ‘âmm, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah
pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya adalah kelompok Asy’ariyah
(pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran kalam. Dr. Ahmad
‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar
mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk Allah Swt., dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan ajaran yang
terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku
dalam kehidupan sehari-hari.
... وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا..
Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. al-Hasyr:
7).
Dengan arti seperti
di atas, apa yang masuk dalam kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, pertama-tama
adalah para sahabat Nabi, para tabi’in dan tabiit-tabi’in, serta semua orang
yang mengikuti jalan Nabi Muhammad Saw. sampai hari kiamat kelak. Al-Ustadz Abu
al-Faidl ibn al-Syaikh ‘Abd al-Syakur al-Sanori dalam karyanya kitab al-Kawâkib al-Lammâ’ah fî Tahqîq
al-Musammâ bi ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah’ menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah
sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa setia mengikuti sunnah Nabi Saw.,
dan petunjuk para sahabatnya dalam akidah, amaliah fisik (fiqh) dan
akhlak batin (tashawwuf). Kelompok itu meliputi ulama kalam (mutakallimûn), ahli fikih (fuqahâ) dan ahli hadits (muhadditsûn) serta ulama tashawuf (shûfiyyah). Jadi, pengertian Ahlussunnah
wal Jama’ah menurut ‘urf khâshsh
(adat kebisaaan) adalah kelompok muhadditsin, shufiyah, Asy’ariyah dan
Maturidiyah. Pengikut mereka inilah yang kemudian juga dapat disebut Ahlussunnah
wal Jama’ah, dan selainnya tidak, dalam konteks ‘urf khâshsh tadi. Adapun menurut pengertian ‘âmm Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok atau golongan yang
senantiasa setia melaksanakan sunnah Nabi Saw. dan petunjuk para sahabatnya.
Dengan kata lain, substansi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang
memurnikan sunnah, sedangkan lawannya adalah ahli bid’ah (ahl al-bid’ah).
Ahmad Amin dalam Zhuhr
al-Islâm, juga menjelaskan bahwa sunnah dalam istilah ahl al-sunnah
berarti hadis. Oleh karena itu, berbeda dengan kaum Mu’tazilah, Ahlussunnah percaya
terhadap hadis-hadis sahih, tanpa harus memilih dan menginterpretasikannya.
Adapun Jamâ’ah, dalam pandangan al-Mahbubi, adalah umumnya/mayoritas umat Islam
(‘âmmah al-muslimîn) serta jumlah besar dan khalayak ramai (al-jamâ’ah
al-katsîr wa al-sawâd al-a’zham). Secara lebih terperinci, al-Baghdadi
menegaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah terdiri dari 8 (delapan) kelompok
besar, yaitu: mutakallimin, fuqaha, ahli hadis, ahli bahasa, ahli qira’at, sufi
atau zahid, mujahid, dan masyarakat awam yang berdiri di bawah panji-panji Ahlussunnah
wal Jama’ah.[4]
Dua definisi ini
menggambarkan adanya definisi yang bersifat terminologis (ishthilâhiy)
dan definisi yang bersifat substantif. Ini artinya, dalam istilah Ahlussunnah
wal Jama’ah ada aspek jawhar atau
hakekat dan ada aspek ‘ardl
atau formal. Dalam dua aspek ini, apa yang mendasar adalah aspek jawhar-nya, sedangkan aspek ‘ardl-nya dapat mengalami revitalisasi dan pembaruan, karena
terkait dengan faktor historis. Seperti diketahui, istilah Ahlussunnah wal
Jama’ah muncul berkaitan dengan hadirnya mazhab-mazhab, sehingga ketika hasil
pemikiran mazhab yang bersifat relatif, atau tidak absolut itu mengalami revitalisasi,
maka pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah pun harus dikembalikan kepada arti
substansinya. Pengertian substansi Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks akidah
adalah paham yang membendung paham akidah Syi’ah (dalam konteks historis juga
paham akidah Mu’tazilah) yang dinilai sebagai kelompok bid’ah, yakni kelompok yang melakukan penyimpangan dalam agama
karena lebih mengutamakan akal dari pada naql
(Qur’an) dalam merumuskan paham keagamaan Islamnya.
Dengan demikian,
pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif adalah kelompok yang setia
terhadap sunnah, dengan menggunakan manhaj
berpikir mendahulukan nashsh daripada
akal. Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk mazhab, kelompok ini
melakukan pembaruan paham keagamaan Islam agar sesuai dengan sunnah atau ajaran
murni Islam (purifikasi),
sehingga orang Barat menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orthodox Sunni school. Di antara
kelompok yang berhasil melakukan pembaruan seperti ini adalah pengikut Imam
al-Asy’ari (Asy’ariyah).
C.
Dalil-Dalil Ahlussunnah wal Jama’ah
Secara historis,
para imam Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang akidah atau kalam telah ada sejak
zaman sahabat Nabi (sebelum Mu’tazilah ada). Imam Ahlussunnah wal Jama’ah di
zaman itu adalah Ali ibn Abi Thalib, yang berjasa membendung pendapat Khawarij
tentang al-wa’d wa al-wa’îd (janji
dan ancaman) dan membendung pendapat Qadariyah tentang kehendak Tuhan (masyî’ah) dan daya manusia (istithâ’ah) serta kebebasan berkehendak
dan kebebasan berbuat manusia. Selain Ali Ibn Abi Thalib, ada juga Abdullah ibn
Amr, yang menolak pendapat kebebasan berkehendak manusia dari Ma’bad al-Juhani.
Di masa tabi’in,
muncul beberapa imam yang mengemban misi Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti Umar
ibn ‘Abd al-‘Aziz yang menulis ‘Risâlah
Balîghah fî al-Radd ‘ala al-Qadariyyah’, Zayd ibn Ali Zayn al-‘Abidin,
Hasan al-Bashri, al-Sya’bi dan al-Zuhri. Sesudah generasi ini muncul seorang
imam, Ja’far ibn Muhammad al-Shadiq. Dari para fuqaha dan imam mazhab fikih,
juga ada para imam kalam Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti Abu Hanifah dan Imam Syafi’i.
Abu Hanifah di bidang ini berhasil menyusun sebuah karya untuk meng-counter paham Qadariyah berjudul ‘Al-Fiqh al-Akbar’, sedangkan al-Syafi’i
meng-counter-nya melalui dua kitab ‘Fî Tashhîh al-Nubuwwah wa
al-Radd ‘ala al-Barâhimah’, dan ‘Al-Radd
‘ala al-Ahwâ’. Setelah periode Imam Syafi’i, ada beberapa muridnya yang
berhasil menyusun paham akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah Abu
al-‘Abbas ibn Suraij. Generasi imam dalam kalam Ahlussunnah wal Jama’ah sesudah
itu diwakili oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari yang populer disebut sebagai
salah seorang penyelamat akidah keimanan, lantaran keberhasilannya membendung
paham Mu’tazilah.
Dari mata rantai
data di atas, yang sekaligus sebagai dalil historis, dapat dikatakan bahwa
akidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif telah ada sejak zaman sahabat.
Artinya, paham akidah Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak sepenuhnya seperti yang
dirumuskan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Apa yang dilakukan oleh Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ari adalah menyusun doktrin paham akidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara
sistematis, sehingga menjadi pedoman atau mazhab resmi umat Islam. Sesuai
dengan kehadirannya sebagai reaksi terhadap munculnya paham-paham yang ada, Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah pemahaman yang berusaha kembali kepada Islam sebagaimana
dipraktekkan oleh para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Kebenaran
keyakinan yang mereka miliki, telah mereka kaitkan dengan ‘firqah nâjiyah’ (kelompok yang selamat), yang disebutkan oleh Nabi
Muhammad di tengah banyaknya kelompok yang dianggap sesat. Kelompok yang
selamat itu kemudian disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagaimana tercantum
dalam hadits. Hadits ini telah dijadikan dalil tentang paham Ahlussunnah wal
Jama’ah sebagai paham yang menyelematkan umat Islam dari neraka, dan juga yang
dapat menjadi pedoman pengertian substantif paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Di
antara teks hadits Ahlussunnah wal Jama’ah adalah:
افترقت اليهود
على إحدى وسبعين فرقة وافترقت النصارى على اثنين وسبعين فرقة وستفترق هذه الأمة على
ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة. قلنا : من هي يا رسول الله ؟ قال من كان
على مثل أنا عليه اليوم أصحابي.(رواه الترمذى والحاكم)
“Orang-orang Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan, dan orang-orang
Nashrani terpecah menjadi 72 golongan, dan ummat(ku) ini akan terpecah menjadi
73 golongan, semuanya akan masuk ke neraka kecuali satu golongan.” Kami
bertanya: “siapakah golongan satu itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “ialah
golongan yang mengikuti apa yang aku lakukan saat ini dan para sahabaku”. (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim)
"... ستفترق أمتي
على ثلاث وسبعين فرقة الناجية منها واحدة والباقون هلكي. قيل: ومن الناجية؟ قال: أهل
السنة والجماعة. قيل: وما
السنة والجماعة؟ قال: ما أنا عليه اليوم وأصجابي."
“…. Ummatku akan terpecah menjadi 73 kelompok. Hanya satu yang
selamat, dan yang lainnya celaka”. Nabi ditanya: “Siapakah kelompok yang
selamat itu ya Rasul Allah?”. Nabi menjawab: “Yaitu kelompok Ahlussunnah wal
Jam’ah.” Kemudian Nabi ditanya lagi: Apa itu sunnah dan jama’ah?”. Nabi
menjawab: “Ialah apa yang aku lakukan saat ini dan para sahabatku.”
Para ulama menemukan
bahwa teks hadits tentang iftirâq
al-ummah (perpecahan umat) ini sanadnya (mata rantai penyampai) banyak,
sehingga mereka pun berbeda pendapat mengenai sahnya hadits ini, yang karenanya
tidak dapat dijadikan dalil. Di antara ulama tersebut adalah Ibnu Hazm
pengarang kitab ‘Al-Fashl fî al-Milal wa
al-Nihal’. Meskipun demikian, banyak juga ulama yang menerima hadits
iftirâq tersebut, karena hadits ini
diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi Saw., seperti Anas ibn Malik, Abu
Hurairah, Abu Darda, Jabir, Abu Sa’id al-Khudri, dan lain-lain. Apa yang
dimaksud iftirâq (perpecahan) dalam
konteks hadits ini adalah perbedaan dalam pokok-pokok akidah, karena hal inilah
yang menyelamatkan manusia dari neraka apabila hal itu sesuai dengan tuntuan
Rasulullah Saw. dan sahabatnya.
Jadi, inti dari
paham Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti juga terdapat dalam teks dalil hadits
adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. dan petunjuk
sahabatnya. Meskipun demikian, adalah sah jika terdapat upaya ijtihâd untuk merusmuskan kembali paham Ahlussunnah
wal Jama’ah apabila ternyata rumusan paham Ahlussunnah wal Jama’ah oleh para
ulama terdahulu memiliki bobot yang kurang relevan dengan makna yang tersirat
dari dalil-dalil Ahlussunnah wal Jama’ah.
D.
Ruang Lingkup Ahlussunnah wal Jama’ah
Sebagaimana
halnya Khawarij, Mu’tazilah, dan Syi’ah, Ahlusunnah wal Jama’ah merupakan salah
satu aliran atau paham teologi yang ikut mewarnai sejarah perkembangan agama
Islam. Ia datang di tengah-tengah dinamika kehidupan umat untuk ikut ambil
bagian dalam memberikan solusi atas
berbagai persoalan yang dihadapi, khususnya yang berkenaan dengan permasalahan ikhtilâfiyyah[5]
dalam akidah dan keyakinan.
Kalau pada
awalnya Ahlussunnah wal Jama’ah muncul sebagai reaksi terhadap Syiah, ia dalam
perkembangannya juga merespon Mu’tazilah. Bahkan kemunculan Ahlussunnah wal
Jama’ah sebagai aliran terjadi di masa Mu’tazilah mencapai kejayaannya. Sebagaimana
diketahui, Mu’tazilah mencapai puncak kejayaannya pada saat Daulah Abasiyah
berada di bawah pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq
(813 M – 847 M). Kejayaan ini diawali dengan dijadikannya Mu’tazilah oleh
Khalifah al-Ma’mun sebagai mazhab resmi yang dianut negara. Agaknya, pada masa
itulah usaha penyebaran ajaran-ajaran Mu’tazilah yang dijalankan oleh 3 ribu
pengikut Wasil bin ‘Atha semenjak tahun 718 M mulai menemukan hasilnya hingga
Mu’tazilah memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam
Paham Mu’tazilah
mengajarkan bahwa al-Quran tidak bersifat qadîm, tetapi baru (hadîts)
dan diciptakan (makhlûq). Dalam pandangan mereka, meng-qadîm-kan
al-Quran berarti meyakini adanya sesuatu yang qadîm selain Tuhan, dan
itu sama saja dengan menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah perbuatan syirik,
dan syirik merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni Tuhan. Al-Ma’mun
sebagai khalifah menetapkan bahwa orang syirik tidak dapat menempati posisi
penting dalam pemerintahan. Oleh karenanya, dia kemudian menginstruksikan
kepada Gubernurnya untuk menjadikan Mu’tazilah sebagai Paham yang harus dianut
oleh para pemuka masyarakat melalui sebuah kebijakan yang dikenal dengan mihnah
(inquisition). Kebijakan ini diaplikasikan dengan menerapkan ‘fit
and proper test’ yang bersifat subyektif, guna melihat apakah seseorang,
yang akan diangkat sebagai pejabat, berpaham Mu’tazilah atau tidak.[6]
Ahmad ibn Hanbal
telah tampil sebagai orang yang menolak paham Mu’tazilah, dan mengembalikan
ajaran Islam pada apa yang terkandung dalam sunnah sehingga dia kemudian
dikenal sebagai imam Ahlussunnah.[7]
Meskipun harus berhadapan dengan tiga penguasa Daulah Abasiyah secara
berturut-turut, Ibn Hanbal tetap mempertahankan keyakinannya, sehingga ia
menjadi orang yang berpengaruh dan mendapat pengikut yang terus bertambah.
Kenyataan ini membuat Khalifah al-Mu’tashim dan al-Watsiq tidak berani
menjatuhkan hukuman mati kepada Ahmad Ibnu Hanbal, karena hal itu dalam
pandangan mereka akan sangat berpotensi bagi timbulnya kekacauan. Di masa
kekhalifahan al-Mutawakkil, putra al-Mu’tashim, pengaruh ibn Hanbal yang
berpegang teguh pada sunnah dan tradisi terus menguat, sementara pengaruh Mu’tazilah
menurun di tengah-tengah masyarakat. Pada Puncaknya, al-Mutawakkil membatalkan
aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara (848 M), dan berakhirlah riwayat mihnah
dalam perjalanan sejarah Daulah Abbasiyah.
Dengan dasar
kenyataan sejarah itulah Tasy Kubra Zadah
menyatakan bahwa aliran Ahlussunnah wal Jama’ah telah muncul atas
keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy’ari untuk membentuk aliran teologi
baru yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri, setelah menjadi pengikut
aliran Mu’tazilah selama 40 tahun.[8]
Dari sinilah term Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawa oleh Ibn Hanbal menjadi
identik dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah, mengingat Abu al-Hasan al-Asy’ari yang
menyandarkan teologi barunya pada ajaran yang dibawa oleh Ibn Hanbal, tidak
merumuskan ajaran Ibnu Hanbal secara lebih sistematis. Dijelaskan bahwa pada
saat berdiri di depan publik untuk memproklamirkan teologi barunya, Abu
al-Hasan al-Asy’ari mengatakan bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan
yang dianutnya adalah berpegang teguh pada al-Qur’an, sunnah Rasulullah Saw.,
atsar sahabat, perkataan tabi’in, pembela hadits, dan terhadap apa yang
dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal.[9]
Akan tetapi, meskipun al-Asy'ari mendasarkan teologinya pada Ahmad ibn Hanbal,
ia dalam bidang fikih tetap berpegang pada mazhab Syafi'i.[10]
Ibn Taimiyah
dalam Muwafaqât Shahîh al-Manqûl li al-Sharîh al-Ma’qûl
menjelaskan bahwa ketika keluar dari mazhab Mu’tazilah, al-Asy’ari menempuh
cara Ibn Kullab. Dia membela sunnah dan hadis, serta menyandarkan
pendapat-pendapatnya pada Ahmad ibn Hanbal. Semua ini diungkapkan secara tegas
dalam buku-buku karanganya, seperti al-Ibânah, al-Mujâz, dan al-Maqâlât.
Lebih dari itu, al-Asy’ari juga
bergaul dengan para pembela sunnah dan para teolog pengikut mazhab Hanbali,
seperti ibn ‘Aqil dan Abu al-Faraj al-Jawzi. Dari merekalah al-Asy’ari belajar
dan mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Ahmad ibn Hanbal.[11]
Kalau apa yang
diajarkan oleh ibnu Hanbal itu berpegang teguh terhadap sunnah dan tradisi,
Mu’tazilah tidak mau berpegang teguh kepada sunnah dan tradisi itu. Sikap
Mu’tazilah ini bukan karena mereka tidak percaya, tetapi lebih disebabkan oleh
keraguan terhadap keaslian sunnah dan tradisi tersebut. Sejalan dengan itu,
ajaran-ajaran yang dibawanya juga lebih bersifat rasional dan filosofis,
sehingga paham Mu’tazilah tidak bisa diikuti oleh masyarakat awam. Paham
Mu’tazilah, karenanya, tetap menjadi paham minoritas, meski ditopang oleh
kekuasaan, sementara pada sisi lain, Ahlussunnah wal jama’ah memperoleh respon
yang sangat positif dari mayoritas
khalayak. Kedua faktor inilah yang sering disebut sebagai awal munculnya
istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu, golongan yang berpegang pada sunnah dan
merupakan golongan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang
bersifat minoritas dan tidak berpegang teguh terhadap sunnah.
Secara substantif, Ahlussunnah
wal Jama’ah itu meliputi tiga aspek Islam, yakni aspek akidah, fikih dan
akhlak. Meskipun diskursus para
ulama sering hanya membicarakan aspek akidah dan syari’ah (fiqh), hal itu bukan berarti tidak ada aspek akhlak. Menurut
pandangan ini, pengalaman (practice)
dari dua aspek (yang disebut pertama) itu mengandung aspek akhlak atau tashawuf
(tashawwuf).
Seperti disepakati
oleh para ulama penulis, aspek yang paling krusial
di dalam paham Ahlussunnah wal Jama’ah adalah aspek akidah. Aspek ini krusial, karena pada saat Mu’tazilah
dijadikan sebagai paham keagamaan resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, di
mana telah terjadi kasus mihnah (inquisition)
yang cukup menimbulkan keresahan umat Islam. Imam al-Asy’ari saat itu telah
tampil untuk mengoreksi kebijakan pemerintah tadi dan sekaligus mengkonter teologi
Mu’tazilah, yang dalam beberapa hal dianggap bid’ah atau menyimpang. Pemikiran-pemikiran
teologi Islam yang disampaikan Imam al-Asy’ari ternyata diterima secara positif
oleh masyarakat Islam, sehingga kemudian terbentuk kelompok Asy’ariyah
(pengikut al-Asy’ari). Cikal bakal ini akhirnya terinstitusi dalam bentuk
mazhab al-Asy’ari.
Aspek kedua
dalam paham Ahlussunnah wal Jama’ah adalah syari’ah atau fikih, yakni paham
keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’âmalah. Yang dimaksud dengan ibadah adalah tuntutan formal yang
berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan dengan Tuhan, seperti
shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan mu’âmalah adalah bentuk ibadah yang
bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia secara
horisontal, misalnya dalam hal jual beli, pidana perdata, sosial politik, dan
sebagainya. Yang pertama disebut habl
min Allâh (hubungan manusia dengan Allah), dan yang kedua disebut habl min al-nâs (hubungan manusia
dengan manusia).
Para ulama telah
sepakat bahwa aspek syari’ah Ahlussunnah wal Jama’ah ini bersumber dari empat
mazhab besar dalam Islam, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Menurut
mereka, Ahlussunnah wal Jama’ah bersumber pada empat mazhab besar ini karena
paham akidah mereka sejalan dengan paham akidah mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.
Imam Asy’ari sendiri sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jama’ah adalah penganut
mazhab Imam Syafi’i, sementara al-Maturidi adalah penganut mazhab Imam Hanafi
di bidang syari’ah atau fikih. Ahlussunnah wal Jama’ah juga bersumber pada Imam
Maliki karena ia adalah pelopor pembanding ahl
al-ra’y (orang yang “mendewakan” akal) dari kalangan ulama Irak, di mana manhaj berpikirnya adalah taqdîm al-nashsh ala al-‘aql (mendahulukan
apa yang tertulis dari Qur’an dari pada akal). Demikian juga mazhab Hanbali
dijadikan rujukan karena Imam Hanbali banyak dijelaskan oleh literatur Islam
sebagai ulama yang dalam paham akidahnya secara garis besar, terutama dalam
masalah-masalah sentral yang menjadi
kecenderungan polemik di antara ulama kalam, sejalan dengan paham ketiga
ulama pendiri mazhab lainnya.
Aspek ketiga
dari paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah akhlak atau tashawuf, yang
dalam banyak hal difokuskan kepada wacana akhlak Imam al-Ghazali, Yazid
al-Bustami dan Junaid al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Aspek ketiga
ini, dalam diskursus Islam
dinilai penting, karena mencerminkan faktor ihsân
dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedangkan Islam
menggambarkan syari’ah, dan ihsân
menggambarkan kesempurnaan Iman dan Islam dalam diri seseorang. Iman itu ibarat
akar, Islam ibarat pohon dan ihsân
ibarat buah yang dihasilkan oleh sebuah pohon. Artinya, manusia sempurna adalah
manusia yang di samping bermanfaat untuk dirinya, karena dia sendiri kuat, juga
memberi manfaat kepada yang lain (ini sering disebut dengan three principles of human life). Kalau
manusia memiliki keyakinan atau kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at fikih,
maka hal itu ibarat ada akar tetapi tidak ada pohonnya, artinya tidak ada
gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang tidak akan menghasilkan buah
jika kurang berarti atau kurang bermanfaat bagi kehidupan (bukan sama sekali
tidak ada manfaatnya), atau dengan kata lain, kurang sempurna. Jadi, aspek ini
juga terkait dengan aspek yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya
dengan keberadaan aspek yang pertama dan kedua untuk membentuk manusia menjadi insân kâmil atau the perfect man.
E.
Pola Pikir Ahlussunnah wal Jama’ah
Pada dasarnya,
tidak ada perbedaan yang prinsipal antara kelompok dan mazhab dalam Islam. Dalam
hal ajaran Islam mereka sama meyakini bahwa al-Qur’an dan sunnah adalah
sumbernya. Para ulama dari berbagai mazhab
juga tidak berbeda mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti tentang ke-Esaan
Tuhan, kewajiban shalat, zakat, dan lain-lain. Tetapi, mereka memang berbeda
dalam hal-hal yang tidak pokok, karena mereka berbeda dalam manhaj berpikirnya, terutama diakibatkan
oleh perbedaan penekanan mereka atas otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dan teks-teks sunnah Rasul Saw. Apabila ada di antara kelompok atau
mazhab dalam Islam yang bersikap liberal, maka hal itu karena mereka liberal
dalam menggunakan otoritas akal untuk menafsirkan ajaran Islam. Tapi perlu
dicatat bahwa liberal di sini berbeda dengan paham liberal dalam filsafat,
karena metodologi berpikir pada semua aliran dalam Islam tidak ada yang
mengesampingkan ‘naql’ (teks Qur’an) sebagai
sumber ajaran dalam Islam.
Masing-masing
kelompok dalam pemikiran Islam memiliki manhaj
sendiri-sendiri. Mu’tazilah sering disebut sebagai kelompok liberal dalam
Islam, Asy’ariyah disebut kelompok tradisional dan Maturidiyah disebut kelompok
yang bervariasi antara liberal dan tradisional (wasath-mu’tadil). Keliberalan, kadang-kadang juga disebut rasional,
paham Mu’tazilah, baik dalam konteks kalam atau fikih, berpangkal dari paham
bahwa akal sebagai anugerah Tuhan, memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal
yang berhubungan dengan Tuhan dan hal-hal yang dianggap baik atau buruk.
Sementara bagi kelompok tradisonal Asy’ariyah, akal tidak sanggup mengetahui hal
itu kecuali ada petunjuk dari naql atau
nashsh, dan bagi kelompok wasath-mu’tadil yang dalam hal ini
diwakili oleh Maturidiyah, akal itu mempunyai kekuatan tetapi juga sekaligus
keterbatasan. Apa yang dinyatakan oleh akal sebagai baik, tentu ia adalah baik
dan juga sebaliknya. Tapi, tidak berarti semua perbuatan manusia sesuai dengan
jangkauan akal, karena untuk menentukan baik dan buruk itu hanya dapat
diketahui melalui naql.
Jadi, kalau
diringkas paradigma atau manhaj
berpikir dalam Islam itu dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang
memberikan otoritas tinggi kepada akal, kelompok yang menganggap lemah terhadap
akal dan kelompok yang bervariasi di antara dua kelompok yang pertama tadi.
Apabila manhaj ini dihubungkan dengan
paham akidah, maka peran akal dan naql
itu berhubungan dengan masalah-masalah Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya;
dan apabila dihubungkan dengan masalah-masalah fikih, maka peran akal dan naql itu berhubungan dengan perbuatan
manusia (mukallaf). Adapun dalam
konteks akhlak atau tashawuf, maka peran akal atau naql berhubungan dengan paham tentang hubungan spiritual antara
manusia dengan Tuhan.
Dalam ketiga
aspeknya, yakni akidah, fikih dan tashawwuf, Ahlussunnah wal Jama’ah memang memiliki
prinsip manhaj berpikir taqdîm al-nashsh ‘ala al-‘aql. Bedanya
dengan paham liberal dalam Islam, meskipun sama-sama mengacu kepada nashsh,
Ahlussunnah wal Jama’ah tidak terlalu mendalam menggunakan pendekatan ta’wîl (mengalihkan arti harfiah terhadap ayat-ayat mutasyâbihât), yang memberikan ruang agar nashsh sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal. Dalam hal ini,
Ahlussunnah wal Jama’ah mendudukkan akal hanya sebagai alat bantu untuk
memahami nashsh. Karena itu,
penafsiran agama tidak harus sejalan dengan akal, karena akal seringkali juga
salah dalam daya tangkapnya.
Ketiga kelompok
tersebut sebenarnya bisa diringkas menjadi dua kelompok, karena kelompok yang
ketiga, yakni wasath mu’tadil, dapat
digabungkan dalam kelompok yang kedua, mengingat dalam manhaj berpikirnya sama-sama menempatkan akal sebagai alat bantu
memahami nashsh dan terbatas daya
tangkapnya. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa antara kelompok tradisional
Asy’ariyah dan kelompok moderat Maturidiyah terdapat perbedaan kecil dalam hal
akal tadi. Bagi kelompok tradisional Asy’ariyah, akal hampir sama sekali tidak
memiliki daya dan otoritas, sedangkan bagi kelompok Maturidiyah akal mempunyai daya
dan otoritas, meskipun tidak setinggi seperti yang dikonsepsikan paham liberal.
Meskipun akal bagi Maturidiyah sanggup mengetahui perbuatan yang baik dan buruk
bagi manusia (dalam konteks fikih), ia tetap terbatas dan tidak mutlak,
sehingga dalam keadaan tertentu tetap harus tunduk kepada makna nashsh apa adanya. Dalam paham liberal ta’wîl digunakan secara ketat, sehingga nashsh harus sejalan dengan makna yang
ditunjukkan oleh akal. Dalam Asy’ariyah, takwil didudukkan dalam otoritas
sangat terbatas, sehingga paham keagamaannya terkesan tradisional, karena
penafsiran tidak boleh melampaui makna yang tersurat dalam nashsh. Sementara Maturidiyah menggunakan metode ta’wîl secara mendalam tetapi terbatas. Manhaj berpikir seperti ini tidak hanya
terjadi di kalangan ulama Kalam dan fikih, tetapi juga terjadi di kalangan
ulama tashawuf. Karena Ahlussunnah wal Jama’ah selalu mengambil jalan yang
moderat, paham tashawuf yang ekstrim, seperti paham tashawuf yang disebut
dengan istilah wahdah al-wujûd
(unity of being) tidak diakui sebagai
paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Semua paham yang
menggunakan manhaj berpikir seperti
itulah yang kemudian disebut sebagai paham ‘Sunni’. Para penganut manhaj berpikir yang oleh ulama diyakini
mendekati kebenaran itu disebut juga sebagai kelompok purifikasi yang berusaha mengembalikan paham keagamaan yang
dinilai bid’ah kepada paham yang
sesuai dengan sunnah. Tetapi, manhaj
berpikir Ahlussunnah wal Jama’ah seperti disepakati oleh jumhûr (mayoritas) ulama itu tidaklah satu, tetapi variatif. Di
antara mereka ada yang sangat terikat oleh makna nashsh apa adanya, dan ada yang tidak begitu ketat terikat kepada nashsh. Dengan pola ini, maka penganut Sunni pun beragam, yakni ada yang
berpola tradisional, eksklusif dan ada yang modern-eksklusif. Maka, paham ini
dapat menerima budaya pluralisme
dan cenderung lebih terbuka untuk meng-cover
dan mengakomodasi semua bentuk perubahan.
Secara
sederhana bisa disarikan bahwa dalam aspek akidah, manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah itu:
a)
Menggunakan
metode yang sesuai dengan perkembangan zaman dan menggunakan bahasa kontemporer
dalam upaya membela akidah dalam menghadapi arus yang berusaha untuk
menghancurkan dan mengaburkan ajaran Islam.
b)
Berpegang
pada sikap tawqîf, tanzîh dan tafwîdh dalam masalah-masalah mutasyâbihât yang ada dalam Qur’an dan
Sunnah, seperti ayat:
...
يد الله فوق أيديهم ...
c) … Tangan Allah di atas semua tangan
mereka… (QS. al-Fath:
10)
d)
Merupakan
mazhab jalan tengah (moderat), tidak menafikan sifat Allah dan tidak men-tasybîh-kan (menyerupakan)-Nya dengan
makhluk.
e)
Memadukan
akal dan nashsh dalam pengertian
mendahulukan nashsh sebagai dasar utama, dan akal sebagai penunjang.
Apabila terjadi pertentangan antara akal dan nashsh, maka didahulukan nashsh,
karena akal tidak mampu untuk memahami kehendak nashsh.
Dalam bidang
syari’ah, Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan 4 (empat) sumber yang bisa
dijadikan rujukan bagi pemahaman keagamaannya, yaitu: al-Qur’an al-Karim, sunnah
Nabi, ijma’ (kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi). Dari keempat
sumber yang ada, Al-Qur’an telah dijadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai sumber
utama dan pertama. Ini artinya bahwa apabila terdapat masalah-masalah kehidupan
yang mereka hadapi, mereka mencari pemecahannya lebih dahulu dalam al-Qur’an.
Apabila masalah tersebut terdapat pemecahannya dalam al-Qur’an, maka selesailah
sudah permasalahan tersebut. Apabila masalah tersebut tidak mereka temukan
dalam al-Qur’an, maka Ahlussunnah wal Jama’ah mencari pemecahannya dalam sunnah
Nabi Saw. Apabila hal itu terdapat dalam sunnah Nabi, maka selesailah sudah
masalahnya. Apabila masalah itu tidak ada pemecahannya dalam sunnah Nabi, maka
mereka mencari pemecahannya dalam ijma’ (kesepakatan ulama) para ahl al-hall wa al-‘aqd di
kalangan para ulama yang lebih dahulu. Apabila masalah tersebut terdapat
pemecahannya dalam ijma’, maka Ahlussunnah tidak mencari pemecahannya ke sumber
yang lain.
Apabila masalah
yang dihadapi juga tidak ada pemecahannya dalam ijma’, maka Ahlussunnah
menggunakan akal mereka untuk melakukan ijtihâd
dengan mengqiyaskan hal-hal yang belum diketahui status hukumnya kepada hal-hal
yang sudah diketahui status hukumnya apabila kedua hal tersebut memiliki
faktor-faktor persamaan. Sebagai dalil dalam penggunaan empat sumber ini adalah
firman Allah Swt. dalam surat al-Nisâ: 59,
يأيها
الذين أمنوا أطيعواالله وأطيعواالرسول وأولي الأمر منكم فإن
تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
...
Firman Allah ‘athî’û Allâh’, taatlah kamu kepada
Allah menunjukkan keharusan merujuk kepada kitab Allah, yaitu al-Qur’an. Firman
Allah ‘wa-athî’û al-Rasûl’, (dan
taatlah kamu kepada Rasulullah Saw.), memberikan isyarat untuk menggunakan
Sunnah Nabi Saw. Firman Allah ‘wa uli
al-amr minkum’, memberikan isyarat tentang kewajiban menggunakan ijma’
(kesepakatan) umat yang diwakili oleh para ulama ahl al-hall wa al-‘aqd, dan kalimat ‘Fa-in tanâza’tum fî syai-in fa ruddûhu ila Allâh’, memberikan isyarat
tentang penggunaan qiyas.
Para sahabat dalam
kehidupan beragama mereka telah mengikuti jejak Rasulullah, baik dalam ucapan,
perbuatan, petunjuk dan tingkah laku. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it
tabi’in, mengikuti para sahabat. Dengan demikian, maka al-Qur’an, kehidupan
Rasul Saw., para sahabat dan tabi’in merupakan sumber keteladanan bagi
kehidupan umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di dalam melaksanakan berbagai
kehidupan beragama, termasuk tashawuf dan akhlak.
Ahli tashawuf Sunni
bersepakat (ijma’), bahwa tujuan tashawuf adalah untuk mendapatkan rida Allah.
Hal tersebut ditempuh dengan jalan memerangi hawa nafsu. Di dalam mengamalkan
tashawuf, Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti cara tashawuf dari tharîqah Syeikh Junayd al-Baghdadi.
Adapun akhlak menurut Ahlussunnah wal Jama’ah adalah perbuatan manusia yang
dilakukan dengan bebas dan penuh kesadaran. Ia terdiri dari perangai mulia,
karakter dan agama. Hal itu didasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Firman
Allah Swt. (QS. al-Qalam: 4,
وإنك لعلى خلق عظيم
Dan
sesungguhnya kamu menyandang akhlak yang mulia. (QS.
al-Qalam: 4)
Ibn ‘Abbas
mengatakan bahwa akhlak (akhlâq) adalah beragama dengan sempurna. Sedang
tafsir al-Jalâlayn (kitab
tafsir yang ditulis oleh Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi) mengartikan
akhlak sebagai karakter dan adat. Dengan demikian, maka pengertian akhlak
adalah adat, karakter, perangai, kehalusan hati dan istiqamah dalam beragama.
Tersebut dalam hadits:
إن
من أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا (رواه الترمذي والحاكم)
Mukmin
yang sempurna adalah mereka yang karakter dan adatnya baik. (HR. al-Turmudzi dan al-Hakim).
F.
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU
Berkembangnya
Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di
Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat
berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah
wal Jama’ah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang
sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu
belum berkembang organisasi. Pelembagaan
ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi
setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai
satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah
wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya.[12]
KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri
NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy
li Jami’yyah Nahdlah al-‘Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua
bagian pokok, yaitu (1) risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang memuat tentang
kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan (2)
keharusan mengikuti mazhab empat,[13]
karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk
merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang
dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).[14]
Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah,
KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât,
mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai.
Menurut syara', ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan
dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh
agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam
kitab ‘Uddah al-Murîd, menurut syara', ‘bid'ah’ adalah munculnya
perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian
darinya, baik formal maupun hakekatnya.[15]
Yang menarik dalam Qânûn
Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada
Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan
dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek
yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke
makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi
al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim
Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik
salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum
muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.[16]
Dalam perkembangan
selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses
pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan
sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami
kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah
wal Jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam
yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para
sahabatnya. Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada
prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para
sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU
yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah KH. Bisri
Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil
Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah
Hasan.
Oleh para ulama NU,
Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam dua pengertian. Pertama,
Ahlussunah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang
biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian
Ahlussunah Wal Jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan
para sahabatnya. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah
adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari
dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam
bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf[17].
Pengertian pertama sejalan dengan
sabda Nabi Saw.: “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi
dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk” (HR. at-Tirmidzi
dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang
tergolong al-khulafâ’ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat
lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran
Islam. Nabi Saw. bersabda: “Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas
langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat
petunjuk”. (HR. al-Baihaqi). Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan
ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para tabi’in (pengikut sahabat), sesudah
itu dilanjutkan oleh tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian
seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama. Nabi Saw.
bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di
bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn ‘Ady)[18].
Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam
yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya.
Pengertian ini didukung oleh KH.
Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pengikut
dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil
permufakatan golongan terbesar umat Islam.[19]
Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam
melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh
jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya
dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw.,
yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.[20]
Namun demikian, dalam perkembangan
selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit
lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti
Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang
tashawuf.[21]
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan
mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini bukan berarti NU
menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian
bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan
lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah
sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan
mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jama’ah.[22]
Di luar dua
pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain.
Menurutnya, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas
dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah
wal Jama’ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah
bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr
(cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu
generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam
menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti
bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang
bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.[23]
Sejak berdirinya,
NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal
Jama’ah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jam’iyyah NU, KH. M.
Hasyim Asy’ari menegaskan, “Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada
Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut imam empat, kalian
sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari
sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama
Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka
kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu
agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui
pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka
pencurilah namanya!”
Bagi NU, landasan
Islam adalah al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan)
Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan
sunnah al-khulafâ’ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab,
‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah
wal Jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi dan ijma’ para
ulama’. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat
dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam
dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matn (isi) hadits
dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung
sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan
landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang dianut NU, pertama, adanya keseimbangan antara
dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy
(al-Qur’an dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah
dalil naqliy. Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran
akidah di luar Islam. Ketiga, tidak
mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang
yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf,
NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân
secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang
dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat
meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga
berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
G.
Prinsip Dasar Ahlussunnah wal Jama’ah NU
Ahlussunnah wal Jama’ah yang
dikembangkan oleh NU memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi rujukan bagi
tingkah laku sosial dan pemahaman keagamaan warga NU. Prinsip dasar Ahlussunnah
wal Jama’ah, yang bersumber kepada al-Qur'an, sunnah, ijma', dan qiyas ini
telah menjadi paradigma sosial-kemasyarakatan warga NU yang terus dikembangkan
sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat Islam dan pemikirannya.[24] Prinsip-prinsip dasar ini meliputi:
Pertama, prinsip tawassuth, yaitu jalan tengah, tidak
ekstrem kanan atau kiri. Dalam paham Ahlussunnah wal Jama’ah, baik di bidang
hukum (syarî’ah) bidang akidah, maupun bidang akhlak, selalu
dikedepankan prinsip tengah-tengah. Juga di bidang kemasyarakatan selalu
menempatkan diri pada prinsip hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil,
lurus di tengah-tengah kehidupan bersama, sehingga ia menjadi panutan dan
menghindari segala bentuk pendekatan ekstrem.
Sikap moderasi Ahlussunnah
wal Jama’ah tercermin pada metode pengambilan hukum (istinbâth) yang
tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal.
Begitu pula dalam berfikir selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio (al-ra’y).
Metode (manhaj) seperti inilah yang diimplementasikan oleh imam mazhab
empat serta generasi lapis berikutnya dalam menelorkan hukum-hukum.[25]
Moderasi adalah menegahi antara dua pikiran yang ekstrem; antara Qadariyah (free-willism)
dan Jabariyah (fatalism), ortodoks salaf dan rasionalisme Mu'tazilah,
dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi.[26]
Penerapan sikap
dasar tawassuth dalam usaha pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits sebagai
sumber ajaran Islam, dilakukan dalam rangka: (1) Memahami ajaran Islam melalui
teks mushhaf al-Qur’an dan kitab al-Hadits sebagai dokumen
tertulis; (2) Memahami ajaran Islam melalui interpretasi para ahli yang harus
sepantasnya diperhitungkan, mulai dari sahabat, tabi’in sampai para imam dan
ulama mu’tabar; (3) Mempersilahkan mereka yang memiliki persyaratan cukup untuk
mengambil kesimpulan pendapat sendiri langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits.[27]
Kedua, prinsip tawâzun, yakni menjaga keseimbangan dan
keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan
akherat, kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa datang. Pola ini dibangun
lebih banyak untuk persoalan-persoalan yang berdimensi sosial politik. Dalam
bahasa lain, melalui pola ini Ahlussunnah wal Jama’ah ingin menciptakan
integritas dan solidaritas sosial umat.[28]
Dalam politik. Ahlussunnah
wal Jama’ah tidak selalu membenarkan kelompok garis keras (ekstrim). Akan
tetapi, jika berhadapan dengan penguasa yang lalim, mereka tidak segan-segan
mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Jadi, suatu saat mereka bisa
akomodatif, suatu saat bisa lebih dari itu meskipun masih dalam batas tawâzun.[29]
Ketiga, prinsip tasâmuh, yaitu bersikap toleran
terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah,
sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan
sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (ukhuwwah islâmiyyah).
Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat Muslim mendapatkan pengakuan
yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai
pendapat menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki kemampuan untuk meredam
berbagai konflik internal umat. Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran
hukum Islam yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi
sosial.[30]
Dalam diskursus
sosial-budaya, Ahlussunnah wal Jama’ah banyak melakukan toleransi terhadap
tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri
dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme
dalam aspek-aspek kebudayaan dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah tidaklah
memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam
tradisi kaum Sunni terkesan hadirnya wajah kultur Syi'ah atau bahkan Hinduisme.[31]
Sikap toleran Ahlussunnah wal Jama’ah
yang demikian telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi
kemanusiaan secara lebih luas. Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum
muslimin di berbagai wilayah dunia. Pluralistiknya pikiran dan sikap hidup
masyarakat adalah keniscayaan dan ini akan mengantarkannya kepada visi
kehidupan dunia yang rahmat di bawah prinsip ketuhanan.[32]
keempat, prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan prinsip ini, akan timbul kepekaan
dan mendorong perbauatan yang baik dalam kehidupan bersama serta kepekaan
menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan kehidupan ke lembah
kemungkaran. Jika empat prinsip ini diperhatikan secara seksama, maka dapat
dilihat bahwa ciri dan inti ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembawa
rahmat bagi alam semesta (rahmah li al- ‘âlamîn).
H.
Aktualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah
Aktualisasi Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah menjadikan wacana paham Ahlussunnah wal Jama’ah aktual dalam
kehidupan sehari-hari. Wacana tersebut menjadi pedoman aktivitas nyata dalam
kehidupan praktis, sehingga tidak hanya menjadi pedoman secara normatif. Pengertian
aktual dalam konteks ini dapat terjadi dalam hal wawasan Ahlussunnah wal
Jama’ah, dan dapat terjadi dalam hal materi Ahlussunnah wal Jama’ah. Selama
ini, wawasan Ahlussunnah wal Jama’ah yang banyak dipahami belum menyentuh
pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah secara menyeluruh, dan kadang-kadang berujud
dalam pengertian yang sempit. Misalnya, Ahlussunnah wal Jama’ah hanya dipahami
dalam konteks akidah, dan itupun dengan kecenderuangan sempit, karena akidah
yang dimaksud hanya akidah mazhab atau firqah
tertentu, seperti akidah Asy’ari atau Asy’ariyah. Dalam konteks materi,
pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah juga cenderung sempit, karena paham keagamaan
yang berhubungan dengan aspek-aspek Ahlussunnah wal Jama’ah tidak dikaji secara
utuh. Akibatnya, sering terdengar tuduhan yang tidak proporsional bahwa Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah paham keagamaan yang sempit dan tidak sanggup
mengakomodasikan semua bentuk perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan iptek. Oleh
karena itu diperlukan aktualisasi dan kontekstualisasi melalui bentuk
reinterpretasi atau pemaknaan ulang paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Rumusan aktualisasi
yang mencakup wawasan dan materi Ahlussunnah wal Jama’ah akan dapat memberikan
petunjuk kepada inti paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang terdiri dari tiga aspek
Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni akidah, syariah atau fikih dan akhlak atau
tashawuf. Pluralitas dalam
paham tiga aspek itu juga dapat dipahami sebagai ikhtilâf-rahmah, karena sesungguhnya pijakan manhaj
berpikir dalam materi yang plural itu sama atau satu, yaitu taqdîm al-nashsh ‘ala al-‘aql, dengan
segala variasinya (three in one).
1.
Aktualisasi Wawasan Ahlussunnah wal Jama’ah
Wawasan tentang Ahlussunnah
wal Jama’ah secara historis-istilahi adalah
pengetahuan keagamaan Islam yang mencakup aspek akidah, syari’ah atau fikih dan
akhlak atau tashawuf. Dalam bidang akidah, wacana mu’tabar-nya adalah
rumusan akidah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Rumusan
kedua imam ini dikembangkan oleh para pengikutnya yang kemudian populer dengan sebutan
Asy’ariyah bagi pengikut al-Asy’ari dan Maturidiyah bagi pengikut al-Maturidi.
Tidak sedikit di antara mereka yang menjadi imam besar dalam kelompoknya. Dalam
kelompok Asy’ariyah misalnya, dapat dikenal tokoh seperti al-Baqilani dan
al-Juwayni, dan dalam kelompok Maturidiyah dapat dikenal tokoh seperti al-Badzawi,
yang terkenal dengan istilah Maturidi Bukhara, untuk membedakan dengan imamnya
Abu Mansur al-Maturidi yang populer dengan Maturidi Samarkand.
Paham dua imam dan
pengikut masing-masing inilah yang kemudian jadi panutan dalam paham Ahlussunnah
wal Jama’ah di bidang akidah. Antara kedua imam sekaligus para pengikut
masing-masing tidak ada perbedaan yang prinsipil dalam Islam. Rumusan
masing-masing, secara garis besar memiliki paradigma yang sama, yakni taqdîm al-nashsh ‘ala al-‘aql. Dari segi materi, hasil produk
ijtihad mereka secara garis besar sama, karena sama-sama tidak menafikan sifat
Tuhan, sama-sama mengakui al-Qur’an qadîm dan sama-sama mengakui
kemutlakan Tuhan. Artinya, mereka juga sama-sama tidak men-jisim-kan Tuhan,
sama-sama mengakui kemutlakan Tuhan dan sama-sama mengakui al-Qur’an bukan
makhluk.
Wawasan seperti ini
tidak banyak dipahami, terutama oleh kalangan masyarakat awam, sehingga paham
akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang diketahui biasanya hanya paham akidah Ahlussunnah
wal Jama’ah Asy’ariyah, dan bukan al-Asy’ari, imam mazhab akidah mazhab al-Asy’ari.
Akibatnya, banyak ulama pengikut mazhab al-Asy’ari lebih beruntung daripada
al-Asy’ari sendiri. Dalam konteks tertentu, hal itu dapat menunjukkan kerancuan
paham akidah yang dipelajari. Sifat wajib 20 bagi Tuhan yang sangat populer di
kalangan awam, bukanlah paham akidah al-Asy’ari murni, tetapi produk paham
akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dicampur aduk antara paham akidah
al-Asy’ari dan paham akidah al-Maturidi tentang sifat Tuhan. Al-Asy’ari hanya
mengakui sifat wajib bagi Tuhan ada tiga belas, selebihnya adalah paham akidah
yang dikembangkan oleh al-Maturidi. Kerancuan sistemik seperti ini dapat
menimbulkan wawasan yang obscure, dan akibatnya selalu terjadi
kesenjangan antara keyakinan yang dipahami oleh imam atau mazhab dan
penganutnya.
Di pihak lain,
paham akidah Abu Mansur al-Maturidi cenderung disembunyikan, karena sekian
puluh tahun pengikut Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tidak pernah
mentransformasikan paham akidah ini. Ada satu hal yang sangat mencolok yang
membedakan antara al-Asy’ari dan al-Maturidi, yaitu dalam hal paham tentang
kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat manusia. Paham al-Maturidi, dalam
hal ini memang lebih dekat kepada paham akidah Mu’tazilah yang
liberal-rasional. Tetapi bukan karena perbedaan satu hal ini membuat paham
al-Maturidi keluar dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan, paham
al-Maturidi, tentang kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat ini
komplementer bagi paham Ahlussunnah wal Jama’ah al-Asy’ari tentang manusia yang
fatalis.
Semua itu baru
contoh wawasan paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang akidah. Di bidang fikih,
wawasan serupa juga terjadi, hingga di luar konteks tuntunan praktis keagamaan.
Fikih mazhab Syafi’i sendiri tidak banyak mendapat respon, dan apalagi fikih mazhab
selain mazhab Syafi’i. Budaya ikhtilâf-rahmah
kurang berkembang dengan baik karena berkembangnya kebisaaan ‘tidak
dialogis’ dalam konteks empat
mazhab besar di bidang fikih. Wawasan seperti ini di zaman seperti sekarang
ini, dirasakan tidak positif dan kurang relevan. Di lingkungan ulama NU
sendiri, setidaknya dapat dilihat keputusan Bahtsul
Masa’il ad-Diniyah salah satu wilayah NU, tentang teori tahqîq telah diterima sebagai
salah satu metode pengambilan keputusan hukum Islam. Ini merupakan terobosan
pemikiran yang sangat progresif
dan responsif untuk menjawab
tantangan zaman. Karena itu, meskipun hanya dalam konteks normatif, wawasan
seperti ini harus dikembangkan untuk membangun wawasan dan budaya ikhtilâf-rahmah
sesuai dengan pesan suci Islam.
Di bidang akhlak
atau tashawuf, kerancuan sistemik dalam wawasan memang tidak begitu transparan,
karena paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang ini hampir tidak menunjukkan
adanya paham tashawuf ekstrim seperti paham wahdah
al-wujûd (unity of belonging), sehingga, dari segi wacana
intelektual tidak begitu nampak wacana tashawuf selain tashawuf Sunni. Tapi,
untuk membuka wawasan yang luas tentang mistik dalam Islam ini juga perlu
dibudayakan pemahaman tentang tashawuf dari paham tashawuf non-Sunni, meskipun
sebatas dalam konteks normatif, sehingga umat Islam tidak sering terjebak dalam
simbol yang seringkali diakui menjadi pemahaman inti tashawuf.
Yang Tidak kalah
pentingnya adalah pengembangan wawasan tentang substansi Ahlussunnah wal
Jama’ah secara normatif dengan mengacu kepada penggalan redaksi hadits Rasul Saw.,
‘… mâ anâ’ alayhi wa ashhâbî...’. Artinya, di samping secara praktis
berpedoman pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah historis-istilah, juga perlu dipahami
substansi paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan demikian bisa dipahami bahwa
paham Ahlussunnah wal Jama’ah diinstitusikan dalam bentuk mazhab itu
sesunggunya sebuah gerakan manhaj al-fikr
yang berorientasi purifikasi
untuk mengembalikan paham keagamaan Islam yang dinilai menyimpang atau bid’ah kepada
paham yang sesuai dengan sunnah. Wawasan seperti ini bermanfaat untuk
menghindari fanatisme mazhab seperti dianjurkan oleh Almarhum Hadlaratus Syeikh
KH. M. Hasyim Asy’ari dalam ‘Qânûn Asâsiy
li Jam’iyyah Nahdlah al-‘Ulâmâ’.
Karenanya, apa yang
dikembangkan dalam bermazhab Ahlussunnah wal Jama’ah tidak hanya dalam produk pahamnya,
tetapi juga semangat dan jiwa yang tercermin dalam manhaj berpikirnya. Dengan kata lain, semangat dan jiwa paham Ahlussunnah
wal Jama’ah yang diharapkan tetap memiliki relevansi atau shâlih li kulli zamân wa makân, bisa mengalami perubahan,
sehingga sampai kapan pun tetap up to
date dan aktual.
2.
Aktualisasi Materi Ahlussunnah wal Jama’ah
Aktualisasi materi Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah menjadikan materi Ahlussunnah wal Jama’ah secara normatif dapat
menjadi referensi aktual bagi kehidupan sehari-hari, sehingga ia juga bisa
menyesuaikan diri dengan semua bentuk perubahan dan perkembangan yang
diakibatkan oleh modernitas peradaban di segala bidang. Apa yang dimaksud dengan
materi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah hasil rumusan (produk pemikiran) yang
telah dibakukan sebagai paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang meliputi tiga aspek;
akidah, syari’ah dan akhlak. Materi dari tiga aspek itu banyak yang perlu
diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari. Indikator paling nyata dari urgensi
aktualisasi ini dapat dilihat dari urgensinya pemahaman kitab kuning secara
kontekstual. Kontekstualisasi seperti ini telah menjadi keputusan ulama pondok
pesantren secara nasional mengawali pembukaan kegiatan Muktamar Wathani Rabithatul Ma’ahidil Islamiyah (RMI) di Watucongol
Muntilan Jawa Tengah tahun 1989. Dari penjabaran tentang kontekstualisasi ini,
dapat dipahami bahwa dari banyak rumusan yang berupa aqwâl (pendapat/produk
paham) paham Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya di bidang syari’ah atau fikih,
ada beberapa aqwâl yang tidak relevan dikembangkan atau karena tidak
mungkin dikontekstualisasikan dengan problem kekinian, sehingga tidak perlu
dipelajari, tetapi sekedar penghargaan atau tabarrukan.
Secara terinci
materi-materi itu, meskipun dalam uraian global, akan diuraikan satu persatu
dari tiga aspek paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang ada.
a)
Materi Akidah
Materi akidah dalam
paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berkembang dan dipelajari selama ini,
terutama di pondok pesantren untuk tingkat dasar, tidak dapat dikatakan
mewakili sepenuhnya akidah paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Materi yang
dipelajari, selain tidak luas, juga menunjukkan hal yang terlalu dasar dengan pemahaman
yang sempit. Akibatnya, studi akidah, umumnya dalam bentuk tauhid, cenderung
tidak menarik minat para pelajar untuk memahaminya secara mendalam. Kekurangan
yang sangat dirasakan adalah berkaitan dengan metode mentransformasikan
materi-materi akidah itu yang ternyata tidak didukung oleh teks-teks kitab mu’tabar yang memadai. Hal itu tentu
sangat tidak menguntungkan bagi studi akidah sebagai ilmu ushul yang
mebicarakan dasar-dasar agama. Sebuah pohon akan mudah tumbang apabila tidak
memiliki akar yang kuat. Keyakinan Islam seseorang juga akan rapuh dan mudah
terpedaya kalau tidak dilandasi oleh akar keyakinan akidah yang kuat.
Akibatnya, tidak sedikit masyarakat muslim yang menjadi korban ‘isme-isme’ baru yang bertentangan
dengan akidah Islam. ‘Isme-isme’ itu dapat berupa paham materialisme, kapitalisme, sekularisme,
hedonisme, dan lain-lain yang dapat menggeser nilai-nilai akidah, karena
kurang berakar dengan kuat dan tidak memiliki dukungan pengetahuan secara baik.
Alternatif solusinya antara lain:
- Mengembangkan pemahaman sistem akidah dari berbagai
mazhab dalam Islam secara baik dengan metode perbandingan, yakni dengan
studi Kalam Muqaran.
- Mengembangkan pemahaman materi-materi akidah Ahlussunnah
wal Jama’ah secara menyeluruh, yakni tidak hanya akidah Asy’ari atau Asy’ariyah
saja, tetapi juga Maturidiyah, dengan keberanian memadukan antara kedua
paham akidah ini dan mengambil materi yang lebih rasional representatif
dari kedua paham akidah itu.
- Kesanggupan membumikan term-term akidah menjadi partisipatif dengan kehidupan
nyata. Misalnya, pemahaman tentang ‘rahmân’ Tuhan, tidak
hanya sekedar dihafal sebagai salah satu sifat Tuhan, tetapi bagaimana
sifat Tuhan yang luhur itu dapat menyinari dan mengejawantah dalam
kehidupan orang yang meyakini adanya ‘rahmân’ Tuhan itu.
Karena dalam diri manusia, di samping ada unsur nasût (kemanusiaan)
juga ada unsur lahût (ketuhanan).
- Ada keberanian merumuskan kembali secara materiil
paham akidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara komprehensif dan kontekstual,
dan untuk itu, ilmu ushul kalam perlu dikembangkan.
b)
Materi Syari’ah atau Fikih
Secara normatif,
materi syari’ah atau fikih yang ada sangat memadai. Meskipun demikian, dalam
beberapa hal materi tersebut perlu dikontekstualisasikan dengan kehidupan
nyata sehari-hari, terutama dalam hal yang berkaitan dengan aspek mu’âmalah
(sosial-kemamusiaan). Aspek ibadah atau yang lebih tepat aspek ibadah murni,
seperti thahârah (besuci), shalat, zakat, haji, dan lain-lain, secara
materi tidak perlu ada aktualisasi. Tetapi aspek lain selain ibadah murni, atau
aspek mu’âmalah perlu diaktualisasikan. Aspek yang dimaksud adalah masalah
yang berkaitan dengan masalah sosial-politik, ekonomi, budaya, pertahananan dan
keamanan (hankam), sumber daya manusia (SDM), hak asasi manusia (HAM), dan
pendidikan. Tetapi selain hal-hal itu juga masih ada persoalan berkaitan dengan
aktualisasi materi yang perlu dikemukakan di sini.
Pertama, referensi empat
mazhab fikih, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, yang diakui sebagai
referensi paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang syari’ah atau fikih, perlu
mendapat perhatian seimbang, meskipun dalam kehidupan praktis hanya satu mazhab
yang dijadikan pedoman pengamalan. Fikih muqâran ini sama halnya dengan kalam
muqâran, dapat membentuk wawasan budaya ikhtilâf-rahmah secara positif, sehingga memiliki cara
pandang yang responsif terhadap perkembangan modernitas dan pluralitas
peradaban dan pergaulan.
Kedua, sumber utama
mazhab juga perlu mendapat perhatian seimbang dengan sumber sekunder yang
terdiri dari para pengikut mazhab, karena secara materil, sumber sekunder
tentunya tidak dapat dipisahkan dari sumber utama.
Ketiga, ilmu ushul fikih juga
perlu mendapat perhatian untuk diaktualisasikan dalam rangka mengembangkan
mazhab manhajiy ketika hal itu diperlukan, terutama ketika terjadi
kasus-kasus modern yang secara materiil memang belum terjawab oleh fikih Islam
klasik.
Keempat, mengembangkan
secara nyata materi-materi fikih sosial dan fikih siyâsah dengan rumusan
yang dapat dikontekstualisasikan dengan ke-Indonesiaan (fikih Islam kontemporer
ke-Indonesiaan).
c)
Materi Akhlak atau Tashawuf
Wacana yang
menonjol dalam paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang ini terangkum dalam karya-karya
Imam al-Ghazali, seperti Bidâyah al-Hidâyah,
Minhaj al-‘Âbidîn dan Ihyâ ‘Ulûm
al-dîn, serta karya ulama-ulama lain yang sepaham, dan pada umumnya hampir
dapat dikatakan sebagai ‘catatan kaki’ atas karya-karya al-Ghazali yang menjadi
induknya. Sementara itu, wacana pemikiran Yazid al-Busthami dan al-Baghdadi
yang diakui sebagai paham Ahlussunnah wal Jama’ah di bidang akhlak atau
tashawuf hampir tidak pernah terdengar, kecuali hanya selintas dalam bentuk
anekdot atau ilustrasi di sela-sela lembaran kitab tashawuf karya ulama sufi Sunni
yang umumnya sepaham dengan al-Ghazali.
Orientasi studi
tashawuf pada umumnya di beberapa pondok pesantren, tidak untuk mendalami,
apalagi mengembangkan, tetapi lebih terfokus kepada sekedar untuk menjadikannya
sebagai pedoman pengalaman, sehingga, seperti tersebut di muka, banyak kalangan
awam Sunni, terjebak pada ‘simbol’ paham tashawuf Sunni dari pada materi
substansinya.
Secara materiil,
yang membedakan paham tashawuf Sunni dan yang lain hanyalah dalam tingkatan (maqâmât)
atau stasiun menuju al-Haqq. Materi paham tashawuf Sunni
tidak menunjukkan paham yang ekstrim, sehingga produk materi yang dikembangkan
tidak melampaui secara ekstrim petunjuk nashsh agama.
Materi-materi itu
perlu diaktualisasikan secara kontekstual, sehingga dapat menjadi perisai
paham-paham sekuler yang merugikan bagi pengembangan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas, terutama dari segi akhlak. Karena itu, juga perlu ada rumusan
secara jelas tentang tashawuf Sunni yang kontekstual, yang dapat mengembangkan
pola dzikir dan pola pikir secara seimbang. Selain hal itu mengungkapkan misi
komunikasi spiritual antara manusia dengan Tuhan melalui stasiun-stasiun itu,
secara sederhana juga mengungkapkan pedoman dan petunjuk praktis tashawuf
Sunni.
3.
Perspektif Sosial Politik
Imâmah sebagai implikasi bentuk negara Islam legal-formalistik, tidaklah masuk
dalam pilar-pilar akidah (baca: arkân
al-imân). Wacana ini lebih banyak disorot dalam kaca mata fikih (syari’at),
sehingga di kalangan Sunni lahir nuansa fikih kontemporer, fikih siyâsi,
Suatu kajian jurisprudensi Islam tentang
kenegaraan atau kepemerintahan yang mengatur pranata sosial kemasyarakatan.
Visi fiqhiyyah dalam masalah sosial-politik Ahlussunnah wal Jama’ah ini,
sudah barang tentu akan memunculkan banyak polemik (ikhtilâf) di kalangan fuqahâ’, sekaligus membuka
variasi-variasi dalam berpolitik.
Meskipun demikian,
menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, umat Islam wajib hukumnya untuk mendirikan
suatu ‘negara’. Tipologi masa Rasulullah Saw., berikut Khulafaurrasyidin
merupakan acuan utama dalam berpolitik dan bernegara. Selain itu, bentuk-bentuk
monarchi-absolut (dinasti) yang
berkuasa sesudahnya, mulai era Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, hingga Turki
Usmani, juga sosok pemerintahan yang dilegitimasi para ulama Sunni. Begitu pula
kehadiran negara-negara dunia ketiga, di kalangan kaum muslimin, meski telah
direnovasi dalam bentuk republik atau demokrasi.
Realitas ini,
paling tidak, mendorong polemik yang berkepanjangan, yakni haruskah umat Islam
membangun suatu pemerintahan dalam bentuk ‘khilâfah’,
atau ‘negara Islam’. Persoalan semacam ini telah direspon dengan antusias, sehingga
ada sebagian yang mengiyakan, namun ada pula yang menolaknya. Adalah menjadi
tanggung jawab ulama Sunni untuk mencari solusi problema tersebut.
Alternatif untuk
membawa bendera Islam dalam diskursus kenegaraan secara formal memang suatu
interpretasi luhur dalam mengaplikasikan ajaran formal Islam. Namun, gagasan
seperti ini –untuk saat ini—jelas tidak realistis, tidak relevan dengan kondisi
kaum Sunni saat ini. Bisa dilihat, mana dari sekian banyak negara umat Islam
yang mampu menampakkan bendera Islam sebagai suatu institusi negara. Jelas,
tidak satu pun yang representatif untuk alternatif ini. Konsekuensinya, suatu
ide yang tidak realistis, hanyalah ide/ijtihad ‘ngambang’ atau imajiner
saja.
Lebih dari itu,
alternatif penafian terhadap konsepsi kenegaraan atau politik dalam Islam berarti suatu upaya
untuk pembentukan sistem sekuler yang memisahkan urusan kenegaraan di luar
batas-batas agama. Jika dilihat melalui târîkh (sejarah) umat Islam,
seperti mendapat justifikasi. Misalnya, selain tidak adanya validitas dalil
yang signifikan terhadap penempatan Islam sebagai simbol formal negara, pada
era Dinasti Umayyah –kecuali pada masa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz—upaya pemisahan
ulama-umara nampak jelas. Sampai waktu itu, tidak sedikit di antara para
penguasa yang memiliki tabiat seperti ‘raja’. Tidak salah juga jika dikatakan
bahwa pemerintahan saat itu lebih mewakili bentuk pemerintahan yang monarchi-absolut, apalagi, performa ‘dinasti’ seperti ini tetap menjadi mode (trend) para penguasa muslim hingga awal
abad XX, yang saat ini masih diwarisi di sebagian kawasan, seperti Saudi
Arabia, Kuwait, Yordania, Brunei Darussalam, dan sebagainya.
Dari dua kutub
tersebut, sesuai dengan paradigma Ahlussunnah wal Jama’ah yang bersifat tawassuth,
tawâzun, ta’âdul dan tasâmuh, tentu dipilih jalan
tengah yang moderat. Harus diakui, bahwa pada masa Rasulullah Saw. dan sahabat,
sistem khilâfah pernah nampak di permukaan. Namun, sistem tersebut bukanlah
satu-satunya dalam Islam. Sepanjang nilai-nilai Islam ditegakkan, baik itu
dalam negara monarchi, republik/demokrasi, atau pun lainnya, itulah negara
Islami. Dengan kata lain, Islam sebagai institusi negara, sebenarnya tidak ada
dalam Sunni. Manhaj seperti inilah
yang dikembangkan oleh para ulama Sunni, termasuk Walisongo, dan para ulama
pendiri Republik Indonesia.
Pertanyaannya kemudian,
nilai-nilai Islam yang mana yang bisa dijadikan dasar bagi penegakan suatu
negara. Konsep Islam al-‘adâlah, al-hurriyyah,
al-musâwah serta al-syûrâ bisa dijadikan prinsip-prinsip
dasar dalam penegakan suatu negara. Negara yang menerapkan prinsip-prinsip
tersebut bisa dianggap sebagai negara yang Islami. Sebaliknya, meski memakai
term ‘negara Islam’, tetapi jika nilai-nilai Islam tersebut diinjak-injak, maka
negara tersebut tidak Islami.
Al-‘adâlah merupakan prinsip
penegakan keadilan, dengan memberikan justifikasi atas kebenaran dan
menyalahkan terhadap pihak yang bersalah. Dalam al-Qur’an, Allah Swt. berfirman
dalam term ‘adl sebanyak 28 kali. Hal
ini sekaligus menjadi indikasi yang cukup kuat akan urgensi penegakan keadilan.
Fenomena ini dikuatkan pula dengan perhatian Nabi Saw. terhadap seorang imam
(pemimpin) yang adil. Bahkan, istilah ‘al-adl’
itu sendiri termasuk rentetan 99 al-Asmâ’ al-Husnâ Allah.
Sedangkan prinsip al-hurriyyah
(kemerdekaan, kebebasan) dimaksudkan sebagai suatu jaminan atas kebebasan umat
(rakyat) dalam mengekspresikan kreativitas dan hak-hak mereka, sepanjang masih
sesuai dengan perundang-undangan atau syari’at yang telah ditetapkan. Elaborasi
prinsip ini terefleksi dalam al-ushûl al-khamsah.
Prinsip ketiga, al-musâwah (kesetaraan), adalah upaya penghapusan diskriminasi dengan
menempatkan manusia pada posisi atau derajat yang sama. Prinsip ini menuntut
perlakuan yang sama bagi semua rakyat (manusia) di depan undang-undang.
Atribut-atribut yang menempel, seperti jabatan, kekayaan, kekerabatan, rasial,
kesukuan, agama secara formal, dan sebagainya, haruslah disingkirkan jauh-jauh.
Apa yang harus dijadikan acuan dalam melangkah adalah komitmen terhadap al-haqq (the truth), sekalipun harus berhadapan dengan
kelompok mayoritas.
Adapun al-syûrâ (musyawarah), diproyeksikan
sebagai manifestasi kedaulatan rakyat melalui permusyawaratan bersama, berdasar
suara hati nurani mereka. Konsekuensi dari al-syûrâ
adalah adanya pertanggungjawaban
atas semua tindakan para penguasa, dengan menjunjung tinggi hasil
permusyawaratan.
4.
Perspektif Hak Asasi Manusia
Misi Islam adalah rahmah li al ‘âlamîn, pengayom
atau pembawa rahmat bagi alam semesta. Tidak ada satu makhlukpun di muka bumi
ini yang tidak dijamin eksistensinya oleh Allah Swt., karena mereka semua,
termasuk binatang atau tumbuhan, senantiasa mendapatkan belaian kasih
sayang-Nya. Menurut salah satu hadits Nabi Muhammad Saw., seseorang bisa masuk
neraka hanya karena menyiksa seekor kucing, sebaliknya, ia bisa masuk sorga
hanya karena karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Elaborasi misi di
atas, menurut para juris Islam, berlandas pada al-ushûl al-khamsah (lima
prinsip pokok), senantiasa menjadi pijakan dalam menggali hukum. Kelima prinsip
tersebut, hifzh al-dîn, hifzh
al-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh al-mâl, hifzh al-‘irdl wa
al-nasl. Hifzh al-dîn berarti memberikan jaminan penuh atas
identitas suatu kelompok (agama) yag bersifat lintas etnik. Hifzh al-‘aql, adalah suatu
jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan
opini, kebebasan untuk riset serta berbagai macam aktivitas ilmiah. Hifzh al-nafs, memberikan
perlindungan setiap jiwa (nyawa) manusia untuk tetap tumbuh dan berkembang
secara layak, terbebas dari penganiayaan dan tindakan lalim. Hifzh al-mâl, dimaksudkan sebagai suatu
jaminan atas pemilikan harta benda, property.
Adapun hifzh al-‘irdl wa al-nasl,
merupakan pemenuhan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas
profesi (pekerjaan), jaminan terhadap masa depan anak cucu, serta generasi
penerus yang lebih baik dan berkualitas. [ ]
[1] Said Aqil Siradj mengatakan bahwa qaidah ushûl al-fiqh ini
perlu diperluas lagi dengan redaksi wa al-ibda’ bi al-jadîd al-ashlah.
Menurut Said Aqil, kata ‘al-akhdz’ lebih bersifat ‘defensif’ atau
‘pasif’, sedangkan kata ‘al-ibda’ bersifat ‘aktif’, atau ‘kreatif’.
(Said Aqil Siradj, Wawancara, 1 Januari 2003). Meskipun demikian, kata ‘al-akhdz’
sendiri sudah memperlihatkan dorongan untuk bersikap kreatif dan melakukan
inovasi yang lebih baik (lihat makalahnya Aktualisasi ahlisunnah Waljamaah,
1997).
[2] Wawancara dengan KH. M. Tolhah Hasan tanggal 24 Desember 2003
[3] Sunnah itu menyangkut perkataan, perbuatan atau sikap Nabi.
[4]Penjelasan lengkap
tentang masing-masing kelompok ini dapat dilihat dalam Al-Farq Bayn
al-Firâq, hlm. 240 –242.
[5]Akidah dan
keyakinan bukanlah obyek permasalahan pertama yang didalamnya terjadi perbedan
pandangan di kalangan umat Islam yang pada akhirnya melahirkan beragama aliran
teologi dan ilmu kalam. Sebelumnya sudah sering terjadi perbedaan pandangan di
kalangan umat Islam, mulai dari permasalahan imamah, zakat, riddah, dan lain
sebagainya. Bahkan, kematian Nabi dan di mana harus dimakamkan pun menjadi
bahan perdebatan di kalangan sahabat. Lihat ‘Abd al-Qahir ibn Thahir ibn
Muhammad al-Baghdadi, al-Farq Bayn al-Firâq, h. 12 – 20, (Libanon: Dar
al-Fikr)
[6] Dalam Tarîkh
al-Tabariy dijelaskan bahwa mereka yang harus menjalani ujian adalah para
hakim (al-Qudldlât), para pemuka agama dan tokoh masyarakat, ahli fikih
(fuqahâ’), dan ahli hadis, termasuk di dalamnya ibn Hanbal.
[7] Perdebatan antara
Imam Ahmad ibn Hanbal dan Ishaq Ibn Ibrahim (Gubernur Irak) tentang al-Quran
dan sifat Tuhan dapat dilihat dalam Tarîkh al-Tabariy Diceritakan bahwa
setidaknya ada 30 orang yang diuji bersama dengan Ibn Hanbal dan dari semua
itu, hanya ibn Hanbal dan Muhammad ibn Nuh saja yang berkeras dan tidak mau
merubah keyakinannya.
[8] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, h. 65, cet. I, Ed. II, (Jakarta: Penerrbit
Universitas Indonesia, 2002). Keluarnya
al-Asy’ari dari Mu’tazilah, telah memunculkan penafsiran yang sangat beragam.
Hal ini disebabkan dia tidak pernah menjelaskan alasan yang pasti tentang
keputusannya untuk keluar dan membentuk aliran baru tersebut. Dalam pernyataan
terakhir yang disampaikan pasca merenung selama 15 hari untuk memproklamirkan
keyakinan barunya, dia hanya menegaskan bahwa atas petunjuk Allah yang
diperolehnya selama mengasingkan diri di dalam rumahnya, dia memutuskan
meninggalkan dan bahkan melemparkan keyakinan lama, sebagaimana melemparkan baju, untuk kemudian
menganut keyakinan baru yang dia tulis dalam buku-bukunya.
[9] Lihat, Abu al-Hasan Isma’il
al-Asy’ari, Maqâlât al-Islâmiyyîn wa
Ikhtilâf al-Mushallîn, dialihbahasakan menjadi, Prinsip-prinsip Dasar
Aliran Theologi Islam (Buku I), oleh Drs. H.A. Nasir Yusuf dan Drs. Karsidi
Diningrat, hlm. 46 – 47, (Bandung: Pustaka Setia, 1998)
[10]Pemikiran KH. M. Tholhah Hasan dalam Seminar Publikasi PBNU tanggal
30 Desember 2003.
[12] Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3-4
[13]Lihat “al-Qânûn al-Asâsiy” KH. Hasyim Asy’ari, Ahlussunnah wal
Jama’ah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999).
[14] Ibid., hlm. 16
[15] Ibid., hlm. 2
[16] Ibid., hlm. 8
[17] Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3
[18] KH. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta:
LKPSM, 1999, hlm. 39-41. Lihat pula KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih
Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995), hlm. 20.
[19] HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljama’ah, diterbitkan
Majlis Ta’if Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979, hlm 3.
[20] KH. Saefudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlussunnah wal
Jama’ah dalam Praktek, IPNU Jakarta, 1976, hlm. 7. Lihat pula KH. M. Tolhah
Hasan, Ahlussunnah Waljama’ah, Pengertian dan Aktualisasinya, dalam Imam
Baihaqi (ed), Kontroversi Ahlussunnah wal Jama’ah: Aula Perdebatan dan
Reinterpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 1999),
hlm. 86-87.
[21]A. Wahid Zaini, op.cit.,
hlm. 51
[22] KH. A. Muchith Muzadi, op. cit., hlm. 29
[23] KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas
Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), hlm 4.
[24]Rumusan
prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama’ah secara sosial dan keagaman dapat ditemukan pada Khittah NU.
" (a) Khittah NU: Landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU, (b)
Landasan ini ialah faham Ahlussunnah waljama’ah yang diterapkan menurut kondisi
kemasyarakatan di Indonesia, (c) Khittah NU juga digali dari intisari sejarah
NU". Lihat pula KH. A. Wahid Zaini,
op.cit., hlm. 41-44.
[25] KH. Said Agil Siradj, op. cit., hlm. 20.
[26] KH. Husein Muhammad, “Memahami Sejarah Ahlussunnah Waljama’ah yang
Toleran dan anti Ekstrem”, dalam
Imam Baihaqi (ed), op. cit., hlm. 37.
[27] KH. A. Muchith Muzadi, op. cit., hlm.21.
[28] KH. Husein Muhammad, dalam Imam Baihaqi (ed), op. cit., hlm.
41.
[29] KH. Said Agil Siradj, op. cit., hlm. 21.
[30] KH. Husein Muhammad, dalam Imam Baihaqi (ed), op. cit., hlm.
39.
[31] Ibid., hlm. 39
[32] Ibid., hlm. 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar