BAB III
NAHDHATUL ULAMA DAN
POLITIK
Secara
resmi, keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam kancah politik praktis (sebagai
partai politik) dilakukan sejak tahun 1953 sampai 1973. Namun demikian, bukan
berarti peran politik NU hanya terbatas dalam dekade tersebut. Sebelum dan sesudah
masa itu, tidak sedikit kegiatan NU yang dampak politiknya justru lebih
monumental. Bahkan, ketika NU menjadi bagian penting dari Masyumi (pra NU
parpol) dan saat NU masih secara resmi menyalurkan aspirasi politiknya melalui
Partai Persatuan Pembangunan (pasca NU parpol), juga merupakan periode–periode
penting untuk diungkap. Pada masa pra dan pasca NU sebagai parpol,
eksistensi organisasi yang dimotori kaum pesantren, dengan dukungan masa dari
masyarakat Islam tradisional sempat dilanda krisis identitas. Berbagai dampak
negatif maupun positif akibat lamanya NU terjun dalam politik praktis merupakan
alasan utama mengapa masa-masa tersebut penting untuk ditilik.
Tulisan ini
secara khusus mencoba memaparkan potret pengalaman dan peran politik NU dalam
panggung sejarah Indonesia. Pengertian politik dalam tulisan ini mencakup
spektrum yang luas. Mulai dari politik sebagai strategi memperjuangkan
idealisme, politik menyikapi keadaan luar yang pengaruhnya tidak terhindarkan,
politik untuk survive, politik mengembangkan masyarakat dan mempengaruhi
kebijakan, sampai politik dalam arti mengontrol maupun meraih dan
mempertahankan kekuasaan dalam kehidupan bernegara. Karena luasnya spektrum
yang dicakup, tulisan ini bisa dianggap sebagai rekaman sejarah perjalanan NU
dengan perspektif politik.
Untuk memudahkan pembacaan, tulisan
ini dipilah dalam tiga bagian. Bagian pertama menilik peran politik NU sebelum
menjadi partai politik. Bagian ini mencakup rentang waktu mulai masa-masa
menjelang kelahiran NU sekitar dasawarsa duapuluhan sampai masa-masa awal
kemerdekaan Indonesia tahun 1946. Bagian kedua mengungkap masa-masa NU terjun
dalam kancah politik praktis, yang mencakup masa ketika mulai muncul
bibit-bibit perselisihan antara NU dengan kaum modernis dalam tubuh partai
Masyumi sekitar tahun 1947, sampai masa akhir kepemimpinan Soekarno, akhir
tahun 1960-an. Bagian Ketiga menyoroti masa-masa NU kembali sebagai jam’iyyah,
yang mencakup periode transisi NU dari partai polilik kembali menjadi
organisasi sosial keagamaan di awal-awal konsolidasi Orde Baru, tahun 1970-an,
sampai saat NU mendirikan partai yang terpisah dari NU, di tahun 1998.
A.
Masa Pra Partai Politik
1.
Akar-akar Gerakan Politik NU
Melalui pembacaan terhadap sejarah para tokoh pendiri NU
ketika bergerak dalam berbagai wadah yang menjadi cikal bakal NU, dapat
ditelusuri akar-akar gerakan politik NU hingga ke pangkal abad XX. Aktivitas
para tokoh yang di kemudian hari menjadi pendiri NU dalam merespon masalah
kebangsaan di masa-masa awal pembentukan nasionalisme Indonesia merupakan
gambaran hal itu. Di tahun 1913, sekelompok pemuda pelajar di Makkah yang tidak
pernah melepaskan perhatian pada perkembangan di tanah air mendirikan Syarikat
Islam (SI) Cabang Makkah. Inisiatif pendirin itu didorong oleh ketertarikan
pada gerakan rakyat, dan melihat gelora perjuangan organisasi tertua di tanah
air ini. Ketuanya adalah Raden Asnawi dari Kudus, dan sekretarisnya A. Wahab Hasbullah
dari Jombang. Di antara mereka yang turut bergabung dalam SI Cabang Makkah,
terdapat nama Abbas asal Jember, dan Dahlan dari Kartosono. Mereka yang
bergabung dalam kelompok tersebut semua berasal dari kalangan kaum pesantren di
tanah air yang di kemudian hari menjadi penggerak berdirinya NU. Yang tidak mau
langsung diajak adalah Bisri Syansuri karena menunggu perkenan dari sang guru,
KH. M. Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang. Sayang, belum sampai perkenan yang
diharapkan diperoleh perkumpulan SI di tingkat cabang itu lebih dahulu bubar
karena Perang Dunia I pecah tahun 1914, dan para mukimin banyak yang terpaksa
pulang.[1]
Sepulang
dari Makkah, KH. A. Wahab Hasbullah tidak tinggal diam. Jiwa organisasi yang
melekat dalam dirinya mendorong Kyai muda itu mengambil inisiatif, mendirikan
sebuah badan sebagai wadah perjuangan. Guru beliau, KH. M. Hasyim Asy’ari,
berhasil diyakinkan akan kegunaan badan tersebut. Sehingga, di tahun 1918
berdirilah usaha koperasi (syarîkah al-‘inân) yang dinamai Nahdhatut
Tujjar (kebangkitan para usahawan). Meskipun sulit melacak berita
kegiatannya, namun melalui dokumentasi anggaran dasarnya dapat diketahui bahwa
badan ekonomi ini telah menghimpun modal patungan yang cukup besar.[2]
Pada tahun
1920, KH. A. Wahab Hasbullah memutuskan tinggal di Surabaya. Di sini KH. A.
Wahab Hasbullah bertemu dengan kawan lamanya dari SI Cabang Makkah, yaitu KH.
Dahlan dari Kertosono dan KH. Raden Asnawi, yang kebetulan, oleh pemerintah
kolonial dibuang ke Surabaya karena diketahui memimpin pemogokan buruh pada
salah satu pabrik rokok di Kudus. Mereka bertiga mendirikan kelompok kajian
yang anggotanya terdiri dari para santri, dan mereka namai klub Taswirul
Afkar (konseptualisasi pemikiran). Ikut bergabung dalam klub tersebut Kyai
Mas Mansyur yang, kemudian hari dikenal sebagai salah satu dedengkot
Muhammadiyah. Dari kelompok diskusi ini, lahir madrasah Nahdhlatul Wathan
(kebangkitan tanah air). Dan di paroh kedua dasawarsa tigapuluhan, kelompok
itulah yang, dengan dukungan beberapa ulama terkemuka kalangan pesantren
lainnya, menjadi pengambil karsa mendirikan NU, di bawah pengoyaman guru
mereka, KH. M. Hasyim Asy’ari.[3]
2. Membentuk
Komite Hijaz
Sebelum
secara resmi mendeklarasikan berdirinya NU, para tokoh pendiri NU pernah
membentuk sebuah lembaga ad hoc, yang diberi nama Komite Hijaz.
Pembentukan komite ini dilatari dua peristiwa penting dalam bidang keagamaan,
di mana yang satu bertaraf intrernasional, dan satunya bertaraf nasional. Yang
bertaraf internasional adalah dihapuskannya kekhalifahan Islam oleh Turki tahun
1924 dan serbuan kaum Wahabi ke Makkah. Penghapusan kekhalifahan Islam
menimbulkan masalah mengenai siapa yang menjadi penerus Khalifah Islam dunia:
Kairo atau Makkah. Sedang serbuan ke Makkah dirasa sebagai masalah serius
karena kaum Wahabi yang bekerja sama dengan Raja Ibn Sa’ud, penguasa baru Tanah
Hijaz (sekarang Arab Saudi) berupaya membongkar habis segenap praktek-praktek
bermazhab, sebagai bagian dari gerakan pembaharuan. Sementara, pada level
nasional, gerakan pembaharuan kaum Wahabi yang salah satunya dilembagakan dalam
Muhammadiyah juga mulai menguat dan secara frontal mengusik kemapanan tradisi
keberagamaan yang telah mengakar di Indonesia.
Menghadapi
keadaan ini, kalangan ulama pesantren merespon melalui berbagai cara. Di
antaranya dengan mengadakan pertemuan dengan para tokoh Islam dari beragam
kalangan di Yogyakarta (Agustus 1925) dan Cianjur (Januari 1926). Namun di
hampir setiap pertemuan, forum didominasi kelompok pembaru. Suara ulama
kalangan tradisi tidak pernah mendapat perhatian serius. Sehingga, di bawah
prakarsa KH. A. Wahab Hasbullah, ulama kalangan pesantren itu mengadakan
pertemuan tersendiri di Surabaya. Salah satu hasilnya, menyepakati untuk segera
mengirim utusan ke tanah Hijaz, menemui Raja ‘Abd Allah ibn Sa’ud untuk
mengizinkan praktek-prakter bermazhab. Karena belum ada organisasi formal yang
memiliki legitimasi untuk mengirim utusan, dibentuklah Komite Hijaz sebagai
wadah utusan tersebut. Tanggal 31 Januari 1926, kembali diadakan pertemuan di
Surabaya dan menyepakati pembubaran Komite Hijaz bersamaan dengan
diproklamirkannya kelahiran NU.[4]
Karena
berbagai persoalan teknis, pengiriman delegasi ke Hijaz baru dilaksanakan dua
tahun kemudian. Mandat yang dibawa untuk diserahkan kepada Raja ibn Sa’ud
berisi permintaan mengenai “kebebasan bermazhab”, dengan “dilakukan giliran
antara imam-imam salat Jum’at di Masjid al-Haram”; tetap diizinkan masuknya
kitab-kitab karangan Imam al-Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lain; tetap
diramaikannya tempat-tempat bersejarah seperti tempat kelahiran Siti Fatimah;
serta meminta penjelasan mengenai kepastian tarif naik haji serta penjelasan
tertulis mengenai hukum yang berlaku di negeri Hijaz. Pada akhirnya permintaan
yang berkaitan dengan empat mazhab dikabulkan oleh raja dalam surat balasannya,
sedangkan mengenai hal lainnya tidak ditanggapi sama sekali.[5]
Dari
peristiwa Komite Hijaz ini tergambar bahwa organisasi NU merupakan pengembangan
dari Komite Hijaz dan merupakan hasil pengembaraaan kegiatan kaum muda
pesantren. Dari Sarikat Islam cabang Makkah, mereka mengambil watak gerakan
kerakyatan, sebagai benih NU. Kemudian, diformat dalam bentuk gerakan ekonomi
kooperatif, dengan nama Nahdlatut Tujjar (kebangkitan usahawan).
Selanjutnya meski masih dibatasi oleh intelektualitas kaum santri, janin NU itu
dibawa dalam pengembaraan intelektual melalui klub Tashwirul Afkar (konseptualisasi
pemikiran) untuk membincangkan berbagai persoalan kemasyarakatan dan
kebangsaan. Lalu meningkat menjadi gerakan pendidikan rakyat dan dilembagakan
dalam bentuk Madrasah Nadhlatul Wathan (kebangkitan tanah air). Baru
kemudian, berpuncak pada Nadlatul Ulama (kebangkitan para ulama),
sebagai sebuah organisasi paripurna yang menghimpun elemen-elemen terkemuka
masyarakat santri ketika itu: ulama, usahawan, pendidik, pemimpin serta tokoh
masyarakat dan pemikir agama.[6]
3. Politik Menyikapi Modernitas
Kelahiran NU
dalam wujud jam’iyyah (organisasi) kemasyarakatan dan keagamaan pada 31
Januari 1926, sebenarnya merupakan upaya institusionalisasi atas gerakan
kerakyatan, gerakan ekonomi dan gerakan pendidikan masyarakat yang dilandasi
nilai-nilai keagamaan yang tetap menancapkan akarnya pada tatanan tradisi. Ini
berarti, kehadiran NU merupakan upaya pelembagaan atas gerakan transformasi
sosial masyarakat Islam tradisional yang meliputi segenap sendi-sendi
terpenting tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan. Kelahiran NU dalam wujud
organisasi formal itu juga merupakan upaya institusionalisasi terhadap kultur
keagamaan yang telah mapan selama beberapa-abad dalam bentuk pesantren. Upaya
tersebut, tidak lepas dari kondisi sosial yang melingkupi bangsa Indonesia
ketika itu.
Pada
permulaan abad XX, kaum pesantren dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit di
bidang pendidikan. Saat itu ada tantangan pendidikan sistem sekolah yang
diprakarsai pemerintah kolonial yang, meski dikenal sebagai perwujudan politik
etis, sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administratif
pemerintah kolonial. Kehadiran sekolah sebagai salah satu bentuk institusi
modern ini merupakan hal baru yang bisa bermakna peluang sekaligus tantangan
bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Bagi kaum pesantren, kehadiran institusi
asing ini mendatangkan pertanyaan, haruskah pesantren memalingkan muka dari
sistem sekolah? Ataukah pesantren ditinggalkan kemudian dibuat sekolah-sekolah
model Belanda?
Para tokoh
pendiri NU merumuskan jawaban arif dalam bentuk kompromi. Pesantren tetap
dipertahankan tapi sistem sekolah agama di kembangkan di dalamnya. Dengan
mengambil nama madrasah, sistem sekolah itu dikembangkan secara massif, untuk
menghadapi tantangan pendidikan sekular dari Barat. Ini berarti ada kesamaan
pendapat di antara kalangan pemimpin pesantren, yakni; melakukan akomodasi
selektif terhadap tantangan kuat dari luar. Tidak mengherankan jika di kemudian
hari mereka juga dapat menerima gagasan membuat organisasi modern sebagai alat
pengikat kerja sama antara mereka. Bentuk kerja organisatoris formal dapat
mereka terima, karena di dalamnya mereka dapati hal-hal yang menguntungkan.
Akan tetapi, bagaimanapun juga penerimaan yang mereka lakukan berwatak
selektif. Akibatnya adalah ketidaktuntaskan bangunan organisasi yang mereka dirikan
itu, jika ditilik dari teori organisasi modern. Namun cukup membuktikan bahwa
kaum pesantren pada dasarnya, tidak alergi terhadap format-format baru dari
modernitas. Hanya saja, sikap hati-hati dan daya resistensi, acapkali
menjadikan mereka selektif dalam merespon segala bentuk pembaharuan.
4. Politik Tranformasi Sosio-Kultural
Sebagai
sebuah gerakan kerakyatan, NU dengan sadar memilih kelompok Islam tradisional
sebagai basis perjuangannya. Hal ini dapat diketahui dengan melihat para
pemrakarsa pendiri NU maupun orientasi gerakan awalnya yakni kaum pesantren,
yang merupakan benteng Islam tradisional di Indonesia. Saat itu, pesantren yang
notabene adalah lembaga pendidikan tertua dan paling mengakar di Tanah
Air, telah menjadi pusat pendidikan masyarakat. Sosok ulama pemimpin pesantren
yang umumnya figur kharismatik semakin memperkokoh keberadaan pesantren serta
menempatkannya sebagai lembaga pernaungan, tempat masyarakat dari berbagai
lapisan sosial mengadukan beragam problem kehidupan. Dari kondisi sosio-kultur
macam ini, pada gilirannya terbentuk masyarakat Islam tradisional patron-klien
dengan ulama sebagai patronnya.
Pengertian
Islam tradisional dalam tulisan ini adalah masyarakat Islam yang secara sadar
mengikatkan diri, dengan pikiran-pikiran para ulama fiqh (hukum positif
Islam), hadîst, tafsîr, tawhîd (teologi Islam) dan tashawwuf
(mistisisme Islam) yang hidup antara abad ke VII sampai XIII Masehi. Hal
ini tidak berarti bahwa masyarakat Islam tradisional terbelenggu dengan
pikiran-pikiran dan aspirasi yang diciptakan oleh para ulama abad-abad
tersebut. Memang benar, pendapat sebagian para pengikut Islam modern yang
menyatakan bahwa, dalam beberapa hal tertentu, kalangan Islam tradisional
mengalami kemandegan. Setidak-tidaknya, sangat sedikitnya rumusan resmi dari
Islam tradisional yang mengalami perubahan sejak abad XII hingga XIX cukup kuat
untuk membenarkan pendapat tersebut. Akan tetapi dalam kenyataanya dapat kita
lihat bahwa struktur dasar dari kehidupan keberagamaan masyarakat Islam
tradisional telah mengalami perubahan yang mendalam. Dan sebagaimana yang
terjadi dalam masyarakat-masyarakat agama pada umumnya, proses perubahan itu
membuahkan kekuatan ekspansi yang tersalur dalam berbagai bentuk aktivitas.
Semakin meningkatnya jumlah pengikut para kyai sejak masuknya Islam ke
Indonesia sampai dasawarsa-dasawarsa awal abad XX, menjadi salah satu bukti
bahwa Islam tradisional memiliki vitalitas, suatu kekuatan sosio-kultural dan
keagamaan yang tidak mungkin beku dan tidak mengalami perubahan. Pandangan
konservatif para kyai, ternyata bukannya menghasilkan sistem sosial yang
statis, tetapi justru menjadi penggerak transformasi sosial, di mana perubahan-perubahan
di lakukan secara pelan-pelan dan melalui tahap-tahap yang sulit di cermati.
Dari sini
bisa disimpulkan bahwa Islam tradisional yang terlembagakan dalam jam’iyyah NU,
meski kelihatannya demikian statis dan terbelenggu kuat oleh pikiran-pikiran
ulama abad pertengahan, ternyata mengalami perubahan yang fondemental. Hanya
saja perubahan tersebut demikian rumit dan demikian dalam tersimpan sehingga
tidak terlihat secara langsung meski fenomena-fenomenanya telah tampak di depan
mata. Sekadar contoh kecil, dapat disebutkan di sini, bahwa praktek-raktek
ritual keagamaan yang semula dituduh sebagai perbuatan bid’ah, syirik dan
khurafat oleh kalangan pembaru, kini makin sulit ditemukan di lingkungan
NU. Malah sebaliknya beberapa amalan keagamaan yang semula khas milik NU
ternyata, setelah terbukti manfaat sosialnya, tidak lagi menjadi monopoli NU
tetapi juga dipraktekkan oleh hampir setiap aliran, ataupun organisasi
keagamaan yang ada di Indonesia. Bahkan kini, menjadi sangat sulit membedakan
mana yang Islam tradisional dan mana yang modernis-pembaharu, jika yang menjadi
ukuran adalah tradisi ritual keagamaan.
Politik
transformasi sosio kultural ini sangat nampak ketika para tokoh pendiri NU
merumuskan paham Ahlussunnah wal Jama’ah (ahl al-sunnah wa al-jama’âh).
Prosesnya berlangsung amat panjang, terhitung sejak masa-masa awal masuknya
Islam di tanah Air, sampai masa-masa awal masuknya gerakan pembaruan kaum
Wahabi di negeri ini. Rumusan Ahlussunnah wal Jama’ah yang khas Indonesia[7]
ini menunjukkan adanya pilihan model gerakan, yaitu politik transformasi sosiao
kultural. Keharusan bermazhab bagi umat Islam jelas bukan karena fanatisme
terhadap otoritas para a’immah al-madzâhib (ulama pemimpin mazhab)
semata tetapi juga didasari pandangan komprehensif serta kajian epistemologi,
bagaimana struktur ilmu pengetahuan dibangun.[8]
Selain dalam
bidang keagamaan, transformasi sosiokultural juga dijalankan melalui gerakan
ekonomi. Semenjak masa-masa awal kelahirannya, NU yang ketika masih janin,
pernah berbentuk badan ekonomi, yakni Nahdatut Tujjar telah mencurahkan
perhatian terhadap kondisi ekonomi bangsa Indonesia. Bahkan, dalam Peraturan
Dasar NU, secara eksplisit dinyatakan bahwa di antara kegiatan usaha NU, adalah
mendirikan badan-badan perdagangan[9].
Bidang perniagaan menjadi pilihan NU dalam upaya membangun ekonomi kerakyatan
karena perdagangan merupakan bentuk usaha yang paling menguntungkan dan paling
mungkin ketika itu. Di samping itu juga karena banyaknya anggota NU yang
memiliki usaha berniaga. Selain itu, para kyai pemimpin pesantren, juga tidak
sedikit yang memiliki usaha niaga, di samping banyak bertani. Sebab meskipun
mengajar adalah kegiatan utama, tetapi para kyai pemimpin pesantren tidak
menjadikan profesi mendidik sebagai sarana mencari nafkah.
Cukup banyak
langkah yang dilakukan NU di masa-masa awal berdirinya dalam perniagaan ini. Di
antaranya, dan yang terbesar adalah pada tahun 1929, di Surabaya didirikan Cooperatie
Kaoem Moeslimin (CKM) yang dipimpin oleh Kyai Abdul Halim, seorang anggota Syuriyah.
Menyusul kemudian koperasi Syirkah Tijâriyyah (koperasi niaga) yang
menjual produk-produk keperluan sehari-hari seperti beras, gula, kopi, rokok,
sabun dan minyak. Model kerjanya, yang kemudian hendak diterapkan di semua
Koperasi NU adalah pembagian keuntungan dengan proporsi; 40% keuntungan untuk
penjual, 15% untuk pemilik modal, 25% ditambahkan pada modal pokok, 5% untuk
juru komisi dan 15% untuk NU.[10]
Langkah lain
yang secara resmi dilakukan NU dalam bidang ini adalah keputusan Muktamar di
tahun 1930, untuk mendirikan Lajnah Waqfiyyah (badan wakaf) di setiap
cabang NU dengan tugas utama mengurusi tanah-tanah wakaf. Walaupun tidak dapat
dianggap sebagai suatu perusahaan, namun segi komersial dalam pengurusannya
serta transaksi-transaksi yang dilakukan, seperti penjualan hasil tanah wakaf,
tetap memiliki dimensi ekonomi. Memang sulit melacak seberapa jauh badan–badan
ekonomi milik NU itu berhasil menjalankan usahanya. Namun, meskipun tercatat
gagal rencana mengimpor sepeda dari Cina, tetapi berhasil mengimpor barang
pecah–belah yang kemudian diberi tanda (cap) simbol NU.[11]
Upaya
transformasi ekonomi sempat mengalami kemadegan ketika NU menjadi partai
politik. Baru pada tahun 1973, gerakan ekonomi NU kembali bangkit yang, di
antaranya, ditandai dengan pendirian satu badan khusus, Lajnah Waqfiyyah
NU, yang diberi wewenang membeli dan menguasai tanah-tanah wakaf, berdasar atas
asas Islam.[12]
Dan di antara langkah-langkah NU yang secara kongkrit menyangkut kebijaksanaan
dalam bidang ekonomi adalah didirikannya Syirkah Mu’âwanah (badan
Koperasi pada setiap cabang NU, seperti yang dianjurkan salah seorang ketua NU,
Kyai Machfudz Siddik, di tahun 1973. Semenjak itu, berdirilah uasah-usaha
koperasi NU, antara lain di cabang Surabaya, Singosari, Bangilan dan Gresik.
Dan pada tahun 1984 upaya transformasi sosial ekonomi merambah ke dunia
perbankan dengan pendirin BPR-BPR di berbagai pelosok yang merupakan basis masa
NU.
Upaya
transformasi sosio kulktural tampak sangat nyata di bidang pendidikan, terutama
pada masa-masa awal berdirinya NU. Hal ini karena gerakan pendidikan berkelindan
dengan gerakan keagamaan. Ihwal seperti ini, cukup dapat dimengarti karena NU
memang lahir dari kalangan pesantren, yang merupakan lembaga pendidikan tertua
di Indonesia, sekaligus juga menjadi benteng utama Islam di negeri ini. Di
samping itu, kelahiran NU dalam bentuk organisasi, salah satunya bertujuan
untuk melindungi pesantren, yang ketika itu tengah dihadapkan pada
tantangan-tantangan berat, antara lain, dikembangkannya pendidikan sekuler oleh
pemerintah kolonial Belanda. Pesantren juga menghadapi tantangan dari kalangan
Islam sendiri, yaitu kelompok Islam modernis, yang turut serta menyerang
lembaga-lembaga pesantren. Bahkan tantangan dari arah yang disebut terakhir
itu, dirasa lebih berat, karena bukan hanya menyerang format pendidikan pesantren
yang menurutnya kolot dan ortodok, tapi juga menuduh pesantren mengajarkan
amalan-amalan agama yang dalam penilaiannya termasuk ajaran takhayul, khurâfât, syirik dan bid’ah.
Menghadapi
tantangan dari dua arah, dengan berpegang pada prinsip “memelihara
nilai-nilai lama yang baik dan mengambil hal baru yang labih baik”, NU
tidak berpaling dari sistem sekolah sekular itu tapi mengambil jalan kompromi.
Pesantren dipertahankan sedang sistem sekolah moderen dikembangkan di dalamnya.
Sistem sekolah kelas dikembangkan secara masif untuk menghadapi tantangan
pendidikkan sekuler barat di satu sisi, dan untuk memberi perimbangan bagi
gerakan-gerakan pembaharu yang terkadang, mengusik kemapanan tradisi.
Penerimaan terhadap sistem sekolah moderen tidak lain karena NU menemukan nilai
positif dalam sistem yang baru dikenal itu. Meski demikian, materi-materi yang
diajarkan tetap didasarkan pada kitab-kitab klasik. Merebaknya
madrasah-madrasah Nahdlatul Wathan di
masa-masa awal kelahiran NU adalah wujud nyata upaya transformasi sosial NU
melalui penyelenggaraan pendidikan rakyat.
5. Membangun Nasionalisme Indonesia
Di luar
upaya-upaya transformasi sosial dalam berbagai bidang yang langsung bersentuhan
dengan masyarakat, NU juga berperan penting dalam pembentukan sikap
nasionalisme bangsa Indonesia. Dan hal itu sudah dilakukan semenjak awal tahun
tiga puluhan, ketika Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda. Terkait
dengan peran ini, salah satu sumbangan penting NU adalah keputusan Muktamar XI di
Banjarmasin tahun 1936 yang menegaskan bahwa nama negara kita adalah Indonesia[13].
Keputusan yang berawal dari satu materi yang dikaji dalam Bahtsul Masa’il ad-Diniyah
(pembahasan masalah-masalah keagamaan) dan dikaji dengan perspektif syari’at
Islam ini, mempunyai dampak yang luar biasa terhadap proses pembentukan
nasionalisme bangsa Indonesia. Hal itu karena keputusan ini paralel dengan
gerakan kaum nasionalis sekuler bangsa Indonesia pada saat itu, sedang sangat
membutuhkan dukungan dengan legitimasi kuat dari berbagai kalangan. Pengaruhnya
jadi semakin signifikan karena keputusan Muktamar NU ini dilakukan di satu
wilayah yang jauh dari pusat gerakan nasionalisme bangsa Indonesia.
Sumbangan
lain terhadap pembentukan nasionalisme Indonesia yang tidak kalah penting
adalah prakarsa NU di bawah inisiatif KH. A. Wahab Hasbullah tahun 1937 untuk
membentuk Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebagai wadah perjuangan
bersama bagi organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia ketika itu[14].
Melalui forum berbentuk konfederasi inilah, NU turut mendorong tuntutan
terbentuknya parlemen bagi bangsa Indonesia di masa kolonial Belanda. Sampai
pada akhirnya Belanda memenuhi tuntutan MIAI dan organisasi-organisasi lain
yang tergabung dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia), dengan membentuk Volkraad
(DPR buatan pemerintah Belanda), meskipun, karena pertimbangan agama, NU
menolak duduk di dalamnya.
6. Pergerakan Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia
Keterlibatan
NU dalam pergulatan politik praktis, sebelum NU menjadi partai, bermula dari
kehadiran tentara Jepang pada tahun1942, yang kemudian, menerapkan sistem
pemerintahan militerisme otoriter di negeri ini. Kedatangan “saudara tua” di
Tanah Air yang ketika baru tiba disambut mesra karena janjinya akan memberi
kemerdekaan, ternyata justru lebih kejam dalam menindas. Segenap aktivitas
tradisi kerakyataan bangsa Indonesia, termasuk organisasi keagamaan, dibekukan.
Tidak ada lagi kegiatan yang melibatkan kumpulan orang, kecuali diawasi ketat
serdadu Jepang. Dan sebagai gantinya, Jepang memperkenalkan tradisi Negeri
Shinto, menghormat ke arah Matahari terbit, setiap pagi.
Praktek
tradisi baru yang dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pengakuan tunduk
terhadap Jepang tersebut dilakukan secara paksa, bahkan disertai kekejaman.
Pemerintah militer Jepang, tidak ragu-ragu menyiksa orang-orang yang
dianggapnya membangkang, bahkan memenjarakannya jika yang bersangkutan termasuk
tokoh masyarakat. Seperti yang dialami KH. M. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU,
dan KH. Machfudz Siddik, seorang Ketua NU. Kedua tokoh ini diksiksa dan
dijebloskan ke penjara Jombang selama empat bulan, hanya karena menolak
mengikuti orang–orang Jepang, ber-saikere, memberi hormat kepada Tenno
Haika, dengan cara membukuk, yang proposinya diyakini melanggar akidah Islam.
Kendati pada akhirnya pemerintah Jepang mengoreksi kebijakan menyiksa
orang–orang yang enggan ber-saikere, terbukti tidak lama kemudian budaya
negeri matahari terbit itu dihapus, tetapi praktek kekejaman di awal
kedatanganya itu, cukup membuktikan totaliterianismenya kekuasaan pemerintah
militer Jepang.[15]
Kekejaman-kekejaman
itu menjadi pelajaran bagi para pemimpin NU untuk merumuskan langkah–langkah
setrategis lebih lanjut dalam merebut kemerdekaan yang diprediksi telah berada
di ambang pintu. Ketika Jepang menerapkan pendekatan persuasif, NU menyambutnya
dengan tangan terbuka. Berpegang pada petuah Nabi, al-harb kaidah
(perang adalah muslihat), tokoh–tokoh NU mencerdiki Jepang melalui sikap lunak.
NU menerima kerja sama dengan Jepang sebagai rule of the game, atau yang
di kalangan pesantren dikenal dengan istilah yahannu (akal cerdik
menghadapi lawan).[16]
Tidak mengherankan jika pada masa kolonial Belanda NU menolak duduk dalam Volkraad
(Parlemen bikinan pemerintah Belanda), tetapi pada masa pemerintahan Jepang
tokoh–tokoh NU bersedia diangkat menjadi anggota Chau Sangi-in, Badan
Legeslatif buatan Jepang. Dengan strategi ini NU melakukan pendekatan pada
pemerintah Jepang. Hasilnya, September 1943 Jepang mengizinkan aktifnya kembali
NU dan beberapa organisasi Islam lainnya.[17]
Selang satu
bulan setelah dibebaskannya kembali aktivitas berorgainsasi, pada Oktober 1943,
NU mengajak ormas Islam lainya, memprakarsai pembentukan Majlis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi). Badan yang
dimaksudkan sebagai federasi bagi organisasi–organisasi Islam yang lebih
dikenal dengan Masyumi itu lahir sekaligus untuk menggantikan MIAI (Majelis
Islam A’la Indonesia) yang bubar bersamaan dengan masuknya Jepang. Kepeloporan
NU dalam mendirikan Masyumi, membuat para tokoh NU ditempatkan pada posisi
menentukan di badan federasi itu. Pimpinan tertinggi Masyumi dipercayakan
kepada KH. M. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, sedang para wakilnya diambil dari
NU, Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya.
Di bawah
kepemimpinan KH. M. Hasyim asy’ari yang juga anggota Chau Sangi-in,
Masyumi berhasil melakukan lobi–lobi politik terhadap penguasa Jepang dan
sukses membangun jaringan pergerakan perjuangan dengan kelompok–kelompok
nasionalis. Melalui lobi politik ini, Masyumi berhasil membentuk pasukan Hizbullah
(hizb Allâh) untuk angkatan muda yang keanggotaannya terdiri
dari para santri sebagai perwakilan dari NU, perutusan organisasi Islam lain
yang tergabung dalam Masyumi. Menyusul kemudian, dibentuk pasukan Sabilillah
(sabîl Allâh) untuk barisan para ulamanya. Keberhasilan Masyumi
mempersiapkan dua barisan pasukan perang ini tidak lepas dari kecerdikan
diplomasi KH. Hasyim Asy’ari dengan politik yahannu-nya. Dengan dalih
sebagai konsesi permintaan Jepang membentuk tentara PETA (Pembela Tanah Air),
beliau mengajukan izin kepada pemerintah Jepang, untuk membentuk pasukan
tersebut, sekaligus minta dikirim pelatih. Kalau PETA dilatih Jepang untuk
dikirim ke Burma atau kepulauan Pasifik, maka dengan alasan ‘masih belum
terlatih’, KH. M. Hasyim Asy-ari mempertahankan barisan Hizbullah-Sabilillah,
hanya untuk pasukan cadangan. Diplomasi politis yang diajukan pimpinan Masyumi
itu berhasil mengelabuhi Jepang. Betul sebagai cadangan, tetapi bukan untuk
melawan pasukan Sekutu, seperti dipahami pihak Jepang. Melainkan cadangan
menunggu moment untuk merebut senjata dari tangan Jepang.
Masih dengan
strategi yahannu, ketika Shumbu (Kantor Agama ciptaan Jepang)
mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat pada tahun 1944, para tokoh NU
tidak tinggal diam. KH A. Wahid Hasyim mengambil prakarsa menyelesaikan krisis
tersebut. Hingga ketika melalui konperensi penghulu se-Jawa di Jakarta, Dr.
Djojodiningrat mengundurkan diri dari jabatan Shumubu-cho (Kepala Kantor
Agama), KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Masyumi yang juga Rois Akbar NU,
diangkat Jepang mengisi kekosongan jabatan tersebut.
Di tengah
keasyikan memainkan strategi yahannu-nya melalui Masyumi itu, NU tetap
sadar bahwa Jepang adalah penjajah. Dan kemerdekaan, kendati telah dijanjikan
Jepang, tidak akan diberikan cuma-cuma. Kemerdekaan tetap harus direbut melalui
perjuangan. Dari kesadaran ini, tokoh-tokoh NU semisal KH. A. Wahid Hasyim,
terus melakukan kontak, membangun jaringan dengan kalangan Nasionalis untuk
berjuang bersama merebut kemerdekaan. Hingga ketika terdengar berita Jepang
mulai terdesak oleh tentara Sekutu, di awal tahun 1945, tekanan-tekanan para
tokoh pergerakan terhadap Jepang juga semakin gencar. Hasilnya pada tanggal 29
April 1945, dibentuk Dokoritsu Zyubi Tyoosakai (Badan Usaha Penyelidik
Persiapan Kemerdekaan) beranggotakan 62 orang dan salah satunya KH. A. Wahid
Hasyim.[18]
Beliau juga termasuk salah satu dari panitia sembilan yang merumuskan Dasar
Negara, yang kemudian lebih dikenal dengan Piagam Jakarta.[19]
Setelah Jepang terusir dan Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, KH. A.
Wahid Hasyim dipercaya sebagai Menteri Negara.
Setelah
proklamasi, ternyata perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia masih terus
berlanjut, justru memasuki masa yang dikenal dengan zaman revolusi. Sumbangan
penting NU pada masa ini adalah seruan jihad untuk melawan kembalinya bangsa
Belanda yang datang membonceng pasukan Sekutu. Seruan yang lebih dikenal dengan
Resolusi Jihad ini ditandatangani oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22
Oktober 1945. Resolusi ini menyerukan kepada setiap muslim dengan status wajib ‘ayn
(keharusan tanpa kecuali) bagi yang berada dalam radius 94 km dari lokasi musuh
(tentara Belanda) dan dengan status wajib kifâyah (keharusan dengan
perwakilan sesuai kebutuhan) bagi yang berada diluar radius 94 km, untuk
berperang melawan Belanda. Dampak nyata dari resolusi ini adalah berkobarnya
pertemperun 10 Nopember 1945 di Surabaya, yang di kemudian hari dimonumenkan
sebagai Hari Pahlawan.[20]
Karena perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia terus berlanjut, isi seruan
dalam Resolusi Jihad dikukuhkan melalui keputusan Muktamar NU ke-16 di
Purwokerto, 26-29 Maret 1946 di bawah judul “Hukum Memerangi Tentara Musuh yang
Sudah Ada di Tengah-Tengah Kita”.[21]
B. Menjadi Partai Politik
1. Perselisihan dengan Kaum
Modernis
Di antara
hasil nyata yang diperoleh NU dari keterlibatan dalam percaturan politik
praktis di masa pemerintahan Jepang adalah pencairan kembali aktivitas NU yang
sempat dibekukan oleh Jepang; dan kelahiran Masyumi sebagai badan federasi
berbagai organisasi Islam yang ada ketika itu; terbentuknya barisan Hizbullah–Sabilillah;
aliansi dengan kaum pergerakan dari kalangan Nasionalis dan sebagainya. Semua
itu dimaksudkan untuk memperjuangkan kebebasan menjalankan agama serta untuk
mewujudkan kemerdekaan rakyat dan bangsa. Bahwa kemudian tokoh-tokoh NU
mendapatkan jabatan politis, adalah suatu konsekuensi sejarah. Itulah masa
bulan madu NU dengan ormas Islam lain di dalam Masyumi.
Penting
untuk ditekankan di sini, bahwa meskipun NU merupakan pendiri sekaligus unsur
terpenting Masyumi, tetapi eksistensi NU tidak lantas melebur di dalamnya. NU
tetap mantap dengan keberadaan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan,
meskipun di daerah-daerah, banyak pengurus cabang NU merangkap sebagai pengurus
cabang Masyumi. Itulah kondisi ideal yang dikehendaki NU, dengan mempertahankan
kehadiran Masyumi sebatas sebagai badan federasi. Dengan posisi ini, NU dapat
mengambil peran aktif turut membangun bangsa secara kongrit, tanpa kehawatiran
akan mengabaikan agenda besarnya, tranformasi sosio-kultural masyarakat Islam
tradisional.
Sayang,
kondisi seperti itu tidak bertahan lama. Kurang lebih dua bulan setelah
kemerdekaan, melalui kongres Masyumi di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945,
sekelompok “intelektual” yang didukung beberapa tokoh Masyumi non NU,
merekayasa badan federasi itu, menjadi partai politik. Tentu saja perubahan
Masyumi menjadi partai politik, terkait erat dengan agenda kaum “intelektual”
tersebut dalam melihat peluang politik di negara yang baru merdeka itu. Ketika
itu para tokoh NU ditempatkan dalam Majelis Syura yang notabene berada
pada posisi tertinggi dalam struktur kepengurussan partai, namun dalam
prakteknya, fatwa dan pertimbangan majelis syura tidak lebih dari kumpulan
nasehat yang tidak lagi diperlukan. NU yang tidak terbiasa dengan sikap
ekstrim, oposisi binner serta sejenisnya, dan hanya akan memperlihatkan sikap
tersebut ketika sistem di lingkungan NU menghendakinya, masih dapat menahan
ketidakadilan yang menimpanya dalam tubuh Masyumi. Sayangnya, konsistensi NU
itu justru dimanfaatkan para elit politik Masyumi. Di saat NU bersikap lunak dan
akomodatif, elit politik itu segera menjarah keuntungan dari profil lunak itu.
Dan ketika NU berdiri konsisten dengan sikap oposisi, elit politik Masyumi
“berbelok” untuk kepentingan pribadinya.
Kondisi
seperti ini dimungkinkan oleh suasana demokrasi liberal dengan sistem
parlementer. Sistem yang menempatkan parlemen memiliki peranan penting, bahkan
dapat menentukan nasib pemerintahan merupakan faktor yang mendorong prilaku
para elit politik Masyumi itu. Parlemen yang keanggotaannya adalah wakil-wakil
partai menjadi rebutan antara berbagai kelompok kepentingan yang ada, bahkan
sering kali muncul pertentangan intern kelompok dalam merebut kursi parlemen.
Sekedar contoh, ketika kabinet Syahrir menerima perjanjian Linggarjati, di
kalangan Masyumi muncul dua kubu yang saling bertentangan. Kubu “Anti
Perjanjin” yang di motori NU, berhadapan dengan kubu “pro perjanjian” yang
dipelopori para elit politik Masyumi. NU menentang perjanjian karena melihat
pihak Belanda yang selalu licik. Terbukti, meskipun pada akhirnya perjanjian
tersebut ditandatangani, toh antara pihak Republik dengan pihak Belanda,
tidak pernah ada kata sepakat. Justru reaksi dalam bentuk pertempuran melawan
Belanda, muncul di hampir seluruh pelosok Indonesia. Hingga pada akhirnya,
Syahrir meletakan jabatan perdana menteri, dan diganti oleh Amir Syarifuddin.
Semula,
dengan pertimbangan konsistensi perjuangan, Masyumi memboikot kabinet Amir,
yang dipastikan akan meneruskan langkah Syahrir menerima perjanjian
Linggarjati. Namun melihat Partai Syarikat Islam Indosesia (PSII) yang
memisahkan diri dari Masyumi tahun 1947 juga karena dikekecewakan, di bawah
pimpinan Aruji Kartawinata dan Wondoamiseno tetap masuk dan mendapat enam kursi
kabinet, elite politik Masyumi bersedia masuk dengan mendudukkan Mr. Syamsuddin
sebagai wakil Perdana Menteri. Tentu saja sikap Masyumi itu mengecewakan NU
Perbedaan inilah yang mulai membuka kekecewan NU terhadap elite politik
Masyumi. Kekecewaan itu diperparah dengan perubahan aturan main organisasi yang
mengabaikan asas demokrasi, seperti adanya anggota perorangan yang peranannya
justru mengalahkan anggota istimewa. Lebih dari itu, kedudukan Majelis Syura
yang didominasi NU, melalui muktamar IV 15-19 Desember 1949 di Yogyakarta,
diubah menjadi Dewan Penasehat. Praktis, peranan NU dalam Masyumi berakhir.
Kekecewaan
itu diperparah dengan arogansi para elite politik Masyumi terhadap NU dengan
melontarkan sindiran-sindiran pedas, semisal; “Ulama tidak pada tempatnya
mengenai soal-soal politik. Ulama lebih layak mengurusi langgar, mushalla,
masjid atau pesantren”, dan sebagainya. Yang lebih membuat NU tidak bisa
menerima adalah sikap politik yang melewati batas moral kemanusiaan dan
keagamaan, seperti diperlihatkan Natsir ketika menjabat Perdana Menteri. Dalam
rangka pemulihan keamanan, Natsir mengeluarkan seruan kepada pasukan DI/TII
Kartosuwiryo, agar turun dari gunung, kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Natsir
menjanjikan keamanan buat mereka dan akan memberi amnesti. Ternyata yang
terjadi kemudian justru lebih fasis dibanding kabinet-kabinet sebelunya.
Pasukan DI/TII dilucuti dan dijebloskan dalam penjara, hingga pemulihan
keamanan di wilayah Jawa Barat berlarut-larut hinga tahun1964.[22]
Kelakuan
elite politik Masyumi itu semakin mempercepat NU mencapai puncak
kejengkelannya. Kondisi semacam ini masih terus berlanjut meskipun telah
beberapa kali NU memberi peringatan, bahkan sesekali juga ancaman. Karena
kondisi di tubuh Masyumi telah melampui batas untuk ditolerir, maka melalui
surat keputusan PBNU tanggal 5 April 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi
secara organisatoris, di samping mengusulkan agar Masyumi kembali menjadi Badan
Federasi. Peryataan itu diperkuat dengan keputusan Muktamar ke-21 NU di Palembang,
tanggal 28 April sampai dengan 1Mei 1952 yang mengubah jam’iyyah NU
menjadi partai politik.[23]
2. Menjadi Bagian
Penyelenggara Kekuasaan Negara
Dengan
tampil sebagai partai tersendiri, kebesaran NU menjadi lebih nyata, baik dari
segi jumlah massa pendukungnya maupun kualitas kader-kader politiknya. Dalam
waktu sangat singkat, NU mampu mengembangkan sayap bidang geraknya, ke berbagai
domain sosial, sekaligus merekrut beragam kader potensial. Masuknya Haji
Djamaluddin Malik, seorang produser film kelahiran Medan yang terkenal sangat
memperhatikan nasib bintang-bintang film, semakin menambah marak aktivitas
partai NU. Karena jasa pemilik produser film “Persari” inilah NU memiliki
Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi). NU juga berhasil
membentuk Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dan Perkumpulan Tani
Nahdlatul Ulama (Pertanu). Tentu saja disamping sebelumnya telah memilki
organisasi-organisasi neven semisal Muslimat NU, Pemuda Anshar, Fatayat
NU, dan IPNU-IPPNU.
Memang,
maraknya gerakan NU di hampir segenap bidang kemasyarakatan itu juga karena
didorong eksternal, tuntutan persaingan antar partai yang ada pada saat itu.
Apalagi demokrasi parlementer yang liberal juga menuntut pemerintah berlaku
adil dengan memberi kebebasan kepada setiap partai yang ada, termasuk Partai
Komunis Indonesia (PKI), partai yang pada saat itu dipahami sebagai partai anti
Tuhan. Kehadiran PKI yang gegap gempita baik dalam menyusun barisan pendukung
maupun dalam propaganda-propagandanya mendorong partai-partai lain, terutama
yang berhaluan agama untuk menandingi dengan membentuk barisan-barisan sepadan.
Ini salah satu faktor eksternal yang mempercepat pembesaran partai NU.
Karena
cepatnya perkembangan ini, NU dapat tampil di panggung politik dengan lebih
percaya diri, lebih independent dan bisa secara langsung mempengaruhi
kebijakan-kebijakan pemerintahan. Keberadaan NU di parlemen juga memiliki
posisi cukup kuat sehingga dapat berperan maksimal dalam pengambilan keputusan
di DPRS. Salah satu keputusan penting NU yang secara signifikan berpengaruh
sangat luas adalah ketika di Parlemen berlangsung perdebatan tentang wali hakim
setelah salah satu Partai Islam, Perti, menolak Peraturan Menteri Agama nomor 4
tahun 1952 yang mengatur kewenangan Departemen Agama sebagai wali hakim.[24]
Sebagai upaya mendukung argumentasi di Parlemen, melalui Munas Alim Ulama di
Cipanas tanggal 2-7 Maret 1954 NU menghukumi kedudukan Presiden RI (Ir.
Soekarno) sebagai “Waliyul Amri Dharuri bissyaukah" (penguasa
pemerintahan secara darurat sebab kekuasaanya). Keputusan Munas ini kemudian
dikukuhkan dalam Muktamar NU ke-20 di Surabaya tanggal 9-14 September 1954.[25]
Sebenarnya
persoalan ini muncul dilatari oleh persoalan syariat agama, yakni terkait
dengan sahnya pernikahan yang menggunakan wali hakim. Dan keputusan yang
diambil, sebagaimana telah menjadi
tradisi NU, didasarkan pada kaidah-kaidah agama yang menempatkan keadaan
darurat sebagai keadaan yang memperkenankan segala. Akan tetapi dampak
politiknya menjadi sangat besar, karena keputusan ini memberi legitimasi sangat
kuat terhadap posisi Soekarno sebagai Presiden RI yang tengah menghadapi
delegitimasi politik dan rongrongan dari berbagai arah menjelang Pemilu 1955.
Dan jika menggunakan term politik modern, maka kondisi darurat dalam
keputusan itu adalah kenyataan berkuasanya Ir. Soekarno secara de-facto
sebagai Presiden, sebagaimana de-factonya keberadaan Negara Indonesia.
Dampak politik lebih besar dari keputusan ini adalah semakin kuatnya posisi
Soekarno sebagai Presiden serta menambah kedekatan NU dengan Soekarno dan
Partai Nasinal Indonesia (PNI).
Kondisi
menguntungkan ini membuahkan hasil cukup mengagumkan dalam Pemilihan Umum tahun
1955, Pemilu pertama Bangsa Indonesia. Dengan perolehan suara sebesar 18,4
persen NU tampil menjadi salah satu dari empat besar pemenang Pemilu (PNI
23.3%; Masyumi 20,9%; NU 18,4% dan PKI 16,4%).[26]
Dengan perolehan ini, di parlemen para tokoh NU juga berperan signifikan dalam
berbagai pengambilan keputusan. Sayangnya Parlemen pertama yang merupakan hasil
pemilu sangat demokratis itu terjebak dalam perdebatan ideologis berlarut-larut
di seputar penentuan Dasar Negara. Akibatnya banyak hal penting terbengkelai,
sampai akhirnya Presiden Soekarno mendapat legitimasi politik yang kuat untuk
membubarkan Parlemen melalui dekrit 5 Juli 1959. Semenjak itu Indonesia masuk
kekuasaan otoritarianisme demokrasi terpimpin. Dan karena kedekatan dengan
Soekarno serta aliansi strategis yang dibangun dengan PNI, NU menjadi bagian
dari kekuasaan itu.
3. Kebesaran yang Semu
Dengan
terlibat langsung dalam kekuasaan baik di legislatif (parlemen) maupun di
pemerintahan, NU memiliki peranan cukup besar dalam penyelenggaraan Negara.
Konsekuensinya kelembagaan Partai NU juga menjadi semakin besar dan diuntungkan
secara ekonomis. Akan tetapi kebesaran itu sebenarnya bersifat semu dan
dipaksakan jika dilihat lebih obyektif. Kehadiran orang-orang luar yang
langsung menduduki posisi-posisi penting kepengurusan partai merupakan salah
satu indikasi. Kalkulasi kekuatan sebenarnya tidak mengizinkan NU terjun dalam dunia
penuh hingar bingar itu. Apalagi transformasi kultural dalam tubuh NU, masih
sangat dini. Mayoritas warga NU, termasuk jajaran elitnya, masih belum mampu
menerjemahkan doktrin-doktrin Aswaja yang selalu jadi dasar pijak dalam tataran
praktis bernegara. Sekedar contoh, kehadiran Idham Cholid, politisi “lincah”
kelahiran Kalimantan, dalam jajaran Pengurus Besar di awal NU menjadi partai,
atau masuknya politisi muda berbakat Subhan ZE di tahun enam puluhan, cukup
membuktikan keterbatasan sumber daya NU. Kedua politisi ini secara kultural
dianggap bukan “kader kandung” NU karena berasal dari pesantren modern atau
karena hasil didikan Barat. Tidak mengherankan jika dalam perjalanan, kedua
tokoh ini acap kali “bentrok” dengan ulama-ulama pesantren, benteng utama NU.
Rekrutmen
kader dari luar jika dikuantitatifkan, lebih besar ruginya dibanding keuntungan
yang didapat. Diabaikannya nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang
merupakan ideologi warga NU dan metodologi para ulama NU, adalah kerugian yang
sulit dikalkulasi. Bertahannya Idham Cholid selama empat periode menjadi Ketua
Umum PBNU, adalah karena kemampuan politisnya yang dapat “mengelabui” jajaran
ulama sepuh. Dan akhir karir politik Idham Cholid di NU (tahun 1984), ditandai
dengan mufâraqah (perceraian) dengan KH. As’ad Syamsul Arifin. Begitu
pula dengan Subchan ZE, Ketua I PBNU pada masa Kiai Bisri Syansuri menjadi Rais
‘Aam. Di tahun 1972, politisi muda penuh bakat itu dipaksa keluar dari NU,
karena prilakunya yang divonis telah menyimpang dari tata nilai yang berlaku di
lingkungan NU.[27]
Semua itu
baru sebagian kecil sisi negatif kehadiran NU sebagai partai politik. Akan
semakin nampak kerugiannya, jika melihat social cost yang harus dibayar
NU ketika menjadi partai. Terbengkalainya pendidikan, baik pesantren maupun
madrasah-madrasah; tersisihnya waraga NU dari akses sosial adalah wujud kongrit
biaya sosial yang harus dibayar untuk kepentingan segelintir elite politik,
yang ternyata, orang-orang dari “luar” NU. Pengorbanan semacam ini dialami
sepanjang sejarah perjalanan NU terjun dalam kancah politik praktis. Kerugian
tersebut bukan hanya menimpa masyarakat awam warga NU tetapi juga kalangan elitnya.
4. Kembali Menjadi Organisasi
Sosial Keagamaan
a) Transisi dan Krisis
Identitas
Ketika Orde
Baru mulai mencanangkan kekuasaan di akhir tahun enam puluhan, adalah
kesempatan terbaik bagi NU untuk segera kembali menapaki rel aslinya,
melanjutkan agenda besar, proyek kultural yang terbengkelai selama NU
terjun dalam dunia politik. Kenyataanya
manisnya politik membius politisi NU, hingga momentum itu luput dimanfaatkan.
Keberhasilan NU menjadi Partai Islam terbesar dalam pemilu pertama Orde Baru
tahun 1971,[28]
semakin memabukkan NU dalam keterbiusan itu. Akibatnya ketika Orde Baru memulai
proyek besarnya, memangkas kekuatan massa melalui politik flooting mass-nya,
yang diantaranya diwujudkan dalam fusi antara partai-partai yang sealiran
ideologi, NU-pun larut dalam PPP. Meskipun Partai NU telah lenyap, tetapi,
secara resmi-organisatoris, NU tetap mempercayai dan menyalurkan aspirasinya
melalui PPP, partai yang sebenarnya, hanya simbol demokratisnya rezim Orde
Baru.
Sepuluh
tahun menjadi bagian dari PPP, adalah pengalaman pahit bagi NU, di sepanjang
sejarahnya terjun dalam kancah politik praktis. Dalam tempo satu dasawarsa NU
menyalurkan aspirasinya melalui partai Islam bikinan Orde Baru itu, hanya
membuahkan kepedihan di segenap lapisan masyarakat NU. Kepedihan yang jauh
lebih menyayat, sekalipun jika dibandingkan dengan akumulasi kegetiran yang
dialami sepanjang usianya yang kini hampir mencapai tuju puluh tahun. Ketika
bergabung dengan partai Masyumi acap kali NU dilecehkan oleh para elite politik
partai yang diprakarsainya itu. Tetapi, peran strategis yang sempat diraih
beberapa tokoh NU walaupun tidak melalui Masyumi, ataupun masih tetap
terbukanya kesempatan mengurus NU dalam kapasitasnya sebagai organisasi sosial
keagamaan, cukup melipur kekecewaan karena dilecehkan itu. Ketika berdiri
sebagai partai tersendiri di masa Soekarno, meski tidak pernah mendapat posisi
kunci, tetapi nasib Partai NU secara umum relatif lebih baik ketimbang Masyumi.
Meski harus menyandang predikat oportunis, NU selalu mendapat jatah di
Departemen agama, dari tingkat kementrian sampai tingkat kecamatan.
Pengusaha-pengusaha NU, juga sering mendapatkan tender. Bahkan dari presiden
Soekarno, NU juga memperoleh kavling tanah cukup luas di Jakarta maupuan hutan
di Kalimantan. Dan kegagalan NU menduduki jabatan strategis bukan karena
kekalahan politis, tetapi lebih disebabkan oleh tidak adanya kader potensial yang
“asli “ NU untuk jabatan yang tersedia. Semua itu cukup menjadi pelipur
ketidaksusesan NU menduduki posisi strategis di jajaran ekskutif .
Di saat
memperkuat barisan PPP, kendatipun semua orang tahu bahwa andil terbanyak bagi
kebesaran PPP adalah dari NU, tetapi suasananya justeru berbalik 180 derajat.
Sedikit demi sedikit peranan orang-orang NU dalam partai hasil fusi itu
tergusur. Orde Baru tidak mau lagi memberikan posisi bagi kader-kader NU.
Bahkan, pemerintah men-dropping orang-orang ke dalam tubuh PPP dalam
rangka peminggiran politisi-politisi asal NU yang terkenal vokal. Melalui
Mintareja, Orde Baru menerapkan de-NU-isasi dalam tubuh PPP, yang kemudian
dilanjutkan dengan kehadiran Naro, sebagai kuda hitam yang memegang kontrol
langsung terhadap PPP. Tragisnya, peminggiran terhadap orang-orang NU ini bukan
hanya dalam tubuh PPP, tetapi juga di aras luar politik yang jauh lebih luas.
Pengusaha-pengusaha NU dijauhkan dari tender-tender pemerintah. Bahkan jika
ketahuan ada swasta yang memberikan tendernya kepada orang NU, segera akan
diberi peringatan. Praktis yang terjadi adalah kehilangan orientasi yang
melanda segenap warga NU. Masyarakat warga NU menjadi limbung, kebingungan
arah, dan kehilangan identitas.
Bahkan saat
itu, seperti digambarkan Mahbub Junaidi, bukan warga NU yang tidak kenal lagi
siapa dirinya, tetapi banyak pula pejabat pemerintah daerah yang tidak paham
lagi ke mana NU lenyap. Kalau warga NU binggung akan status organisasi dan
bidang garapanya, maka pejabat-pejabat daerah itu mengira NU sudah melebur
seutuhnya dalam tubuh PPP. Singkatnya, NU sudah tidak ada. Kebinggungan warga
NU tidak sebatas karena pemerintah mencurigai, bahkan mengharamkan segala
aktivitas yang dengan kaca mata kekuasaan beraroma politik. Kehadiran Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagai institusi keagamaan resmi pemerintah yang merebut
ladang garapan asli NU, juga turut memperparah kebinggungan tersebut.
Acara-acara kultural NU semisal maulidan, rajaban, bahkan sampai tahlilan
yang merupakan kegiatan rutin dipersulit dengan keharusan melalui izin
resmi aparat birokrasi yang prosesnya bertele-tele dan, biasanya, berujung
dengan ketidakbolehan. Kegiatan-kegiatan semacam itu baru lancar ketika
diprakarsai oleh MUI, yang seakan-akan pemegang hak tunggal segenap kegiatan keagamaan.[29]
Bukan hanya
itu, pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan atau madrasah-madrasah
yang diketahui milik NU juga bernasib sama. Jangankan mendapat subsidi,
kegiatan sehari-harinya pun diawasi ketat. Pendeknya warga NU di seluruh bidang
kehidupan; yang bertani, yang di birokrasi, yang wiraswasta, yang menjadi guru,
yang memimpin pesantren, semuanya diposisikan sebagai warga negara kelas paling
bawah. Bahkan, meskipun jelas-jelas tinggal di tanah sendiri, makan dari hasil
keringat sendiri, beraktivitas sosial dengan biaya sendiri, dan pemerintah yang
mengatur kehidupan mereka pun juga orang-orang dari bangsa sendiri (Indonesia),
tetapi yang mereka rasa, bagaikan hidup di bawah kuasa kolonial, atau hidup di
pengasingan.
b) Kembali ke Khittah NU
1926
Kondisi
muram NU di awal hingga pertengahan Orde Baru seperti tergambar di atas
membangunkan kesadaran generasi baru NU, generasi yang secara intelektual
tumbuh di tahun tujuh puluhan. Mereka terpanggil bukan hanya untuk mengatasi
kebuntuan NU, tapi juga membenahi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Generasi ketiga NU yang rata-rata lahir tahun lima puluhan ini melihat bahwa
kemelut dan kemuraman yang melanda NU bukan karena faktor internal NU semata,
tapi bersifat sistemik, karena salah penataan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Itu berarti kesalahan kolektif bangsa Indonesia, karena ketika Orde
Baru mulai menebar jaring kekuasaan, hampir semua komponen bangsa terlibat di
dalamnya. Untuk membenahi kondisi ini tidak cukup dengan mengubah tatanan
internal NU tapi harus dibuat langkah besar berefek ganda. Harus segera diambil
sebuah terobosan baru yang dapat membangunkan kesadaran dalam diri NU, dan pada
sisi lain berdampak luas terhadap penataan kehidupan bernegara. Hal itu sangat
mungkin dilakukan NU karena potensi yang dimiliki serta peran kesejarahan yang
pernah dilalui.
Jawaban
cemerlang yang kemudian ditemukan adalah mengembalikan NU kepada Khittah (garis
perjuangan) awal ketika didirikan pada tahun 1926, yakni eksistnsi NU sebagai jam’iyyah
dîniyyah ijtimâ’iyyah, organisasi sosial keagamaan. Agar dampaknya meluas
pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, penegasan untuk kembali pada Khitthah
NU 1926 ini harus disertai sikap politik tegas yang menunjukkan visi baru
NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegera. Rumusan yang kemudian ditemukan
adalah pernyataan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai
bentuk final Negara Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar dan ideologinya.
Penegasan kedua keputusan monumental itu dilakukan dalam Muktamar NU ke-27 di
Setubondo Desember 1984, setelah sebelumnya dirumuskan melalui Munas Alim Ulama
NU 1983 di tempat yang sama.
Kedua
jawaban tersebut sekilas tampak sederhana. Pada kenyataannya, proses menuju
tekad baru ditempuh melalui jalan panjang berliku seiring dengan proses
tarik-menarik kepentingan antara pihak yang menghendaki perubahan dengan pihak
yang bersikeras mempertahankan status quo NU. Untunglah pihak yang disebut
pertama, dikenal dengan Kubu Situbondo, cukup gigih dan ulet, sehingga pihak
kedua, dikenal dengan Kubu Cipete, tidak mampu menahan laju generasi baru NU
yang memamng memiliki pandangan luas dan visi yang jauh ke depan.
Sebenarnya
dari segi ide, gagasan kembali Khittah NU tahun 1926 bukan sesuatu yang baru.
Sejak NU mengubah diri menjadi partai politik di 1952, berbagai koreksi, kritik
serta usulan telah muncul dalam upaya memurnikan gerakan kultural NU. Pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta, 13 –18
Desember 1959, PC NU Mojokerto yang diwakili oleh KH Halimi menggulirkan
gagasan perlunya NU kembali menekuni bidang sosial keagamaan atau model gerakan
tahun 1926. Usulan itu muncul begitu saja tanpa ada penjelasan secara
komprehensif tentang makna Khittah, meskipun beliau mengerti dan memahami
maksud gagasannya itu. Akibatnya ide cemerlang ini hanya dianggap sebagai
peringatan agar mengembalikan NU kepada semangat ubûdiyyah pada 1926.[30]
Desakan agar NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan muncul kembali pada
saat berlangsung Muktamar NU ke 26 di Semarang, 5 – 11 Juni 1979. Desakan yang
sempat membesar dan menguat ini ternyata belum sampai menjadi agenda
pembahasan. Gagasan itu ditindaklanjuti di luar bingkai Muktamar, yaitu dengan
cara menugaskan KH. Achmad Shiddiq untuk mencetak gagasannya: Risâlah Khiththah
Nahdliyyah dan dibagikan kepada peserta Muktamar.[31]
Baru pada tahun 1980-an, ketika generasi baru NU yang gerah menyaksikan
kesuraman NU di satu sisi, dan carut-marutnya kehidupan bernegara pada sisi
yang lain, terus mendesak dengan berbagai upaya, moment bersejarah itu dapat
diwujudkan.
c) Beragam Interpretasi Politik
atas Khittah NU 1926
Trobosan
besar NU dengan sikap tegas melalui Keputusan Muktamar untuk kembali pada
Khittah 1926, di kalangan NU sendiri ditafsiri secara beragam. Keragaman
interpretasi terjadi tidak terlepas dari kondisi sosio-politik ketika itu serta
kepentingan yang bersangkutan. Secara sederhana, aneka tafsir dan keragaman
interpretasi itu dapat dipilah dalam empat versi.
Pertama, versi yang
menafsirkan Khittah 1926 sebagai ‘sterilisasi’ NU dari politik. Menurut versi
ini, dengan kembali ke Khittah 1926, kegiatan NU, semata-mata dicurahkan untuk
masalah-masalah pendidikan, sosial dan keagamaan. Dalam hal politik, warga NU
bebas memilih partai mana saja yang disukai, tanpa membawa-bawa NU. Tafsir
versi ini diaktuallisasikan oleh sebagian warga NU yang bergiat di bidang
pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan. Karena menurut versi ini NU sudah
disterilkan dari politik, maka mereka yang berperan sebagai pendukungnya pun
menjadi apolitis, bahkan nyinyir dengan segala hal yang beraroma politik. Versi
ini secara lugu, menafsirkan pesan di balik kembali ke Khittah 1926, seperti
menafsiri teks Khittah itu sendiri yang memang dirumuskan dalam bahasa yang
lugas. Tanpa disadari, keluguan mereka justru menjadi sasaran tarik-menarik
kelompok kepentingan politik yang ada di NU.
Kedua, versi yang memahami
Khittah sebagai perluasan ruang politik bagi para kader dan praktisi politik
NU. Dengan hapusnya keharusan mendudukung PPP secara resmi organisatoris,
berarti terbuka kesempatran bagi para praktisi politik NU untuk, secara bebas,
memasuki salah satu dari tiga organisasi politik yang ada ketika itu. Dengan
interpretasi ini, berpetualanglah para politisi NU ke Golkar atau PDI, di
samping juga ada yang tetap bertahan di PPP. Selanjutnya, dengan argumentasi
masing-masing, para petualang politik itu terlibat dalam kompetisi
memperebutkan pengikut sebanyak-banyaknya untuk bergabung dalam partai yang
jadi pilihannya. Tidak jarang mereka saling menyalahkan antas semua penafsir,
dalam rangka menarik pengikut sebanyak-banyaknya itu. Kelompok petualang
politik inilah yang biasanya memanfaatkan keluguan kelompok pertama.
Ketiga, versi yang memahami
Khittah 1926 sebagai kilah untuk keluar dari PPP tapi bukan untuk memasuki
organisasi politik yang lain. Kelompok pendukung versi ini, justru menghendaki
NU tampil sebagai partai tersendiri, lepas dari ketiga partai yang telah ada.
Bagi kelompok ini, kembali ke Khittah 1926 adalah ungkapan kekecewaan terhadap
PPP yang “tidak tahu diri” itu. Mereka jengkel, karena andil terbesar bagi
kebesarn PPP jelas dari NU, namun yang terjadi dalam tubuh PPP justru
de-NU-isasi. Pendirian kelompok ini untuk tidak masuk ke Golkar atau PDI,
adalah karena dalam pendangan mereka, kedua partai tersebut bukan partainya umat
Islam. Sedang panafsiran mereka bahwa Khittah adalah langkah awal untuk menjadi
partai, itu lebih karena mereka terlalu “sadar diri”, bahwa sebagai organisasi
massa yang telah “berumur”, yang telah banyak makan asam garam kehidupan
politik praktis, serta didukung kekuatan massa yang solid dan mengakar ke
bawah, NU sangat potensial untuk tampil sebagai partai tersendiri. Pengalaman
dalam pemilu tahun 1955, atau pemilu pertama Orde Baru tahun 1971, cukup
membuktikan kebesaran NU sebagai partai. Bahwa kenyataannya, tidak menjelma
sebagai partai tersendiri segera setelah dekrit kembali ke Khittah 1926, adalah
karena terhalang sistem dan peraturan kepartaian yang diterapkan pemerintah.
Kelompok pendukung versi inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok “Khittah
plus”.
Versi keempat,
adalah kelompok yang memahami tekad kembali ke Khittah 1926 sebagai keluarnya
NU dari aktivitas politik praktis yang dimanifestasikan baik melalui PPP,
Golkar maupun PDI. Hampir sama dengan versi pertama, dalam hal politik kelompok
ini memahami bahwa secara individual warga NU bebas menyalurkan aspirasinya,
melalui salah satu dari tiga partai politik yang disukainya, tanpa membawa-bawa
NU. Bahkan untuk memilih golput sekalipun, secara organisatoris, NU tidak
berhak melarang atau menganjurkannya. Bedanya, kalau versi pertama memahami Khittah
sebagai sikap apolitis, sebagai upaya sterilisasi NU dari segala yang beraroma
politik secara total, maka kelompok keempat ini, menginterpretasi pesan di
balik kembali ke Khittah 1926, sebagai penarikan diri NU dari gelanggang
aktivitas politik formal, untuk membangun kekuatan politik yang lebih
substansial. Karena, pada dasrnya penegasan kembali ke Khittah 1926 itu sendiri
sudah merupakan keputusan politik.
Menurut
versi ini, kembali ke Khittah 1926 adalah keinginan untuk anpolitical-politics,
politik yang tidak politik. Artinya, politik yang bergerak di luar sistem resmi
yang dibangun oleh penguasa saat itu. Dengan demikian, kembali ke Khittah 1926
sesungguhnya merupakan keputusan yang sangat politis. Bahkan memiliki bobot
politik yang jauh lebih berarti, ketimbang sekadar menjadi partai politik
tersendiri. Hanya saja, politik di sini adalah dalam arti yang terkait dengan
upaya pemberdayaan masyarakat. Jika didefinisikan, politik yang dikehendaki
oleh penafsiran versi keempat ini adalah “politik kultural”. Dalam frame
politik kultural ini, NU harus ditampilkan sebagai organisasi sosial
kemasyarakatan inklusif yang programnya diorientasikan pada civil society
empowerment, pada upaya pemberdayaan masyarakat.
Ini berarti,
kembali ke Khittah 1926 adalah sebuah kerja besar. Yang tidak akan selesai
dalam waktu satu atau dua periode kepengurusan di NU. Kelompok pendukung versi
keempat ini umumnya adalah kaum muda NU yang memulai tahap sosialisasi
ke-NU-anya dalam tahun-tahun delapan puluhan. Mereka bersosialisasi dalam
atmosfir maraknya gerakan-gerakan mahasiswa, demonstrasi buruh dan petani,
gerakan penegakkan hak-hak azasi manusia dan gerakan demokratisasi, gerakan
protes terhadap pencemaran lingkungan dan sebagainya.
Kebanyakan
mereka adalah kaum santri yang kemudian masuk perguruan tinggi dan berkenalan
dengan teori-teori sosial modern. Sehingga, visi keislaman mereka bersifat
inklusif. Mereka menampilkan wajah Islam yang, bukan hanya tidak sama dengan
para orang tua mereka, tetapi juga berbeda dengan rekan kaum muda di luarnya. Dengan gerakan yang ditampilkan
melalui LSM-LSM atau kelompok-kelompok diskusi kecil, meraka memperlihatkan
wawasan kerakyatan dan keindonesiannya yang menonjol.
Tentu saja
semua versi di atas adalah benar, jika standar penilaiannya adalah argumentasi
masing-masing kelompok pendukung dari keempat versi tersebut. Juga tidak
selayaknya, dihadirkan standard baku untuk menguji keabsahan beragam
interpretasi tersebut. Kendati demikian, versi yang terakhir, nampak lebih
prospektif dan memberi keuntungan dalam
arti yang luas, baik bagi NU sendiri maupun bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Karena, di samping memahami Khittah 1926 sebagai politik kultural
untuk pemberdayaan masyarakat yang didasari idealisme serta relatif bersih dari
kepentingan sesaat, kelompok
pendukungnya kebanyakan juga terdiri dari kaum muda potensial. Yang perlu
dipertanyakan adalah sejauh manakah kelompok muda pendukung versi keempat itu
bertahan dalam pertarungan memperebutkan makna pesan di balik Khittah 1926. Dan
lebih penting dari semua, seberapa kuatkah mereka dapat bertahan
“memperjuangkan” idealismenya itu.
C. Kembali ke Gerakan
Kultural
Gagasan
kembali pada Khittah NU 1926 adalah sebuah gagasan besar. Untuk merealisasikan
butuh waktu panjang dan menuntut keterlibatan semua pihak secara
sungguh-sungguh. Sayang, segera setelah Muktamar Situbondo 1984 NU kembali
dilanda konflik internal. Salah satu penyebabnya adalah belum tuntasnya
penyelesaian konflik antara pihak yang menghendaki perubahan besar di NU dengan
pihak yang menghendaki status quo. Konflik ini berkepanjangan, menghabiskan
satu periode kepengurusan PBNU. Penyebabnya, disamping penafsiran terhadap makna
Khittah masih sangat beragam, pihak yang sebelum Muktamar Situbondo menghendaki
status quo masih belum sepenuhnya dapat menerima hasil Muktamar. Sebagai wujud
penolakan, pihak pro status quo, baik yang berada dalam struktur PBNU maupun
yang di luar tetap mencoba menggunakan pengaruh politiknya untuk mengharu-biru
kerja PBNU hasil Muktamar 1984.
Desember
1989, NU kembali menggelar Muktamar. Kali ini yang ke-28 dan dilaksnakan di
Yogyakarta. Forum muktamar digunakan untuk mengevaluasi kegagalan program dan
kepengurusan PBNU 1984-1989, sebagai basis untuk menyusun program serta
kepengurusan PBNU 1989-1994. Dalam muktamar ini duet KH. Ahmad Siddiq dengan KH
Abdurrahman Wahid, kembali diberi amanat untuk memimpin PBNU. Selanjutnya Duet
Ahmad Siddiq-Gus Dur, menyusun kepengurusan yang terdiri dari kawan-kawan yang
dipandang bisa bekerja sama. Dengan mempertimbangkan kemacetan PBNU periode
sebelumnya, komposisi PBNU lebih akomodatif. Beberapa orang dari pihak
penentang perubahan yang dipandang dapat bekerja sama dilibatkan dalam
kepengurusan.
Formasi PBNU
hasil Muktamar Krapyak, berusaha menerjemahkan Khittah NU 1926 dalam
kegiatan-kegiatan konkrit. Di antaranya adalah pendirian BPR NU yang
bekerjasama dengan Bank Summa. Melalui kerjasama ini, selain mendapat modal
pertama untuk perbankan, NU juga memperoleh kesempatan mengirimkan
kader-kadernya untuk dilatih sebagai tenaga perbankan. Ini berarti, di samping
mendapat keuntungan materi, NU juga diuntungkan dengan proses alih teknologi/pengetahuan
di bidang perbankan. Selain kerjasama dengan Summa, NU juga menjalin hubungan
dengan swasta-swasta lain, yang hampir semua diarahkan pada perwujudan
program-program kongkrit.
Dampak yang
langsung terasa dari reorientasi gerakan NU pasca deklarasi kembali ke khittah
1926 adalah maraknya kembali aktivitas sosial, dakwah, keagamaan dan pendidikan
di lingkungan NU. Mulai dari tingkat pusat sampai tingkat ranting, pengurus dan
warga NU merasakan adanya berbagi kemudahan dalam menjalankan berbagai aktivitas
dan program NU. Lebih dari itu, juga bantuan material dan syiar kegiatan.
Sekolah-sekolah yang semula menyembunyikan identitas ke-NU-annya, kembali
menampakan diri. Begitu juga dengan kader-kader NU, terutama yang duduk di
birokrasi atau kaum profesional dan pengusaha, yang semula sembunyi, kini
berani unjuk diri sebagai orang NU. Bahkan tidak sedikit pula orang-orang yang
sengaja mendekatkan diri pada NU demi satu tujuan atau kepentingan tertentu.
Bersamaan
dengan mulai semaraknya kegiatan-kegiatan NU di berbagai level kepengurusan,
PBNU juga terus mencoba membangun jaringan dengan berbagai kekuatan strategis
yang ada di Indonesia. Hasilnya, berdirilah berbagai lembaga otonom dan
LSM-LSM, baik yang secara terang-terangan mencatumkan identitas NU, maupun yang
“disamarkan”. Ketika badan-badan otonom dan lembaga-lembaga tersebut mulai
dapat berjalan sendiri, PBNU yang kala itu mulai terpersonifikasi dalam figur
Abdurrahman Wahid, mencoba bekerja pada aras lebih tinggi, melakukan lobi-lobi
tingkat nasional dan internasional. Selain dimaksudkan untuk memperluas
jaringan NU, juga untuk mencari funding yang mengalirkan dana bagi
LSM-LSM NU. Bersamaan dengan itu PBNU juga mulai menata kelembagaan NU untuk
menunjang program-program yang digagas.
Ketika konsolidasi
pengurus dan penataan intern organisasi telah berjalan rapi, PBNU mulai
menampakkan obsesi besarnya; memberdayakan masyarakat akar rumput sebagai
persyaratan suatu demokratisasi di segenap ranah kehidupan. Obsesi itu
diaktualisasikan antara lain dalam bentuk sikap kritis kepada penguasa yang
mempertahankan satus quo, serta segala bentuk kemapanan lain. Di samping itu,
melalui berbagai sikap dan pengembangan wacana, Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
yang menjabat Ketua Umum PBNU mencoba menampilkan Islam inklusif. Semua ini
dimaksudkan untuk meletakkan keberadaan NU sebagai sebuah kekuatan masyarakat
yang solid dalam menghadapi tekanan dari atas (baca: kekuasaan Negara)
sekaligus lembut serta penuh toleransi dalam merespon eksistensi sesama (baca:
budaya atau agama lain). Dengan demikian, kehadiran NU dapat dirasakan
manfaatnya oleh siapapun, termasuk oleh masyarakat non Muslim.
Contoh cukup
menonjol terkait dengan obsesi ini adalah sikap Gus Dur ketika terjadi
pembrendelan Tabloid Monitor. Saat hampir semua pemuka Islam larut dalam
kemarahan masa, Gus Dur tetap kritis terhadap umatnya sendiri. Ketersinggungan
oleh kesembronoan dan kenekatan Tabloid Monitor “menghina” Muhammad, sekadar
untuk sensasi atau menambah oplah tidak menghilangkan daya kritis. Gus Dur
tetap mengecam reaksi berlebihan umat Islam, sambil mempertanyakan, “Mana Islam
yang berarti cinta kasih terhadap sesama manusia; kenapa pada kasus Monitor ini
ditunjukkan sikap Islam yang membenci?” Tindakan Gus Dur ini mendapat dukungan
dari KH. Ahmad Siddiq, Rois Aam PBNU yang dikemukakan melalui ungkapan
tradisional, menggunakan medium bahasa-bahasa Islam, seperti ukhuwwah islâmiyyah,
ukhuwwah wathaniyyah dan ukhuwwah basyariyyah, untuk memberi
legitimasi keagamaan bagi kebenaran tindakan-tindakan Gus Dur.
Contoh lain
yang juga menonjol adalah sikap menolak bergabung dalam ICMI di saat hampir
semua tokoh Muslim menyambut gembira dengan berbondong-bondong memasuki wadah
baru yang didirikan oleh pemerintah akhir tahun 1990 itu. Gus Dur justru
melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan arus umum, mendirikan Forum
Demokrasi yang di dalamnya, bergabung orang-orang sekuler dan tokoh-tokoh non
muslim, sambil mengkritik ICMI sebagai perwujudan sikap sekteranisme dan
elitis. Memang sikap ini harus dibayar oleh sebagaian warga NU yang
berpandangan beda. Tetapi itu lebih baik, demi kepentingan lebih luas,
kepentingan warga NU secara keseluruhan yang dalam strata sosial, berada pada
gugusan paling dasar.
Forum
Demokrasi yang di dalamnya bergabung tokoh-tokoh kritis dari berbagai kalangan
mengajak berpikir kritis dan bersikap inklusif. Hasilnya adalah sebuah
perlindungan tidak langsung pada kaum muda NU, yang haus akan
pemikiran-pemikiran kontemporer dan terbiasa bersikap kritis baik dalam
masalah-masalah agama, maupun dalam melihat fenomena politik. Generasi terbaru
NU yang dalam menafsiri pesan Khittah, berada pada versi keempat itu, memang
membutuhkan ruang tersendiri. Karena idealisme yang menjiwai mereka, adalah
modal potensial untuk obsesi besar, pemberdayaan masyarakat untuk demokratisasi
di senegap bidang kehidupan. Hasil lebih jauh adalah bermunculannya kader-kader
muda NU yang relatif independen dan memiliki keberpihakan yang jelas dalam
melakukan aktivitas-aktivitas transformasi sosio kultural.
Memasuki
tahun 1990-an, reposisi gerakan sosial NU yang makin kentara mengarah pada
upaya pemberdayaan civil society vis a vis negara, mulai mendapat
tanggapan berbeda. Sebagian kalangan NU merasa bahwa PBNU yang sudah
terpersonifikasi dalam diri Gus Dur, telah terlalu jauh melangkah, menjadi
oposisi terhadap kekuasaan negara. Sementara sebagian kalangan melihat inilah
jati diri NU yang sebenarnya, menjadi pembela rakyat dalam berhadapan dengan
kekuatan negara. Kalangan pertama didominasi oleh kelompok birokrasi dan
tokoh-tokoh NU yang baru menampakkan diri kembali pasca deklarasi khittah,
sedang kalangan kedua didominasi oleh generasi NU tahun delapan puluhan yang
mendapat pengayoman dari para ulama NU yang tidak terlibat dalam politik
praktis. Perbedaan ini semakin mengental dan mengarah pada lahirnya faksi-faksi
di NU. Puncaknya mengemuka dalam Muktamar NU ke-29 di Cipasung - Jawa Barat, 1
s/d 5 Desember 1994. Saat itu muncul pertentangan terbuka antara barisan Gus
Dur yang didukung kaum muda dan kekuatan civil society dari berbagai kalangan
di luar NU, berhadapan dengan barisan pengkritik Gus Dur yang didukung kalangan
birokrasi.
Pada
akhirnya, Muktamar kembali memilih Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah
PBNU berduet dengan KH. Ilyas Ruchiat sebagai Rois Aam, meski tanpa
“restu” pemerintah. Akibatkan PBNU periode 1994 -1999 berjalan pincang. Namun
dalam kepincangan ini, PBNU di bawah kepemimpinan Gus Dur tetap mengambil
posisi dan sikap kritis dalam berhadapan dengan Negara. Bahkan manuver-manuver
politik yang dilakukan pada periode ini semakin variatif dan tidak terprediksi.
Hal itu terus berlanjut hingga akhir kepengurusan, bersamaan dengan mulainya
gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto, penguasa Orde Baru selama
lebih dari tiga puluh tahun.
D. Membangun Skoci
Politik
Pertengahan
tahun 1997 Indonesia dilanda krisis moneter sangat dahsyat. Krisis Moneter ini
berlanjut pada pada krisis ekonomi yang bangunannya memang rapuh. Dan lebih
lanjut menjalar pada krisis politik dan krisis kepercayaan. Krisis multidimensi
ini mendorong lahirnya gerakan reformasi yang berujung pada penyerahan jabatan
Presiden oleh Soeharto kepada Wakilnya, BJ. Habibie, tanggal 21 Mei 1998.
Sehari setelah peristiwa ini berdatangan usulan kepada PBNU agar NU mendirikan
Partai atau berubah menjadi partai. Ada juga yang langsung mengusulkan lambang
atau nama parpol yang akan dibentuk. Di antara pengusul itu ada Lajnah Sebelas
Rembang yang diketuai oleh KH M. Cholil Bisri dan PWNU Jawa Barat.
Menyikapi
berbagai usulan yang masuk, PBNU bersikap hati-hati, mengingat Muktamar NU
ke-27 di Situbonbo menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait
dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis.
Sikap hati-hati PBNU dianggap kurang memuaskan sebagian pengusul. Mereka yang
tidak sabar dengan sikap PBNU langsung menyatakan berdirinya parpol untuk
mewadahi aspirasi politik warga NU setempat. Di antaranya ada yang mendirikan
Partai Bintang Sembilan, ada pula Partai Kebangkitan Umat.
Pada
akhirnya PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriah dan tanfidziyah PBNU tanggal 3
Juni 1998 dan memutuskaan membentuk Tim Lima dengan tugas menampung aspirasi
warga NU. Selanjutnya, untuk memperkuat posisi dan kemampuan Tim Lima, melalui
Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah PBNU diputuskan dibentuk Tim Asistensi
yang beranggotakan sembilan orang. Tanggal 22 Juni 1998, Tim Lima mengadakan
rapat untuk mndefinisikan dan mengelaborasi tugas-tugasnya. Setalah mengadakan
serangkaian pertemuan, antara lain tanggal 26-28 Juni 1998 di Cipanas tim ini
merumuskan rancangan awal pembentukan parpol, dan menghasilkan rancangan:
Pokok-pokok Pikiran NU mengenai Reformasi Politik, Mabda’ Siyâsiy,
Hubungan Partai Politik dengan NU, AD/AT Partai, dan Naskah Deklarasi. Tanggal
4-5 Juni 1998 diadakan Silaturrahmi Nasional Ulama dan Tokoh NU di Bandung guna
memperoleh masukan yang lebih luas dari warga NU. Dalam kesempatan ini muncul
tiga alternatif nama parpol, yakni Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat, dan
Kebangkitan Bangsa. Setelah melalui diskusi dan verifikasi, pada tanggal 30
Juli 1998 tim lima menyerahkan hasil-hasil rancangannya kepada PBNU dalam Rapat
Harian tanggal 22 Juli 1998. Alhasil, partai yang diharapkan dideklarasikan
dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tangga 23 Juli 1998 di kediaman
KH. Abdurrahman Wahid di Ciganjur Jakarta Selatan. Meski telah mendeklarasikan
berdirinya sebuah partai, PBNU tetap mengingatkan bahwa warga NU tetap diberi
kebebasan untuk bergabung dengan partai manapun, dengan tetap menjaga institusi
NU sebagai ormas keagamaan (Jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah), yang
secara organisatoris tetap independen dan tidak terkait dengan parpol manapun.
Berdirinya
PKB sebagai partai yang diposisikan sebagai salah satu skoci dari prahu Induk
NU, nampaknya dianggap sebagai harapan baru oleh sebagian kalangan NU, terutama
yang dalam menafsiri Khittah masuk dalam barisan versi ketiga. Bahkan, tidak
sedikit kalangan muda NU yang semula menafsiri khittah sebagai anpolitcal-politics,
masuk dalam barisan ini. Apalagi setelah melalui Sidang MPR hasil Pemilu 1999,
PKB berhasil mendudukkan KH. Abdurrahman Wahid di kursi Presiden RI. Namun
sebagimana hukum besi politk yang menegaskan ketidakabadian dunia politik,
belum sampai dua tahun menjadi Presiden, Gus Dur kembali dilengserkan oleh kekuatan-kekuatan
yang dulu menaikkannya bersama PKB. Kenyataan ini menjadi bahan refleksi
mendalam bagi kepengurus NU pasca Abdurrahman Wahid, agar tetap mampu menjaga
keutuhan bangunan besar NU sebagai kampung halaman yang teduh mengayomi semua
anak-anak NU yang kembali setelah ber-musafir ke berbagai arah. Wa Allâh A’lam.
[ ]
[3]Di
antara yang hadir dalam pertemuan 31 Januari 1926 di rumah KH. A. Wahab
Hasbullah yang melahirkan kesepakatan berdirinya NU adalah: KH. M. Hasyim
Asy’ari, Tebuireng-Jombang, KH. Bisri Syansuri, Denanyar-Jombang; KH. R.
Asnawi, Kudus, KH. Nawawi, Pasuruan; KH. Ridwan, Semarang; KH. Maksum, Lasem;
KH. Nahrawi, Malang; H. Ndoro Muntaha (menantu KH. Kholil Bangkalan-Madura); KH
Hamid Faqih, Sedayu-Gresik; KH. Abdul Halil, Leuwi Munding-Cirebon; KH. Ridwan
Abdullah, KH. Mas Alwi, KH. Ubaid, ketiganya dari Surabaya; Syaikh Ahmad Ghanaim
al-Mishri, Mesir; dan beberapa nama lain yang tidak tercatat. Lihat: KH. Abdul
Halim, sejarah perjuangan KH. Abdul Wahab, (Bandung: Baru 1970) Hal.
13-14.
[4]Lihat: Daliar Noer, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 242-245.
[5]Andree Feillard, NU
vis-à-vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, Maret
1999), hal. 11-12.
[6]Konsep santri yang
dimaksud di sini secara sosiologis adalah masyarakat Islam tradisi yang terikat
dalam kehidupan patron-klien dengan ulama sebagai patronnya. Mereka ini
tidak hanya orang yang secara langsung pernah belajar di pesantren, tetapi juga
mencakup pengusaha, petani, pendidik, dll.
[7]Dalam dokumen resmi NU
maupun buku-buku yang ditulis para tokoh NU, Ahlussunnah wal Jama’ah didefinisikan
sebagai orang-orang yang dalam hal fiqh mengikuti salah satu ajaran dari
empat mazhab besar, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; dalam bidang
tawhîd menganut ajaran Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi; dan dalam kehidupan tashawuf, mengikuti ajaran Imam Abu Hamid
Al-Ghazali dan Imam Junayd al-Baghdadi. Lihat Bab I buku ini.
[8]Bahwa argumentasi
keharusan bermazhab juga didasari pertimbangan epistemologis, dapat dilihat
dalam seruan Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam artikel berjudul ‘al-Muwazza’ah’
(ajaran yang keras). Kutipan (terjemah) selengkapnya: “Wahai para ulama dan
sahabat sekalian yang takut kepada Allah, dari golongan Ahlussunnah Waljama’ah,
dari golongan yang menganut mazhab Imam empat! Engkau sekalian adalah
orang-orang yang telah menuntut ilmu pengetahuan agama dari orang-orang yang
hidup sebelum kalian dan begitu juga seterusnya, dengan tidak gegabah dalam
memilih seorang guru, dan dengan penuh ketelitian pula kalian memandang seorang
guru di mana kalian menuntut ilmu pengetahuan dari padanya. Maka, oleh karena
menuntut ilmu pengetahuan, memang dengan cara demikian itulah, maka sebenarnya,
kalian yang memegang kunci bahkan menjadi pintunya ilmu pengetahuan agama
Islam. Oleh karenanya apabila kalian memasuki suatu rumah, hendaknya melalui
pintunya. Dan barang siapa memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya, maka ia
dikatakan seorang pencuri”. Lihat Panji Masyarakat, tahun I no 5/15
Agustus 1959.
[10] Chirul Anam, Pertumbuhan
dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Jatayu Sala, 1985), hal. 88
[11] Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam di Indonesia tahun 1900-1942.
[12] Berita Nahdlatul
Ulama, tahun IV no. 16 (15 Juni 1973), hal. 13-14
[13]http://ldnu.org/fatwa/arsip/000341.shtml.
Dalam situs ini tertulis bahwa Muktamar NU ke-11 itu dilakukan tahun 1933. Yang
benar, jika muktamar berlangsung setahun sekali dan pertama dilakukan Oktober
1926, adalah tahun 1936.
[15]Harry J. Benda, The
Crescent and the rising Sun Indonesia; Islam Under the Japanese Occupation
1942-1945, terjemahan Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya 1979 ), hal 155.
[16]H. Anas Thahir et al.,
Kebangkitan umat Islam dan peranan NU di Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1980), hal. 126.
[17]Harry J. Benda, Op. cit., hal . 171.
[18]Endang Saefuddin
Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung: 1983), hal. 13.
[19]Saefuddin Zuhri, Guruku
Orang-orang dari Pesantren, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1977), hal. 206
[22]Chalid Mawardi, Pratik
Politik NU, (Jakarta Yayasan Pendidikan, tt.).hal. 27.
[23]Maksoem Mahfoed, Kebangkitan
Ulama dan Bangkitnya Ulama, (Surabaya; Yayasan Kersejahteraan Umat, 1982).
hal. 90-91.
[26] Achmad Fachruddin, Gus
Dur dari Pesantren ke Istana Negara, (Jakarta: Yayasan Gerakan Amaliah
Siswa), hal. 6.
[27]H. Abdul Basit Adnan, Kemelut
di NU Antara Kyai dan Politisi, (sala: CV.
Mayasari, 1980). hal. 53-54
[28]A. Samsuddin, Sari
Berita dan Pendapat: Pemilian Umum 1971, (Jararta: Lembaga Pendidikan dan
konsultasi Pers, 1972), hal. 158-159.
[29]Mahbub Djunaidi, “NU
bagaikan Ayam Pulang ke Pautan“, Kompas, Mei 1975.
[30] KH Muchit Muzadi dalam
seminar “Meneguhkan Kembali Khittah Menuju NU Masa Depan”, Jakarta,
27-29 Juli 2002. Menurut Kiai Muchith, interpretasi ini disampaikan oleh KH
Idham Chalid atas nama PBNU.
[31] Waktu itu yang ditugasi
untuk menemui KH Ahmad Shiddiq adalah salah satu Ketua Panitia Muktamar, alm.
Bapak KH Munasir (saat itu menjadi Sekjen PBNU). Ceramah KH Muchith Muzadi, 27—29 Juli 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar