Minggu, 04 Maret 2012

NAHDHATUL ULAMA DAN POLITIK


BAB III

NAHDHATUL ULAMA DAN POLITIK

Secara resmi, keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam kancah politik praktis (sebagai partai politik) dilakukan sejak tahun 1953 sampai 1973. Namun demikian, bukan berarti peran politik NU hanya terbatas dalam dekade tersebut. Sebelum dan sesudah masa itu, tidak sedikit kegiatan NU yang dampak politiknya justru lebih monumental. Bahkan, ketika NU menjadi bagian penting dari Masyumi (pra NU parpol) dan saat NU masih secara resmi menyalurkan aspirasi politiknya melalui Partai Persatuan Pembangunan (pasca NU parpol), juga merupakan periode–periode penting untuk diungkap. Pada masa pra dan pasca NU sebagai parpol, eksistensi organisasi yang dimotori kaum pesantren, dengan dukungan masa dari masyarakat Islam tradisional sempat dilanda krisis identitas. Berbagai dampak negatif maupun positif akibat lamanya NU terjun dalam politik praktis merupakan alasan utama mengapa masa-masa tersebut penting untuk ditilik.
Tulisan ini secara khusus mencoba memaparkan potret pengalaman dan peran politik NU dalam panggung sejarah Indonesia. Pengertian politik dalam tulisan ini mencakup spektrum yang luas. Mulai dari politik sebagai strategi memperjuangkan idealisme, politik menyikapi keadaan luar yang pengaruhnya tidak terhindarkan, politik untuk survive, politik mengembangkan masyarakat dan mempengaruhi kebijakan, sampai politik dalam arti mengontrol maupun meraih dan mempertahankan kekuasaan dalam kehidupan bernegara. Karena luasnya spektrum yang dicakup, tulisan ini bisa dianggap sebagai rekaman sejarah perjalanan NU dengan perspektif politik.
Untuk memudahkan pembacaan, tulisan ini dipilah dalam tiga bagian. Bagian pertama menilik peran politik NU sebelum menjadi partai politik. Bagian ini mencakup rentang waktu mulai masa-masa menjelang kelahiran NU sekitar dasawarsa duapuluhan sampai masa-masa awal kemerdekaan Indonesia tahun 1946. Bagian kedua mengungkap masa-masa NU terjun dalam kancah politik praktis, yang mencakup masa ketika mulai muncul bibit-bibit perselisihan antara NU dengan kaum modernis dalam tubuh partai Masyumi sekitar tahun 1947, sampai masa akhir kepemimpinan Soekarno, akhir tahun 1960-an. Bagian Ketiga menyoroti masa-masa NU kembali sebagai jam’iyyah, yang mencakup periode transisi NU dari partai polilik kembali menjadi organisasi sosial keagamaan di awal-awal konsolidasi Orde Baru, tahun 1970-an, sampai saat NU mendirikan partai yang terpisah dari NU, di tahun 1998.

A. Masa Pra Partai Politik
1. Akar-akar Gerakan Politik NU
            Melalui pembacaan terhadap sejarah para tokoh pendiri NU ketika bergerak dalam berbagai wadah yang menjadi cikal bakal NU, dapat ditelusuri akar-akar gerakan politik NU hingga ke pangkal abad XX. Aktivitas para tokoh yang di kemudian hari menjadi pendiri NU dalam merespon masalah kebangsaan di masa-masa awal pembentukan nasionalisme Indonesia merupakan gambaran hal itu. Di tahun 1913, sekelompok pemuda pelajar di Makkah yang tidak pernah melepaskan perhatian pada perkembangan di tanah air mendirikan Syarikat Islam (SI) Cabang Makkah. Inisiatif pendirin itu didorong oleh ketertarikan pada gerakan rakyat, dan melihat gelora perjuangan organisasi tertua di tanah air ini. Ketuanya adalah Raden Asnawi dari Kudus, dan sekretarisnya A. Wahab Hasbullah dari Jombang. Di antara mereka yang turut bergabung dalam SI Cabang Makkah, terdapat nama Abbas asal Jember, dan Dahlan dari Kartosono. Mereka yang bergabung dalam kelompok tersebut semua berasal dari kalangan kaum pesantren di tanah air yang di kemudian hari menjadi penggerak berdirinya NU. Yang tidak mau langsung diajak adalah Bisri Syansuri karena menunggu perkenan dari sang guru, KH. M. Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang. Sayang, belum sampai perkenan yang diharapkan diperoleh perkumpulan SI di tingkat cabang itu lebih dahulu bubar karena Perang Dunia I pecah tahun 1914, dan para mukimin banyak yang terpaksa pulang.[1]
Sepulang dari Makkah, KH. A. Wahab Hasbullah tidak tinggal diam. Jiwa organisasi yang melekat dalam dirinya mendorong Kyai muda itu mengambil inisiatif, mendirikan sebuah badan sebagai wadah perjuangan. Guru beliau, KH. M. Hasyim Asy’ari, berhasil diyakinkan akan kegunaan badan tersebut. Sehingga, di tahun 1918 berdirilah usaha koperasi (syarîkah al-‘inân) yang dinamai Nahdhatut Tujjar (kebangkitan para usahawan). Meskipun sulit melacak berita kegiatannya, namun melalui dokumentasi anggaran dasarnya dapat diketahui bahwa badan ekonomi ini telah menghimpun modal patungan yang cukup besar.[2]
Pada tahun 1920, KH. A. Wahab Hasbullah memutuskan tinggal di Surabaya. Di sini KH. A. Wahab Hasbullah bertemu dengan kawan lamanya dari SI Cabang Makkah, yaitu KH. Dahlan dari Kertosono dan KH. Raden Asnawi, yang kebetulan, oleh pemerintah kolonial dibuang ke Surabaya karena diketahui memimpin pemogokan buruh pada salah satu pabrik rokok di Kudus. Mereka bertiga mendirikan kelompok kajian yang anggotanya terdiri dari para santri, dan mereka namai klub Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran). Ikut bergabung dalam klub tersebut Kyai Mas Mansyur yang, kemudian hari dikenal sebagai salah satu dedengkot Muhammadiyah. Dari kelompok diskusi ini, lahir madrasah Nahdhlatul Wathan (kebangkitan tanah air). Dan di paroh kedua dasawarsa tigapuluhan, kelompok itulah yang, dengan dukungan beberapa ulama terkemuka kalangan pesantren lainnya, menjadi pengambil karsa mendirikan NU, di bawah pengoyaman guru mereka, KH. M. Hasyim Asy’ari.[3]
 
2. Membentuk Komite Hijaz
Sebelum secara resmi mendeklarasikan berdirinya NU, para tokoh pendiri NU pernah membentuk sebuah lembaga ad hoc, yang diberi nama Komite Hijaz. Pembentukan komite ini dilatari dua peristiwa penting dalam bidang keagamaan, di mana yang satu bertaraf intrernasional, dan satunya bertaraf nasional. Yang bertaraf internasional adalah dihapuskannya kekhalifahan Islam oleh Turki tahun 1924 dan serbuan kaum Wahabi ke Makkah. Penghapusan kekhalifahan Islam menimbulkan masalah mengenai siapa yang menjadi penerus Khalifah Islam dunia: Kairo atau Makkah. Sedang serbuan ke Makkah dirasa sebagai masalah serius karena kaum Wahabi yang bekerja sama dengan Raja Ibn Sa’ud, penguasa baru Tanah Hijaz (sekarang Arab Saudi) berupaya membongkar habis segenap praktek-praktek bermazhab, sebagai bagian dari gerakan pembaharuan. Sementara, pada level nasional, gerakan pembaharuan kaum Wahabi yang salah satunya dilembagakan dalam Muhammadiyah juga mulai menguat dan secara frontal mengusik kemapanan tradisi keberagamaan yang telah mengakar di Indonesia.
Menghadapi keadaan ini, kalangan ulama pesantren merespon melalui berbagai cara. Di antaranya dengan mengadakan pertemuan dengan para tokoh Islam dari beragam kalangan di Yogyakarta (Agustus 1925) dan Cianjur (Januari 1926). Namun di hampir setiap pertemuan, forum didominasi kelompok pembaru. Suara ulama kalangan tradisi tidak pernah mendapat perhatian serius. Sehingga, di bawah prakarsa KH. A. Wahab Hasbullah, ulama kalangan pesantren itu mengadakan pertemuan tersendiri di Surabaya. Salah satu hasilnya, menyepakati untuk segera mengirim utusan ke tanah Hijaz, menemui Raja ‘Abd Allah ibn Sa’ud untuk mengizinkan praktek-prakter bermazhab. Karena belum ada organisasi formal yang memiliki legitimasi untuk mengirim utusan, dibentuklah Komite Hijaz sebagai wadah utusan tersebut. Tanggal 31 Januari 1926, kembali diadakan pertemuan di Surabaya dan menyepakati pembubaran Komite Hijaz bersamaan dengan diproklamirkannya kelahiran NU.[4]
Karena berbagai persoalan teknis, pengiriman delegasi ke Hijaz baru dilaksanakan dua tahun kemudian. Mandat yang dibawa untuk diserahkan kepada Raja ibn Sa’ud berisi permintaan mengenai “kebebasan bermazhab”, dengan “dilakukan giliran antara imam-imam salat Jum’at di Masjid al-Haram”; tetap diizinkan masuknya kitab-kitab karangan Imam al-Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lain; tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah seperti tempat kelahiran Siti Fatimah; serta meminta penjelasan mengenai kepastian tarif naik haji serta penjelasan tertulis mengenai hukum yang berlaku di negeri Hijaz. Pada akhirnya permintaan yang berkaitan dengan empat mazhab dikabulkan oleh raja dalam surat balasannya, sedangkan mengenai hal lainnya tidak ditanggapi sama sekali.[5]
Dari peristiwa Komite Hijaz ini tergambar bahwa organisasi NU merupakan pengembangan dari Komite Hijaz dan merupakan hasil pengembaraaan kegiatan kaum muda pesantren. Dari Sarikat Islam cabang Makkah, mereka mengambil watak gerakan kerakyatan, sebagai benih NU. Kemudian, diformat dalam bentuk gerakan ekonomi kooperatif, dengan nama Nahdlatut Tujjar (kebangkitan usahawan). Selanjutnya meski masih dibatasi oleh intelektualitas kaum santri, janin NU itu dibawa dalam pengembaraan intelektual melalui klub Tashwirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) untuk membincangkan berbagai persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan. Lalu meningkat menjadi gerakan pendidikan rakyat dan dilembagakan dalam bentuk Madrasah Nadhlatul Wathan (kebangkitan tanah air). Baru kemudian, berpuncak pada Nadlatul Ulama (kebangkitan para ulama), sebagai sebuah organisasi paripurna yang menghimpun elemen-elemen terkemuka masyarakat santri ketika itu: ulama, usahawan, pendidik, pemimpin serta tokoh masyarakat dan pemikir agama.[6]

3. Politik Menyikapi Modernitas
Kelahiran NU dalam wujud jam’iyyah (organisasi) kemasyarakatan dan keagamaan pada 31 Januari 1926, sebenarnya merupakan upaya institusionalisasi atas gerakan kerakyatan, gerakan ekonomi dan gerakan pendidikan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai keagamaan yang tetap menancapkan akarnya pada tatanan tradisi. Ini berarti, kehadiran NU merupakan upaya pelembagaan atas gerakan transformasi sosial masyarakat Islam tradisional yang meliputi segenap sendi-sendi terpenting tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan. Kelahiran NU dalam wujud organisasi formal itu juga merupakan upaya institusionalisasi terhadap kultur keagamaan yang telah mapan selama beberapa-abad dalam bentuk pesantren. Upaya tersebut, tidak lepas dari kondisi sosial yang melingkupi bangsa Indonesia ketika itu.
Pada permulaan abad XX, kaum pesantren dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit di bidang pendidikan. Saat itu ada tantangan pendidikan sistem sekolah yang diprakarsai pemerintah kolonial yang, meski dikenal sebagai perwujudan politik etis, sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administratif pemerintah kolonial. Kehadiran sekolah sebagai salah satu bentuk institusi modern ini merupakan hal baru yang bisa bermakna peluang sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Bagi kaum pesantren, kehadiran institusi asing ini mendatangkan pertanyaan, haruskah pesantren memalingkan muka dari sistem sekolah? Ataukah pesantren ditinggalkan kemudian dibuat sekolah-sekolah model Belanda?
Para tokoh pendiri NU merumuskan jawaban arif dalam bentuk kompromi. Pesantren tetap dipertahankan tapi sistem sekolah agama di kembangkan di dalamnya. Dengan mengambil nama madrasah, sistem sekolah itu dikembangkan secara massif, untuk menghadapi tantangan pendidikan sekular dari Barat. Ini berarti ada kesamaan pendapat di antara kalangan pemimpin pesantren, yakni; melakukan akomodasi selektif terhadap tantangan kuat dari luar. Tidak mengherankan jika di kemudian hari mereka juga dapat menerima gagasan membuat organisasi modern sebagai alat pengikat kerja sama antara mereka. Bentuk kerja organisatoris formal dapat mereka terima, karena di dalamnya mereka dapati hal-hal yang menguntungkan. Akan tetapi, bagaimanapun juga penerimaan yang mereka lakukan berwatak selektif. Akibatnya adalah ketidaktuntaskan bangunan organisasi yang mereka dirikan itu, jika ditilik dari teori organisasi modern. Namun cukup membuktikan bahwa kaum pesantren pada dasarnya, tidak alergi terhadap format-format baru dari modernitas. Hanya saja, sikap hati-hati dan daya resistensi, acapkali menjadikan mereka selektif dalam merespon segala bentuk pembaharuan.


4. Politik Tranformasi Sosio-Kultural
Sebagai sebuah gerakan kerakyatan, NU dengan sadar memilih kelompok Islam tradisional sebagai basis perjuangannya. Hal ini dapat diketahui dengan melihat para pemrakarsa pendiri NU maupun orientasi gerakan awalnya yakni kaum pesantren, yang merupakan benteng Islam tradisional di Indonesia. Saat itu, pesantren yang notabene adalah lembaga pendidikan tertua dan paling mengakar di Tanah Air, telah menjadi pusat pendidikan masyarakat. Sosok ulama pemimpin pesantren yang umumnya figur kharismatik semakin memperkokoh keberadaan pesantren serta menempatkannya sebagai lembaga pernaungan, tempat masyarakat dari berbagai lapisan sosial mengadukan beragam problem kehidupan. Dari kondisi sosio-kultur macam ini, pada gilirannya terbentuk masyarakat Islam tradisional patron-klien dengan ulama sebagai patronnya.
Pengertian Islam tradisional dalam tulisan ini adalah masyarakat Islam yang secara sadar mengikatkan diri, dengan pikiran-pikiran para ulama fiqh (hukum positif Islam), hadîst, tafsîr, tawhîd (teologi Islam) dan tashawwuf (mistisisme Islam) yang hidup antara abad ke VII sampai XIII Masehi. Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat Islam tradisional terbelenggu dengan pikiran-pikiran dan aspirasi yang diciptakan oleh para ulama abad-abad tersebut. Memang benar, pendapat sebagian para pengikut Islam modern yang menyatakan bahwa, dalam beberapa hal tertentu, kalangan Islam tradisional mengalami kemandegan. Setidak-tidaknya, sangat sedikitnya rumusan resmi dari Islam tradisional yang mengalami perubahan sejak abad XII hingga XIX cukup kuat untuk membenarkan pendapat tersebut. Akan tetapi dalam kenyataanya dapat kita lihat bahwa struktur dasar dari kehidupan keberagamaan masyarakat Islam tradisional telah mengalami perubahan yang mendalam. Dan sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat-masyarakat agama pada umumnya, proses perubahan itu membuahkan kekuatan ekspansi yang tersalur dalam berbagai bentuk aktivitas. Semakin meningkatnya jumlah pengikut para kyai sejak masuknya Islam ke Indonesia sampai dasawarsa-dasawarsa awal abad XX, menjadi salah satu bukti bahwa Islam tradisional memiliki vitalitas, suatu kekuatan sosio-kultural dan keagamaan yang tidak mungkin beku dan tidak mengalami perubahan. Pandangan konservatif para kyai, ternyata bukannya menghasilkan sistem sosial yang statis, tetapi justru menjadi penggerak transformasi sosial, di mana perubahan-perubahan di lakukan secara pelan-pelan dan melalui tahap-tahap yang sulit di cermati.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa Islam tradisional yang terlembagakan dalam jam’iyyah NU, meski kelihatannya demikian statis dan terbelenggu kuat oleh pikiran-pikiran ulama abad pertengahan, ternyata mengalami perubahan yang fondemental. Hanya saja perubahan tersebut demikian rumit dan demikian dalam tersimpan sehingga tidak terlihat secara langsung meski fenomena-fenomenanya telah tampak di depan mata. Sekadar contoh kecil, dapat disebutkan di sini, bahwa praktek-raktek ritual keagamaan yang semula dituduh sebagai perbuatan bid’ah, syirik dan khurafat oleh kalangan pembaru, kini makin sulit ditemukan di lingkungan NU. Malah sebaliknya beberapa amalan keagamaan yang semula khas milik NU ternyata, setelah terbukti manfaat sosialnya, tidak lagi menjadi monopoli NU tetapi juga dipraktekkan oleh hampir setiap aliran, ataupun organisasi keagamaan yang ada di Indonesia. Bahkan kini, menjadi sangat sulit membedakan mana yang Islam tradisional dan mana yang modernis-pembaharu, jika yang menjadi ukuran adalah tradisi ritual keagamaan.
Politik transformasi sosio kultural ini sangat nampak ketika para tokoh pendiri NU merumuskan paham Ahlussunnah wal Jama’ah (ahl al-sunnah wa al-jama’âh). Prosesnya berlangsung amat panjang, terhitung sejak masa-masa awal masuknya Islam di tanah Air, sampai masa-masa awal masuknya gerakan pembaruan kaum Wahabi di negeri ini. Rumusan Ahlussunnah wal Jama’ah yang khas Indonesia[7] ini menunjukkan adanya pilihan model gerakan, yaitu politik transformasi sosiao kultural. Keharusan bermazhab bagi umat Islam jelas bukan karena fanatisme terhadap otoritas para a’immah al-madzâhib (ulama pemimpin mazhab) semata tetapi juga didasari pandangan komprehensif serta kajian epistemologi, bagaimana struktur ilmu pengetahuan dibangun.[8]
Selain dalam bidang keagamaan, transformasi sosiokultural juga dijalankan melalui gerakan ekonomi. Semenjak masa-masa awal kelahirannya, NU yang ketika masih janin, pernah berbentuk badan ekonomi, yakni Nahdatut Tujjar telah mencurahkan perhatian terhadap kondisi ekonomi bangsa Indonesia. Bahkan, dalam Peraturan Dasar NU, secara eksplisit dinyatakan bahwa di antara kegiatan usaha NU, adalah mendirikan badan-badan perdagangan[9]. Bidang perniagaan menjadi pilihan NU dalam upaya membangun ekonomi kerakyatan karena perdagangan merupakan bentuk usaha yang paling menguntungkan dan paling mungkin ketika itu. Di samping itu juga karena banyaknya anggota NU yang memiliki usaha berniaga. Selain itu, para kyai pemimpin pesantren, juga tidak sedikit yang memiliki usaha niaga, di samping banyak bertani. Sebab meskipun mengajar adalah kegiatan utama, tetapi para kyai pemimpin pesantren tidak menjadikan profesi mendidik sebagai sarana mencari nafkah.
Cukup banyak langkah yang dilakukan NU di masa-masa awal berdirinya dalam perniagaan ini. Di antaranya, dan yang terbesar adalah pada tahun 1929, di Surabaya didirikan Cooperatie Kaoem Moeslimin (CKM) yang dipimpin oleh Kyai Abdul Halim, seorang anggota Syuriyah. Menyusul kemudian koperasi Syirkah Tijâriyyah (koperasi niaga) yang menjual produk-produk keperluan sehari-hari seperti beras, gula, kopi, rokok, sabun dan minyak. Model kerjanya, yang kemudian hendak diterapkan di semua Koperasi NU adalah pembagian keuntungan dengan proporsi; 40% keuntungan untuk penjual, 15% untuk pemilik modal, 25% ditambahkan pada modal pokok, 5% untuk juru komisi dan 15% untuk NU.[10]
Langkah lain yang secara resmi dilakukan NU dalam bidang ini adalah keputusan Muktamar di tahun 1930, untuk mendirikan Lajnah Waqfiyyah (badan wakaf) di setiap cabang NU dengan tugas utama mengurusi tanah-tanah wakaf. Walaupun tidak dapat dianggap sebagai suatu perusahaan, namun segi komersial dalam pengurusannya serta transaksi-transaksi yang dilakukan, seperti penjualan hasil tanah wakaf, tetap memiliki dimensi ekonomi. Memang sulit melacak seberapa jauh badan–badan ekonomi milik NU itu berhasil menjalankan usahanya. Namun, meskipun tercatat gagal rencana mengimpor sepeda dari Cina, tetapi berhasil mengimpor barang pecah–belah yang kemudian diberi tanda (cap) simbol NU.[11]
Upaya transformasi ekonomi sempat mengalami kemadegan ketika NU menjadi partai politik. Baru pada tahun 1973, gerakan ekonomi NU kembali bangkit yang, di antaranya, ditandai dengan pendirian satu badan khusus, Lajnah Waqfiyyah NU, yang diberi wewenang membeli dan menguasai tanah-tanah wakaf, berdasar atas asas Islam.[12] Dan di antara langkah-langkah NU yang secara kongkrit menyangkut kebijaksanaan dalam bidang ekonomi adalah didirikannya Syirkah Mu’âwanah (badan Koperasi pada setiap cabang NU, seperti yang dianjurkan salah seorang ketua NU, Kyai Machfudz Siddik, di tahun 1973. Semenjak itu, berdirilah uasah-usaha koperasi NU, antara lain di cabang Surabaya, Singosari, Bangilan dan Gresik. Dan pada tahun 1984 upaya transformasi sosial ekonomi merambah ke dunia perbankan dengan pendirin BPR-BPR di berbagai pelosok yang merupakan basis masa NU.
Upaya transformasi sosio kulktural tampak sangat nyata di bidang pendidikan, terutama pada masa-masa awal berdirinya NU. Hal ini karena gerakan pendidikan berkelindan dengan gerakan keagamaan. Ihwal seperti ini, cukup dapat dimengarti karena NU memang lahir dari kalangan pesantren, yang merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia, sekaligus juga menjadi benteng utama Islam di negeri ini. Di samping itu, kelahiran NU dalam bentuk organisasi, salah satunya bertujuan untuk melindungi pesantren, yang ketika itu tengah dihadapkan pada tantangan-tantangan berat, antara lain, dikembangkannya pendidikan sekuler oleh pemerintah kolonial Belanda. Pesantren juga menghadapi tantangan dari kalangan Islam sendiri, yaitu kelompok Islam modernis, yang turut serta menyerang lembaga-lembaga pesantren. Bahkan tantangan dari arah yang disebut terakhir itu, dirasa lebih berat, karena bukan hanya menyerang format pendidikan pesantren yang menurutnya kolot dan ortodok, tapi juga menuduh pesantren mengajarkan amalan-amalan agama yang dalam penilaiannya termasuk ajaran takhayul, khurâfât, syirik dan bid’ah.
Menghadapi tantangan dari dua arah, dengan berpegang pada prinsip “memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil hal baru yang labih baik”, NU tidak berpaling dari sistem sekolah sekular itu tapi mengambil jalan kompromi. Pesantren dipertahankan sedang sistem sekolah moderen dikembangkan di dalamnya. Sistem sekolah kelas dikembangkan secara masif untuk menghadapi tantangan pendidikkan sekuler barat di satu sisi, dan untuk memberi perimbangan bagi gerakan-gerakan pembaharu yang terkadang, mengusik kemapanan tradisi. Penerimaan terhadap sistem sekolah moderen tidak lain karena NU menemukan nilai positif dalam sistem yang baru dikenal itu. Meski demikian, materi-materi yang diajarkan tetap didasarkan pada kitab-kitab klasik. Merebaknya madrasah-madrasah Nahdlatul Wathan di masa-masa awal kelahiran NU adalah wujud nyata upaya transformasi sosial NU melalui penyelenggaraan pendidikan rakyat.

5. Membangun Nasionalisme Indonesia

Di luar upaya-upaya transformasi sosial dalam berbagai bidang yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, NU juga berperan penting dalam pembentukan sikap nasionalisme bangsa Indonesia. Dan hal itu sudah dilakukan semenjak awal tahun tiga puluhan, ketika Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda. Terkait dengan peran ini, salah satu sumbangan penting NU adalah keputusan Muktamar XI di Banjarmasin tahun 1936 yang menegaskan bahwa nama negara kita adalah Indonesia[13]. Keputusan yang berawal dari satu materi yang dikaji dalam Bahtsul Masa’il ad-Diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) dan dikaji dengan perspektif syari’at Islam ini, mempunyai dampak yang luar biasa terhadap proses pembentukan nasionalisme bangsa Indonesia. Hal itu karena keputusan ini paralel dengan gerakan kaum nasionalis sekuler bangsa Indonesia pada saat itu, sedang sangat membutuhkan dukungan dengan legitimasi kuat dari berbagai kalangan. Pengaruhnya jadi semakin signifikan karena keputusan Muktamar NU ini dilakukan di satu wilayah yang jauh dari pusat gerakan nasionalisme bangsa Indonesia.
Sumbangan lain terhadap pembentukan nasionalisme Indonesia yang tidak kalah penting adalah prakarsa NU di bawah inisiatif KH. A. Wahab Hasbullah tahun 1937 untuk membentuk Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebagai wadah perjuangan bersama bagi organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia ketika itu[14]. Melalui forum berbentuk konfederasi inilah, NU turut mendorong tuntutan terbentuknya parlemen bagi bangsa Indonesia di masa kolonial Belanda. Sampai pada akhirnya Belanda memenuhi tuntutan MIAI dan organisasi-organisasi lain yang tergabung dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia), dengan membentuk Volkraad (DPR buatan pemerintah Belanda), meskipun, karena pertimbangan agama, NU menolak duduk di dalamnya.

6. Pergerakan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Keterlibatan NU dalam pergulatan politik praktis, sebelum NU menjadi partai, bermula dari kehadiran tentara Jepang pada tahun1942, yang kemudian, menerapkan sistem pemerintahan militerisme otoriter di negeri ini. Kedatangan “saudara tua” di Tanah Air yang ketika baru tiba disambut mesra karena janjinya akan memberi kemerdekaan, ternyata justru lebih kejam dalam menindas. Segenap aktivitas tradisi kerakyataan bangsa Indonesia, termasuk organisasi keagamaan, dibekukan. Tidak ada lagi kegiatan yang melibatkan kumpulan orang, kecuali diawasi ketat serdadu Jepang. Dan sebagai gantinya, Jepang memperkenalkan tradisi Negeri Shinto, menghormat ke arah Matahari terbit, setiap pagi.
Praktek tradisi baru yang dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pengakuan tunduk terhadap Jepang tersebut dilakukan secara paksa, bahkan disertai kekejaman. Pemerintah militer Jepang, tidak ragu-ragu menyiksa orang-orang yang dianggapnya membangkang, bahkan memenjarakannya jika yang bersangkutan termasuk tokoh masyarakat. Seperti yang dialami KH. M. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, dan KH. Machfudz Siddik, seorang Ketua NU. Kedua tokoh ini diksiksa dan dijebloskan ke penjara Jombang selama empat bulan, hanya karena menolak mengikuti orang–orang Jepang, ber-saikere, memberi hormat kepada Tenno Haika, dengan cara membukuk, yang proposinya diyakini melanggar akidah Islam. Kendati pada akhirnya pemerintah Jepang mengoreksi kebijakan menyiksa orang–orang yang enggan ber-saikere, terbukti tidak lama kemudian budaya negeri matahari terbit itu dihapus, tetapi praktek kekejaman di awal kedatanganya itu, cukup membuktikan totaliterianismenya kekuasaan pemerintah militer Jepang.[15]
Kekejaman-kekejaman itu menjadi pelajaran bagi para pemimpin NU untuk merumuskan langkah–langkah setrategis lebih lanjut dalam merebut kemerdekaan yang diprediksi telah berada di ambang pintu. Ketika Jepang menerapkan pendekatan persuasif, NU menyambutnya dengan tangan terbuka. Berpegang pada petuah Nabi, al-harb kaidah (perang adalah muslihat), tokoh–tokoh NU mencerdiki Jepang melalui sikap lunak. NU menerima kerja sama dengan Jepang sebagai rule of the game, atau yang di kalangan pesantren dikenal dengan istilah yahannu (akal cerdik menghadapi lawan).[16] Tidak mengherankan jika pada masa kolonial Belanda NU menolak duduk dalam Volkraad (Parlemen bikinan pemerintah Belanda), tetapi pada masa pemerintahan Jepang tokoh–tokoh NU bersedia diangkat menjadi anggota Chau Sangi-in, Badan Legeslatif buatan Jepang. Dengan strategi ini NU melakukan pendekatan pada pemerintah Jepang. Hasilnya, September 1943 Jepang mengizinkan aktifnya kembali NU dan beberapa organisasi Islam lainnya.[17]
Selang satu bulan setelah dibebaskannya kembali aktivitas berorgainsasi, pada Oktober 1943, NU mengajak ormas Islam lainya, memprakarsai pembentukan Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).  Badan yang dimaksudkan sebagai federasi bagi organisasi–organisasi Islam yang lebih dikenal dengan Masyumi itu lahir sekaligus untuk menggantikan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang bubar bersamaan dengan masuknya Jepang. Kepeloporan NU dalam mendirikan Masyumi, membuat para tokoh NU ditempatkan pada posisi menentukan di badan federasi itu. Pimpinan tertinggi Masyumi dipercayakan kepada KH. M. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, sedang para wakilnya diambil dari NU, Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya.
Di bawah kepemimpinan KH. M. Hasyim asy’ari yang juga anggota Chau Sangi-in, Masyumi berhasil melakukan lobi–lobi politik terhadap penguasa Jepang dan sukses membangun jaringan pergerakan perjuangan dengan kelompok–kelompok nasionalis. Melalui lobi politik ini, Masyumi berhasil membentuk pasukan Hizbullah (hizb Allâh) untuk angkatan muda yang keanggotaannya terdiri dari para santri sebagai perwakilan dari NU, perutusan organisasi Islam lain yang tergabung dalam Masyumi. Menyusul kemudian, dibentuk pasukan Sabilillah (sabîl Allâh) untuk barisan para ulamanya. Keberhasilan Masyumi mempersiapkan dua barisan pasukan perang ini tidak lepas dari kecerdikan diplomasi KH. Hasyim Asy’ari dengan politik yahannu-nya. Dengan dalih sebagai konsesi permintaan Jepang membentuk tentara PETA (Pembela Tanah Air), beliau mengajukan izin kepada pemerintah Jepang, untuk membentuk pasukan tersebut, sekaligus minta dikirim pelatih. Kalau PETA dilatih Jepang untuk dikirim ke Burma atau kepulauan Pasifik, maka dengan alasan ‘masih belum terlatih’, KH. M. Hasyim Asy-ari mempertahankan barisan Hizbullah-Sabilillah, hanya untuk pasukan cadangan. Diplomasi politis yang diajukan pimpinan Masyumi itu berhasil mengelabuhi Jepang. Betul sebagai cadangan, tetapi bukan untuk melawan pasukan Sekutu, seperti dipahami pihak Jepang. Melainkan cadangan menunggu moment untuk merebut senjata dari tangan Jepang.
Masih dengan strategi yahannu, ketika Shumbu (Kantor Agama ciptaan Jepang) mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat pada tahun 1944, para tokoh NU tidak tinggal diam. KH A. Wahid Hasyim mengambil prakarsa menyelesaikan krisis tersebut. Hingga ketika melalui konperensi penghulu se-Jawa di Jakarta, Dr. Djojodiningrat mengundurkan diri dari jabatan Shumubu-cho (Kepala Kantor Agama), KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Masyumi yang juga Rois Akbar NU, diangkat Jepang mengisi kekosongan jabatan tersebut.
Di tengah keasyikan memainkan strategi yahannu-nya melalui Masyumi itu, NU tetap sadar bahwa Jepang adalah penjajah. Dan kemerdekaan, kendati telah dijanjikan Jepang, tidak akan diberikan cuma-cuma. Kemerdekaan tetap harus direbut melalui perjuangan. Dari kesadaran ini, tokoh-tokoh NU semisal KH. A. Wahid Hasyim, terus melakukan kontak, membangun jaringan dengan kalangan Nasionalis untuk berjuang bersama merebut kemerdekaan. Hingga ketika terdengar berita Jepang mulai terdesak oleh tentara Sekutu, di awal tahun 1945, tekanan-tekanan para tokoh pergerakan terhadap Jepang juga semakin gencar. Hasilnya pada tanggal 29 April 1945, dibentuk Dokoritsu Zyubi Tyoosakai (Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) beranggotakan 62 orang dan salah satunya KH. A. Wahid Hasyim.[18] Beliau juga termasuk salah satu dari panitia sembilan yang merumuskan Dasar Negara, yang kemudian lebih dikenal dengan Piagam Jakarta.[19] Setelah Jepang terusir dan Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, KH. A. Wahid Hasyim dipercaya sebagai Menteri Negara.
Setelah proklamasi, ternyata perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia masih terus berlanjut, justru memasuki masa yang dikenal dengan zaman revolusi. Sumbangan penting NU pada masa ini adalah seruan jihad untuk melawan kembalinya bangsa Belanda yang datang membonceng pasukan Sekutu. Seruan yang lebih dikenal dengan Resolusi Jihad ini ditandatangani oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Resolusi ini menyerukan kepada setiap muslim dengan status wajib ‘ayn (keharusan tanpa kecuali) bagi yang berada dalam radius 94 km dari lokasi musuh (tentara Belanda) dan dengan status wajib kifâyah (keharusan dengan perwakilan sesuai kebutuhan) bagi yang berada diluar radius 94 km, untuk berperang melawan Belanda. Dampak nyata dari resolusi ini adalah berkobarnya pertemperun 10 Nopember 1945 di Surabaya, yang di kemudian hari dimonumenkan sebagai Hari Pahlawan.[20] Karena perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia terus berlanjut, isi seruan dalam Resolusi Jihad dikukuhkan melalui keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946 di bawah judul “Hukum Memerangi Tentara Musuh yang Sudah Ada di Tengah-Tengah Kita”.[21]

B.  Menjadi Partai Politik
1. Perselisihan dengan Kaum Modernis
Di antara hasil nyata yang diperoleh NU dari keterlibatan dalam percaturan politik praktis di masa pemerintahan Jepang adalah pencairan kembali aktivitas NU yang sempat dibekukan oleh Jepang; dan kelahiran Masyumi sebagai badan federasi berbagai organisasi Islam yang ada ketika itu; terbentuknya barisan Hizbullah–Sabilillah; aliansi dengan kaum pergerakan dari kalangan Nasionalis dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan untuk memperjuangkan kebebasan menjalankan agama serta untuk mewujudkan kemerdekaan rakyat dan bangsa. Bahwa kemudian tokoh-tokoh NU mendapatkan jabatan politis, adalah suatu konsekuensi sejarah. Itulah masa bulan madu NU dengan ormas Islam lain di dalam Masyumi.
Penting untuk ditekankan di sini, bahwa meskipun NU merupakan pendiri sekaligus unsur terpenting Masyumi, tetapi eksistensi NU tidak lantas melebur di dalamnya. NU tetap mantap dengan keberadaan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan, meskipun di daerah-daerah, banyak pengurus cabang NU merangkap sebagai pengurus cabang Masyumi. Itulah kondisi ideal yang dikehendaki NU, dengan mempertahankan kehadiran Masyumi sebatas sebagai badan federasi. Dengan posisi ini, NU dapat mengambil peran aktif turut membangun bangsa secara kongrit, tanpa kehawatiran akan mengabaikan agenda besarnya, tranformasi sosio-kultural masyarakat Islam tradisional.
Sayang, kondisi seperti itu tidak bertahan lama. Kurang lebih dua bulan setelah kemerdekaan, melalui kongres Masyumi di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945, sekelompok “intelektual” yang didukung beberapa tokoh Masyumi non NU, merekayasa badan federasi itu, menjadi partai politik. Tentu saja perubahan Masyumi menjadi partai politik, terkait erat dengan agenda kaum “intelektual” tersebut dalam melihat peluang politik di negara yang baru merdeka itu. Ketika itu para tokoh NU ditempatkan dalam Majelis Syura yang notabene berada pada posisi tertinggi dalam struktur kepengurussan partai, namun dalam prakteknya, fatwa dan pertimbangan majelis syura tidak lebih dari kumpulan nasehat yang tidak lagi diperlukan. NU yang tidak terbiasa dengan sikap ekstrim, oposisi binner serta sejenisnya, dan hanya akan memperlihatkan sikap tersebut ketika sistem di lingkungan NU menghendakinya, masih dapat menahan ketidakadilan yang menimpanya dalam tubuh Masyumi. Sayangnya, konsistensi NU itu justru dimanfaatkan para elit politik Masyumi. Di saat NU bersikap lunak dan akomodatif, elit politik itu segera menjarah keuntungan dari profil lunak itu. Dan ketika NU berdiri konsisten dengan sikap oposisi, elit politik Masyumi “berbelok” untuk kepentingan pribadinya.
Kondisi seperti ini dimungkinkan oleh suasana demokrasi liberal dengan sistem parlementer. Sistem yang menempatkan parlemen memiliki peranan penting, bahkan dapat menentukan nasib pemerintahan merupakan faktor yang mendorong prilaku para elit politik Masyumi itu. Parlemen yang keanggotaannya adalah wakil-wakil partai menjadi rebutan antara berbagai kelompok kepentingan yang ada, bahkan sering kali muncul pertentangan intern kelompok dalam merebut kursi parlemen. Sekedar contoh, ketika kabinet Syahrir menerima perjanjian Linggarjati, di kalangan Masyumi muncul dua kubu yang saling bertentangan. Kubu “Anti Perjanjin” yang di motori NU, berhadapan dengan kubu “pro perjanjian” yang dipelopori para elit politik Masyumi. NU menentang perjanjian karena melihat pihak Belanda yang selalu licik. Terbukti, meskipun pada akhirnya perjanjian tersebut ditandatangani, toh antara pihak Republik dengan pihak Belanda, tidak pernah ada kata sepakat. Justru reaksi dalam bentuk pertempuran melawan Belanda, muncul di hampir seluruh pelosok Indonesia. Hingga pada akhirnya, Syahrir meletakan jabatan perdana menteri, dan diganti oleh Amir Syarifuddin.
Semula, dengan pertimbangan konsistensi perjuangan, Masyumi memboikot kabinet Amir, yang dipastikan akan meneruskan langkah Syahrir menerima perjanjian Linggarjati. Namun melihat Partai Syarikat Islam Indosesia (PSII) yang memisahkan diri dari Masyumi tahun 1947 juga karena dikekecewakan, di bawah pimpinan Aruji Kartawinata dan Wondoamiseno tetap masuk dan mendapat enam kursi kabinet, elite politik Masyumi bersedia masuk dengan mendudukkan Mr. Syamsuddin sebagai wakil Perdana Menteri. Tentu saja sikap Masyumi itu mengecewakan NU Perbedaan inilah yang mulai membuka kekecewan NU terhadap elite politik Masyumi. Kekecewaan itu diperparah dengan perubahan aturan main organisasi yang mengabaikan asas demokrasi, seperti adanya anggota perorangan yang peranannya justru mengalahkan anggota istimewa. Lebih dari itu, kedudukan Majelis Syura yang didominasi NU, melalui muktamar IV 15-19 Desember 1949 di Yogyakarta, diubah menjadi Dewan Penasehat. Praktis, peranan NU dalam Masyumi berakhir.
Kekecewaan itu diperparah dengan arogansi para elite politik Masyumi terhadap NU dengan melontarkan sindiran-sindiran pedas, semisal; “Ulama tidak pada tempatnya mengenai soal-soal politik. Ulama lebih layak mengurusi langgar, mushalla, masjid atau pesantren”, dan sebagainya. Yang lebih membuat NU tidak bisa menerima adalah sikap politik yang melewati batas moral kemanusiaan dan keagamaan, seperti diperlihatkan Natsir ketika menjabat Perdana Menteri. Dalam rangka pemulihan keamanan, Natsir mengeluarkan seruan kepada pasukan DI/TII Kartosuwiryo, agar turun dari gunung, kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Natsir menjanjikan keamanan buat mereka dan akan memberi amnesti. Ternyata yang terjadi kemudian justru lebih fasis dibanding kabinet-kabinet sebelunya. Pasukan DI/TII dilucuti dan dijebloskan dalam penjara, hingga pemulihan keamanan di wilayah Jawa Barat berlarut-larut hinga tahun1964.[22]
Kelakuan elite politik Masyumi itu semakin mempercepat NU mencapai puncak kejengkelannya. Kondisi semacam ini masih terus berlanjut meskipun telah beberapa kali NU memberi peringatan, bahkan sesekali juga ancaman. Karena kondisi di tubuh Masyumi telah melampui batas untuk ditolerir, maka melalui surat keputusan PBNU tanggal 5 April 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi secara organisatoris, di samping mengusulkan agar Masyumi kembali menjadi Badan Federasi. Peryataan itu diperkuat dengan keputusan Muktamar ke-21 NU di Palembang, tanggal 28 April sampai dengan 1Mei 1952 yang mengubah jam’iyyah NU menjadi partai politik.[23]

2. Menjadi Bagian Penyelenggara Kekuasaan Negara
Dengan tampil sebagai partai tersendiri, kebesaran NU menjadi lebih nyata, baik dari segi jumlah massa pendukungnya maupun kualitas kader-kader politiknya. Dalam waktu sangat singkat, NU mampu mengembangkan sayap bidang geraknya, ke berbagai domain sosial, sekaligus merekrut beragam kader potensial. Masuknya Haji Djamaluddin Malik, seorang produser film kelahiran Medan yang terkenal sangat memperhatikan nasib bintang-bintang film, semakin menambah marak aktivitas partai NU. Karena jasa pemilik produser film “Persari” inilah NU memiliki Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi). NU juga berhasil membentuk Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dan Perkumpulan Tani Nahdlatul Ulama (Pertanu). Tentu saja disamping sebelumnya telah memilki organisasi-organisasi neven semisal Muslimat NU, Pemuda Anshar, Fatayat NU, dan IPNU-IPPNU.
Memang, maraknya gerakan NU di hampir segenap bidang kemasyarakatan itu juga karena didorong eksternal, tuntutan persaingan antar partai yang ada pada saat itu. Apalagi demokrasi parlementer yang liberal juga menuntut pemerintah berlaku adil dengan memberi kebebasan kepada setiap partai yang ada, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang pada saat itu dipahami sebagai partai anti Tuhan. Kehadiran PKI yang gegap gempita baik dalam menyusun barisan pendukung maupun dalam propaganda-propagandanya mendorong partai-partai lain, terutama yang berhaluan agama untuk menandingi dengan membentuk barisan-barisan sepadan. Ini salah satu faktor eksternal yang mempercepat pembesaran partai NU.
Karena cepatnya perkembangan ini, NU dapat tampil di panggung politik dengan lebih percaya diri, lebih independent dan bisa secara langsung mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintahan. Keberadaan NU di parlemen juga memiliki posisi cukup kuat sehingga dapat berperan maksimal dalam pengambilan keputusan di DPRS. Salah satu keputusan penting NU yang secara signifikan berpengaruh sangat luas adalah ketika di Parlemen berlangsung perdebatan tentang wali hakim setelah salah satu Partai Islam, Perti, menolak Peraturan Menteri Agama nomor 4 tahun 1952 yang mengatur kewenangan Departemen Agama sebagai wali hakim.[24] Sebagai upaya mendukung argumentasi di Parlemen, melalui Munas Alim Ulama di Cipanas tanggal 2-7 Maret 1954 NU menghukumi kedudukan Presiden RI (Ir. Soekarno) sebagai “Waliyul Amri Dharuri bissyaukah" (penguasa pemerintahan secara darurat sebab kekuasaanya). Keputusan Munas ini kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU ke-20 di Surabaya tanggal 9-14 September 1954.[25]
Sebenarnya persoalan ini muncul dilatari oleh persoalan syariat agama, yakni terkait dengan sahnya pernikahan yang menggunakan wali hakim. Dan keputusan yang diambil, sebagaimana telah menjadi  tradisi NU, didasarkan pada kaidah-kaidah agama yang menempatkan keadaan darurat sebagai keadaan yang memperkenankan segala. Akan tetapi dampak politiknya menjadi sangat besar, karena keputusan ini memberi legitimasi sangat kuat terhadap posisi Soekarno sebagai Presiden RI yang tengah menghadapi delegitimasi politik dan rongrongan dari berbagai arah menjelang Pemilu 1955. Dan jika menggunakan term politik modern, maka kondisi darurat dalam keputusan itu adalah kenyataan berkuasanya Ir. Soekarno secara de-facto sebagai Presiden, sebagaimana de-factonya keberadaan Negara Indonesia. Dampak politik lebih besar dari keputusan ini adalah semakin kuatnya posisi Soekarno sebagai Presiden serta menambah kedekatan NU dengan Soekarno dan Partai Nasinal Indonesia (PNI).
Kondisi menguntungkan ini membuahkan hasil cukup mengagumkan dalam Pemilihan Umum tahun 1955, Pemilu pertama Bangsa Indonesia. Dengan perolehan suara sebesar 18,4 persen NU tampil menjadi salah satu dari empat besar pemenang Pemilu (PNI 23.3%; Masyumi 20,9%; NU 18,4% dan PKI 16,4%).[26] Dengan perolehan ini, di parlemen para tokoh NU juga berperan signifikan dalam berbagai pengambilan keputusan. Sayangnya Parlemen pertama yang merupakan hasil pemilu sangat demokratis itu terjebak dalam perdebatan ideologis berlarut-larut di seputar penentuan Dasar Negara. Akibatnya banyak hal penting terbengkelai, sampai akhirnya Presiden Soekarno mendapat legitimasi politik yang kuat untuk membubarkan Parlemen melalui dekrit 5 Juli 1959. Semenjak itu Indonesia masuk kekuasaan otoritarianisme demokrasi terpimpin. Dan karena kedekatan dengan Soekarno serta aliansi strategis yang dibangun dengan PNI, NU menjadi bagian dari kekuasaan itu.

3. Kebesaran yang Semu
Dengan terlibat langsung dalam kekuasaan baik di legislatif (parlemen) maupun di pemerintahan, NU memiliki peranan cukup besar dalam penyelenggaraan Negara. Konsekuensinya kelembagaan Partai NU juga menjadi semakin besar dan diuntungkan secara ekonomis. Akan tetapi kebesaran itu sebenarnya bersifat semu dan dipaksakan jika dilihat lebih obyektif. Kehadiran orang-orang luar yang langsung menduduki posisi-posisi penting kepengurusan partai merupakan salah satu indikasi. Kalkulasi kekuatan sebenarnya tidak mengizinkan NU terjun dalam dunia penuh hingar bingar itu. Apalagi transformasi kultural dalam tubuh NU, masih sangat dini. Mayoritas warga NU, termasuk jajaran elitnya, masih belum mampu menerjemahkan doktrin-doktrin Aswaja yang selalu jadi dasar pijak dalam tataran praktis bernegara. Sekedar contoh, kehadiran Idham Cholid, politisi “lincah” kelahiran Kalimantan, dalam jajaran Pengurus Besar di awal NU menjadi partai, atau masuknya politisi muda berbakat Subhan ZE di tahun enam puluhan, cukup membuktikan keterbatasan sumber daya NU. Kedua politisi ini secara kultural dianggap bukan “kader kandung” NU karena berasal dari pesantren modern atau karena hasil didikan Barat. Tidak mengherankan jika dalam perjalanan, kedua tokoh ini acap kali “bentrok” dengan ulama-ulama pesantren, benteng utama NU.
Rekrutmen kader dari luar jika dikuantitatifkan, lebih besar ruginya dibanding keuntungan yang didapat. Diabaikannya nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang merupakan ideologi warga NU dan metodologi para ulama NU, adalah kerugian yang sulit dikalkulasi. Bertahannya Idham Cholid selama empat periode menjadi Ketua Umum PBNU, adalah karena kemampuan politisnya yang dapat “mengelabui” jajaran ulama sepuh. Dan akhir karir politik Idham Cholid di NU (tahun 1984), ditandai dengan mufâraqah (perceraian) dengan KH. As’ad Syamsul Arifin. Begitu pula dengan Subchan ZE, Ketua I PBNU pada masa Kiai Bisri Syansuri menjadi Rais ‘Aam. Di tahun 1972, politisi muda penuh bakat itu dipaksa keluar dari NU, karena prilakunya yang divonis telah menyimpang dari tata nilai yang berlaku di lingkungan NU.[27]
Semua itu baru sebagian kecil sisi negatif kehadiran NU sebagai partai politik. Akan semakin nampak kerugiannya, jika melihat social cost yang harus dibayar NU ketika menjadi partai. Terbengkalainya pendidikan, baik pesantren maupun madrasah-madrasah; tersisihnya waraga NU dari akses sosial adalah wujud kongrit biaya sosial yang harus dibayar untuk kepentingan segelintir elite politik, yang ternyata, orang-orang dari “luar” NU. Pengorbanan semacam ini dialami sepanjang sejarah perjalanan NU terjun dalam kancah politik praktis. Kerugian tersebut bukan hanya menimpa masyarakat awam warga NU tetapi juga kalangan elitnya.

4. Kembali Menjadi Organisasi Sosial Keagamaan
a) Transisi dan Krisis Identitas
Ketika Orde Baru mulai mencanangkan kekuasaan di akhir tahun enam puluhan, adalah kesempatan terbaik bagi NU untuk segera kembali menapaki rel aslinya, melanjutkan agenda besar, proyek kultural yang terbengkelai selama NU terjun  dalam dunia politik. Kenyataanya manisnya politik membius politisi NU, hingga momentum itu luput dimanfaatkan. Keberhasilan NU menjadi Partai Islam terbesar dalam pemilu pertama Orde Baru tahun 1971,[28] semakin memabukkan NU dalam keterbiusan itu. Akibatnya ketika Orde Baru memulai proyek besarnya, memangkas kekuatan massa melalui politik flooting mass-nya, yang diantaranya diwujudkan dalam fusi antara partai-partai yang sealiran ideologi, NU-pun larut dalam PPP. Meskipun Partai NU telah lenyap, tetapi, secara resmi-organisatoris, NU tetap mempercayai dan menyalurkan aspirasinya melalui PPP, partai yang sebenarnya, hanya simbol demokratisnya rezim Orde Baru.
Sepuluh tahun menjadi bagian dari PPP, adalah pengalaman pahit bagi NU, di sepanjang sejarahnya terjun dalam kancah politik praktis. Dalam tempo satu dasawarsa NU menyalurkan aspirasinya melalui partai Islam bikinan Orde Baru itu, hanya membuahkan kepedihan di segenap lapisan masyarakat NU. Kepedihan yang jauh lebih menyayat, sekalipun jika dibandingkan dengan akumulasi kegetiran yang dialami sepanjang usianya yang kini hampir mencapai tuju puluh tahun. Ketika bergabung dengan partai Masyumi acap kali NU dilecehkan oleh para elite politik partai yang diprakarsainya itu. Tetapi, peran strategis yang sempat diraih beberapa tokoh NU walaupun tidak melalui Masyumi, ataupun masih tetap terbukanya kesempatan mengurus NU dalam kapasitasnya sebagai organisasi sosial keagamaan, cukup melipur kekecewaan karena dilecehkan itu. Ketika berdiri sebagai partai tersendiri di masa Soekarno, meski tidak pernah mendapat posisi kunci, tetapi nasib Partai NU secara umum relatif lebih baik ketimbang Masyumi. Meski harus menyandang predikat oportunis, NU selalu mendapat jatah di Departemen agama, dari tingkat kementrian sampai tingkat kecamatan. Pengusaha-pengusaha NU, juga sering mendapatkan tender. Bahkan dari presiden Soekarno, NU juga memperoleh kavling tanah cukup luas di Jakarta maupuan hutan di Kalimantan. Dan kegagalan NU menduduki jabatan strategis bukan karena kekalahan politis, tetapi lebih disebabkan oleh tidak adanya kader potensial yang “asli “ NU untuk jabatan yang tersedia. Semua itu cukup menjadi pelipur ketidaksusesan NU menduduki posisi strategis di jajaran ekskutif .
Di saat memperkuat barisan PPP, kendatipun semua orang tahu bahwa andil terbanyak bagi kebesaran PPP adalah dari NU, tetapi suasananya justeru berbalik 180 derajat. Sedikit demi sedikit peranan orang-orang NU dalam partai hasil fusi itu tergusur. Orde Baru tidak mau lagi memberikan posisi bagi kader-kader NU. Bahkan, pemerintah men-dropping orang-orang ke dalam tubuh PPP dalam rangka peminggiran politisi-politisi asal NU yang terkenal vokal. Melalui Mintareja, Orde Baru menerapkan de-NU-isasi dalam tubuh PPP, yang kemudian dilanjutkan dengan kehadiran Naro, sebagai kuda hitam yang memegang kontrol langsung terhadap PPP. Tragisnya, peminggiran terhadap orang-orang NU ini bukan hanya dalam tubuh PPP, tetapi juga di aras luar politik yang jauh lebih luas. Pengusaha-pengusaha NU dijauhkan dari tender-tender pemerintah. Bahkan jika ketahuan ada swasta yang memberikan tendernya kepada orang NU, segera akan diberi peringatan. Praktis yang terjadi adalah kehilangan orientasi yang melanda segenap warga NU. Masyarakat warga NU menjadi limbung, kebingungan arah, dan kehilangan identitas.
Bahkan saat itu, seperti digambarkan Mahbub Junaidi, bukan warga NU yang tidak kenal lagi siapa dirinya, tetapi banyak pula pejabat pemerintah daerah yang tidak paham lagi ke mana NU lenyap. Kalau warga NU binggung akan status organisasi dan bidang garapanya, maka pejabat-pejabat daerah itu mengira NU sudah melebur seutuhnya dalam tubuh PPP. Singkatnya, NU sudah tidak ada. Kebinggungan warga NU tidak sebatas karena pemerintah mencurigai, bahkan mengharamkan segala aktivitas yang dengan kaca mata kekuasaan beraroma politik. Kehadiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai institusi keagamaan resmi pemerintah yang merebut ladang garapan asli NU, juga turut memperparah kebinggungan tersebut. Acara-acara kultural NU semisal maulidan, rajaban, bahkan sampai tahlilan yang merupakan kegiatan rutin dipersulit dengan keharusan melalui izin resmi aparat birokrasi yang prosesnya bertele-tele dan, biasanya, berujung dengan ketidakbolehan. Kegiatan-kegiatan semacam itu baru lancar ketika diprakarsai oleh MUI, yang seakan-akan pemegang hak tunggal segenap kegiatan keagamaan.[29]
Bukan hanya itu, pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan atau madrasah-madrasah yang diketahui milik NU juga bernasib sama. Jangankan mendapat subsidi, kegiatan sehari-harinya pun diawasi ketat. Pendeknya warga NU di seluruh bidang kehidupan; yang bertani, yang di birokrasi, yang wiraswasta, yang menjadi guru, yang memimpin pesantren, semuanya diposisikan sebagai warga negara kelas paling bawah. Bahkan, meskipun jelas-jelas tinggal di tanah sendiri, makan dari hasil keringat sendiri, beraktivitas sosial dengan biaya sendiri, dan pemerintah yang mengatur kehidupan mereka pun juga orang-orang dari bangsa sendiri (Indonesia), tetapi yang mereka rasa, bagaikan hidup di bawah kuasa kolonial, atau hidup di pengasingan.

b) Kembali ke Khittah NU 1926
Kondisi muram NU di awal hingga pertengahan Orde Baru seperti tergambar di atas membangunkan kesadaran generasi baru NU, generasi yang secara intelektual tumbuh di tahun tujuh puluhan. Mereka terpanggil bukan hanya untuk mengatasi kebuntuan NU, tapi juga membenahi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Generasi ketiga NU yang rata-rata lahir tahun lima puluhan ini melihat bahwa kemelut dan kemuraman yang melanda NU bukan karena faktor internal NU semata, tapi bersifat sistemik, karena salah penataan kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu berarti kesalahan kolektif bangsa Indonesia, karena ketika Orde Baru mulai menebar jaring kekuasaan, hampir semua komponen bangsa terlibat di dalamnya. Untuk membenahi kondisi ini tidak cukup dengan mengubah tatanan internal NU tapi harus dibuat langkah besar berefek ganda. Harus segera diambil sebuah terobosan baru yang dapat membangunkan kesadaran dalam diri NU, dan pada sisi lain berdampak luas terhadap penataan kehidupan bernegara. Hal itu sangat mungkin dilakukan NU karena potensi yang dimiliki serta peran kesejarahan yang pernah dilalui.
Jawaban cemerlang yang kemudian ditemukan adalah mengembalikan NU kepada Khittah (garis perjuangan) awal ketika didirikan pada tahun 1926, yakni eksistnsi NU sebagai jam’iyyah dîniyyah ijtimâ’iyyah, organisasi sosial keagamaan. Agar dampaknya meluas pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, penegasan untuk kembali pada Khitthah NU 1926 ini harus disertai sikap politik tegas yang menunjukkan visi baru NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegera. Rumusan yang kemudian ditemukan adalah pernyataan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk final Negara Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar dan ideologinya. Penegasan kedua keputusan monumental itu dilakukan dalam Muktamar NU ke-27 di Setubondo Desember 1984, setelah sebelumnya dirumuskan melalui Munas Alim Ulama NU 1983 di tempat yang sama.
Kedua jawaban tersebut sekilas tampak sederhana. Pada kenyataannya, proses menuju tekad baru ditempuh melalui jalan panjang berliku seiring dengan proses tarik-menarik kepentingan antara pihak yang menghendaki perubahan dengan pihak yang bersikeras mempertahankan status quo NU. Untunglah pihak yang disebut pertama, dikenal dengan Kubu Situbondo, cukup gigih dan ulet, sehingga pihak kedua, dikenal dengan Kubu Cipete, tidak mampu menahan laju generasi baru NU yang memamng memiliki pandangan luas dan visi yang jauh ke depan.
Sebenarnya dari segi ide, gagasan kembali Khittah NU tahun 1926 bukan sesuatu yang baru. Sejak NU mengubah diri menjadi partai politik di 1952, berbagai koreksi, kritik serta usulan telah muncul dalam upaya memurnikan gerakan kultural NU.  Pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta, 13 –18 Desember 1959, PC NU Mojokerto yang diwakili oleh KH Halimi menggulirkan gagasan perlunya NU kembali menekuni bidang sosial keagamaan atau model gerakan tahun 1926. Usulan itu muncul begitu saja tanpa ada penjelasan secara komprehensif tentang makna Khittah, meskipun beliau mengerti dan memahami maksud gagasannya itu. Akibatnya ide cemerlang ini hanya dianggap sebagai peringatan agar mengembalikan NU kepada semangat ubûdiyyah pada 1926.[30] Desakan agar NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan muncul kembali pada saat berlangsung Muktamar NU ke 26 di Semarang, 5 – 11 Juni 1979. Desakan yang sempat membesar dan menguat ini ternyata belum sampai menjadi agenda pembahasan. Gagasan itu ditindaklanjuti di luar bingkai Muktamar, yaitu dengan cara menugaskan KH. Achmad Shiddiq untuk mencetak gagasannya: Risâlah Khiththah Nahdliyyah dan dibagikan kepada peserta Muktamar.[31] Baru pada tahun 1980-an, ketika generasi baru NU yang gerah menyaksikan kesuraman NU di satu sisi, dan carut-marutnya kehidupan bernegara pada sisi yang lain, terus mendesak dengan berbagai upaya, moment bersejarah itu dapat diwujudkan.

c) Beragam Interpretasi Politik atas Khittah NU 1926
Trobosan besar NU dengan sikap tegas melalui Keputusan Muktamar untuk kembali pada Khittah 1926, di kalangan NU sendiri ditafsiri secara beragam. Keragaman interpretasi terjadi tidak terlepas dari kondisi sosio-politik ketika itu serta kepentingan yang bersangkutan. Secara sederhana, aneka tafsir dan keragaman interpretasi itu dapat dipilah dalam empat versi.
Pertama, versi yang menafsirkan Khittah 1926 sebagai ‘sterilisasi’ NU dari politik. Menurut versi ini, dengan kembali ke Khittah 1926, kegiatan NU, semata-mata dicurahkan untuk masalah-masalah pendidikan, sosial dan keagamaan. Dalam hal politik, warga NU bebas memilih partai mana saja yang disukai, tanpa membawa-bawa NU. Tafsir versi ini diaktuallisasikan oleh sebagian warga NU yang bergiat di bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan. Karena menurut versi ini NU sudah disterilkan dari politik, maka mereka yang berperan sebagai pendukungnya pun menjadi apolitis, bahkan nyinyir dengan segala hal yang beraroma politik. Versi ini secara lugu, menafsirkan pesan di balik kembali ke Khittah 1926, seperti menafsiri teks Khittah itu sendiri yang memang dirumuskan dalam bahasa yang lugas. Tanpa disadari, keluguan mereka justru menjadi sasaran tarik-menarik kelompok kepentingan politik yang ada di NU.
Kedua, versi yang memahami Khittah sebagai perluasan ruang politik bagi para kader dan praktisi politik NU. Dengan hapusnya keharusan mendudukung PPP secara resmi organisatoris, berarti terbuka kesempatran bagi para praktisi politik NU untuk, secara bebas, memasuki salah satu dari tiga organisasi politik yang ada ketika itu. Dengan interpretasi ini, berpetualanglah para politisi NU ke Golkar atau PDI, di samping juga ada yang tetap bertahan di PPP. Selanjutnya, dengan argumentasi masing-masing, para petualang politik itu terlibat dalam kompetisi memperebutkan pengikut sebanyak-banyaknya untuk bergabung dalam partai yang jadi pilihannya. Tidak jarang mereka saling menyalahkan antas semua penafsir, dalam rangka menarik pengikut sebanyak-banyaknya itu. Kelompok petualang politik inilah yang biasanya memanfaatkan keluguan kelompok pertama.
Ketiga, versi yang memahami Khittah 1926 sebagai kilah untuk keluar dari PPP tapi bukan untuk memasuki organisasi politik yang lain. Kelompok pendukung versi ini, justru menghendaki NU tampil sebagai partai tersendiri, lepas dari ketiga partai yang telah ada. Bagi kelompok ini, kembali ke Khittah 1926 adalah ungkapan kekecewaan terhadap PPP yang “tidak tahu diri” itu. Mereka jengkel, karena andil terbesar bagi kebesarn PPP jelas dari NU, namun yang terjadi dalam tubuh PPP justru de-NU-isasi. Pendirian kelompok ini untuk tidak masuk ke Golkar atau PDI, adalah karena dalam pendangan mereka, kedua partai tersebut bukan partainya umat Islam. Sedang panafsiran mereka bahwa Khittah adalah langkah awal untuk menjadi partai, itu lebih karena mereka terlalu “sadar diri”, bahwa sebagai organisasi massa yang telah “berumur”, yang telah banyak makan asam garam kehidupan politik praktis, serta didukung kekuatan massa yang solid dan mengakar ke bawah, NU sangat potensial untuk tampil sebagai partai tersendiri. Pengalaman dalam pemilu tahun 1955, atau pemilu pertama Orde Baru tahun 1971, cukup membuktikan kebesaran NU sebagai partai. Bahwa kenyataannya, tidak menjelma sebagai partai tersendiri segera setelah dekrit kembali ke Khittah 1926, adalah karena terhalang sistem dan peraturan kepartaian yang diterapkan pemerintah. Kelompok pendukung versi inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok “Khittah plus”.
Versi keempat, adalah kelompok yang memahami tekad kembali ke Khittah 1926 sebagai keluarnya NU dari aktivitas politik praktis yang dimanifestasikan baik melalui PPP, Golkar maupun PDI. Hampir sama dengan versi pertama, dalam hal politik kelompok ini memahami bahwa secara individual warga NU bebas menyalurkan aspirasinya, melalui salah satu dari tiga partai politik yang disukainya, tanpa membawa-bawa NU. Bahkan untuk memilih golput sekalipun, secara organisatoris, NU tidak berhak melarang atau menganjurkannya. Bedanya, kalau versi pertama memahami Khittah sebagai sikap apolitis, sebagai upaya sterilisasi NU dari segala yang beraroma politik secara total, maka kelompok keempat ini, menginterpretasi pesan di balik kembali ke Khittah 1926, sebagai penarikan diri NU dari gelanggang aktivitas politik formal, untuk membangun kekuatan politik yang lebih substansial. Karena, pada dasrnya penegasan kembali ke Khittah 1926 itu sendiri sudah merupakan keputusan politik.
Menurut versi ini, kembali ke Khittah 1926 adalah keinginan untuk anpolitical-politics, politik yang tidak politik. Artinya, politik yang bergerak di luar sistem resmi yang dibangun oleh penguasa saat itu. Dengan demikian, kembali ke Khittah 1926 sesungguhnya merupakan keputusan yang sangat politis. Bahkan memiliki bobot politik yang jauh lebih berarti, ketimbang sekadar menjadi partai politik tersendiri. Hanya saja, politik di sini adalah dalam arti yang terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Jika didefinisikan, politik yang dikehendaki oleh penafsiran versi keempat ini adalah “politik kultural”. Dalam frame politik kultural ini, NU harus ditampilkan sebagai organisasi sosial kemasyarakatan inklusif yang programnya diorientasikan pada civil society empowerment, pada upaya pemberdayaan masyarakat.
Ini berarti, kembali ke Khittah 1926 adalah sebuah kerja besar. Yang tidak akan selesai dalam waktu satu atau dua periode kepengurusan di NU. Kelompok pendukung versi keempat ini umumnya adalah kaum muda NU yang memulai tahap sosialisasi ke-NU-anya dalam tahun-tahun delapan puluhan. Mereka bersosialisasi dalam atmosfir maraknya gerakan-gerakan mahasiswa, demonstrasi buruh dan petani, gerakan penegakkan hak-hak azasi manusia dan gerakan demokratisasi, gerakan protes terhadap pencemaran lingkungan dan sebagainya.
Kebanyakan mereka adalah kaum santri yang kemudian masuk perguruan tinggi dan berkenalan dengan teori-teori sosial modern. Sehingga, visi keislaman mereka bersifat inklusif. Mereka menampilkan wajah Islam yang, bukan hanya tidak sama dengan para orang tua mereka, tetapi juga berbeda dengan rekan kaum muda  di luarnya. Dengan gerakan yang ditampilkan melalui LSM-LSM atau kelompok-kelompok diskusi kecil, meraka memperlihatkan wawasan kerakyatan dan keindonesiannya yang menonjol.
Tentu saja semua versi di atas adalah benar, jika standar penilaiannya adalah argumentasi masing-masing kelompok pendukung dari keempat versi tersebut. Juga tidak selayaknya, dihadirkan standard baku untuk menguji keabsahan beragam interpretasi tersebut. Kendati demikian, versi yang terakhir, nampak lebih prospektif dan memberi keuntungan  dalam arti yang luas, baik bagi NU sendiri maupun bangsa Indonesia secara keseluruhan. Karena, di samping memahami Khittah 1926 sebagai politik kultural untuk pemberdayaan masyarakat yang didasari idealisme serta relatif bersih dari kepentingan  sesaat, kelompok pendukungnya kebanyakan juga terdiri dari kaum muda potensial. Yang perlu dipertanyakan adalah sejauh manakah kelompok muda pendukung versi keempat itu bertahan dalam pertarungan memperebutkan makna pesan di balik Khittah 1926. Dan lebih penting dari semua, seberapa kuatkah mereka dapat bertahan “memperjuangkan” idealismenya itu.

C. Kembali ke Gerakan Kultural
Gagasan kembali pada Khittah NU 1926 adalah sebuah gagasan besar. Untuk merealisasikan butuh waktu panjang dan menuntut keterlibatan semua pihak secara sungguh-sungguh. Sayang, segera setelah Muktamar Situbondo 1984 NU kembali dilanda konflik internal. Salah satu penyebabnya adalah belum tuntasnya penyelesaian konflik antara pihak yang menghendaki perubahan besar di NU dengan pihak yang menghendaki status quo. Konflik ini berkepanjangan, menghabiskan satu periode kepengurusan PBNU. Penyebabnya, disamping penafsiran terhadap makna Khittah masih sangat beragam, pihak yang sebelum Muktamar Situbondo menghendaki status quo masih belum sepenuhnya dapat menerima hasil Muktamar. Sebagai wujud penolakan, pihak pro status quo, baik yang berada dalam struktur PBNU maupun yang di luar tetap mencoba menggunakan pengaruh politiknya untuk mengharu-biru kerja PBNU hasil Muktamar 1984.
Desember 1989, NU kembali menggelar Muktamar. Kali ini yang ke-28 dan dilaksnakan di Yogyakarta. Forum muktamar digunakan untuk mengevaluasi kegagalan program dan kepengurusan PBNU 1984-1989, sebagai basis untuk menyusun program serta kepengurusan PBNU 1989-1994. Dalam muktamar ini duet KH. Ahmad Siddiq dengan KH Abdurrahman Wahid, kembali diberi amanat untuk memimpin PBNU. Selanjutnya Duet Ahmad Siddiq-Gus Dur, menyusun kepengurusan yang terdiri dari kawan-kawan yang dipandang bisa bekerja sama. Dengan mempertimbangkan kemacetan PBNU periode sebelumnya, komposisi PBNU lebih akomodatif. Beberapa orang dari pihak penentang perubahan yang dipandang dapat bekerja sama dilibatkan dalam kepengurusan.
Formasi PBNU hasil Muktamar Krapyak, berusaha menerjemahkan Khittah NU 1926 dalam kegiatan-kegiatan konkrit. Di antaranya adalah pendirian BPR NU yang bekerjasama dengan Bank Summa. Melalui kerjasama ini, selain mendapat modal pertama untuk perbankan, NU juga memperoleh kesempatan mengirimkan kader-kadernya untuk dilatih sebagai tenaga perbankan. Ini berarti, di samping mendapat keuntungan materi, NU juga diuntungkan dengan proses alih teknologi/pengetahuan di bidang perbankan. Selain kerjasama dengan Summa, NU juga menjalin hubungan dengan swasta-swasta lain, yang hampir semua diarahkan pada perwujudan program-program kongkrit.
Dampak yang langsung terasa dari reorientasi gerakan NU pasca deklarasi kembali ke khittah 1926 adalah maraknya kembali aktivitas sosial, dakwah, keagamaan dan pendidikan di lingkungan NU. Mulai dari tingkat pusat sampai tingkat ranting, pengurus dan warga NU merasakan adanya berbagi kemudahan dalam menjalankan berbagai aktivitas dan program NU. Lebih dari itu, juga bantuan material dan syiar kegiatan. Sekolah-sekolah yang semula menyembunyikan identitas ke-NU-annya, kembali menampakan diri. Begitu juga dengan kader-kader NU, terutama yang duduk di birokrasi atau kaum profesional dan pengusaha, yang semula sembunyi, kini berani unjuk diri sebagai orang NU. Bahkan tidak sedikit pula orang-orang yang sengaja mendekatkan diri pada NU demi satu tujuan atau kepentingan tertentu.
Bersamaan dengan mulai semaraknya kegiatan-kegiatan NU di berbagai level kepengurusan, PBNU juga terus mencoba membangun jaringan dengan berbagai kekuatan strategis yang ada di Indonesia. Hasilnya, berdirilah berbagai lembaga otonom dan LSM-LSM, baik yang secara terang-terangan mencatumkan identitas NU, maupun yang “disamarkan”. Ketika badan-badan otonom dan lembaga-lembaga tersebut mulai dapat berjalan sendiri, PBNU yang kala itu mulai terpersonifikasi dalam figur Abdurrahman Wahid, mencoba bekerja pada aras lebih tinggi, melakukan lobi-lobi tingkat nasional dan internasional. Selain dimaksudkan untuk memperluas jaringan NU, juga untuk mencari funding yang mengalirkan dana bagi LSM-LSM NU. Bersamaan dengan itu PBNU juga mulai menata kelembagaan NU untuk menunjang program-program yang digagas.
Ketika konsolidasi pengurus dan penataan intern organisasi telah berjalan rapi, PBNU mulai menampakkan obsesi besarnya; memberdayakan masyarakat akar rumput sebagai persyaratan suatu demokratisasi di segenap ranah kehidupan. Obsesi itu diaktualisasikan antara lain dalam bentuk sikap kritis kepada penguasa yang mempertahankan satus quo, serta segala bentuk kemapanan lain. Di samping itu, melalui berbagai sikap dan pengembangan wacana, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat Ketua Umum PBNU mencoba menampilkan Islam inklusif. Semua ini dimaksudkan untuk meletakkan keberadaan NU sebagai sebuah kekuatan masyarakat yang solid dalam menghadapi tekanan dari atas (baca: kekuasaan Negara) sekaligus lembut serta penuh toleransi dalam merespon eksistensi sesama (baca: budaya atau agama lain). Dengan demikian, kehadiran NU dapat dirasakan manfaatnya oleh siapapun, termasuk oleh masyarakat non Muslim.
Contoh cukup menonjol terkait dengan obsesi ini adalah sikap Gus Dur ketika terjadi pembrendelan Tabloid Monitor. Saat hampir semua pemuka Islam larut dalam kemarahan masa, Gus Dur tetap kritis terhadap umatnya sendiri. Ketersinggungan oleh kesembronoan dan kenekatan Tabloid Monitor “menghina” Muhammad, sekadar untuk sensasi atau menambah oplah tidak menghilangkan daya kritis. Gus Dur tetap mengecam reaksi berlebihan umat Islam, sambil mempertanyakan, “Mana Islam yang berarti cinta kasih terhadap sesama manusia; kenapa pada kasus Monitor ini ditunjukkan sikap Islam yang membenci?” Tindakan Gus Dur ini mendapat dukungan dari KH. Ahmad Siddiq, Rois Aam PBNU yang dikemukakan melalui ungkapan tradisional, menggunakan medium bahasa-bahasa Islam, seperti ukhuwwah islâmiyyah, ukhuwwah wathaniyyah dan ukhuwwah basyariyyah, untuk memberi legitimasi keagamaan bagi kebenaran tindakan-tindakan Gus Dur.
Contoh lain yang juga menonjol adalah sikap menolak bergabung dalam ICMI di saat hampir semua tokoh Muslim menyambut gembira dengan berbondong-bondong memasuki wadah baru yang didirikan oleh pemerintah akhir tahun 1990 itu. Gus Dur justru melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan arus umum, mendirikan Forum Demokrasi yang di dalamnya, bergabung orang-orang sekuler dan tokoh-tokoh non muslim, sambil mengkritik ICMI sebagai perwujudan sikap sekteranisme dan elitis. Memang sikap ini harus dibayar oleh sebagaian warga NU yang berpandangan beda. Tetapi itu lebih baik, demi kepentingan lebih luas, kepentingan warga NU secara keseluruhan yang dalam strata sosial, berada pada gugusan paling dasar.
Forum Demokrasi yang di dalamnya bergabung tokoh-tokoh kritis dari berbagai kalangan mengajak berpikir kritis dan bersikap inklusif. Hasilnya adalah sebuah perlindungan tidak langsung pada kaum muda NU, yang haus akan pemikiran-pemikiran kontemporer dan terbiasa bersikap kritis baik dalam masalah-masalah agama, maupun dalam melihat fenomena politik. Generasi terbaru NU yang dalam menafsiri pesan Khittah, berada pada versi keempat itu, memang membutuhkan ruang tersendiri. Karena idealisme yang menjiwai mereka, adalah modal potensial untuk obsesi besar, pemberdayaan masyarakat untuk demokratisasi di senegap bidang kehidupan. Hasil lebih jauh adalah bermunculannya kader-kader muda NU yang relatif independen dan memiliki keberpihakan yang jelas dalam melakukan aktivitas-aktivitas transformasi sosio kultural.
Memasuki tahun 1990-an, reposisi gerakan sosial NU yang makin kentara mengarah pada upaya pemberdayaan civil society vis a vis negara, mulai mendapat tanggapan berbeda. Sebagian kalangan NU merasa bahwa PBNU yang sudah terpersonifikasi dalam diri Gus Dur, telah terlalu jauh melangkah, menjadi oposisi terhadap kekuasaan negara. Sementara sebagian kalangan melihat inilah jati diri NU yang sebenarnya, menjadi pembela rakyat dalam berhadapan dengan kekuatan negara. Kalangan pertama didominasi oleh kelompok birokrasi dan tokoh-tokoh NU yang baru menampakkan diri kembali pasca deklarasi khittah, sedang kalangan kedua didominasi oleh generasi NU tahun delapan puluhan yang mendapat pengayoman dari para ulama NU yang tidak terlibat dalam politik praktis. Perbedaan ini semakin mengental dan mengarah pada lahirnya faksi-faksi di NU. Puncaknya mengemuka dalam Muktamar NU ke-29 di Cipasung - Jawa Barat, 1 s/d 5 Desember 1994. Saat itu muncul pertentangan terbuka antara barisan Gus Dur yang didukung kaum muda dan kekuatan civil society dari berbagai kalangan di luar NU, berhadapan dengan barisan pengkritik Gus Dur yang didukung kalangan birokrasi.
Pada akhirnya, Muktamar kembali memilih Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU berduet dengan KH. Ilyas Ruchiat sebagai Rois Aam, meski tanpa “restu” pemerintah. Akibatkan PBNU periode 1994 -1999 berjalan pincang. Namun dalam kepincangan ini, PBNU di bawah kepemimpinan Gus Dur tetap mengambil posisi dan sikap kritis dalam berhadapan dengan Negara. Bahkan manuver-manuver politik yang dilakukan pada periode ini semakin variatif dan tidak terprediksi. Hal itu terus berlanjut hingga akhir kepengurusan, bersamaan dengan mulainya gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto, penguasa Orde Baru selama lebih dari tiga puluh tahun.

D. Membangun Skoci Politik
Pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis moneter sangat dahsyat. Krisis Moneter ini berlanjut pada pada krisis ekonomi yang bangunannya memang rapuh. Dan lebih lanjut menjalar pada krisis politik dan krisis kepercayaan. Krisis multidimensi ini mendorong lahirnya gerakan reformasi yang berujung pada penyerahan jabatan Presiden oleh Soeharto kepada Wakilnya, BJ. Habibie, tanggal 21 Mei 1998. Sehari setelah peristiwa ini berdatangan usulan kepada PBNU agar NU mendirikan Partai atau berubah menjadi partai. Ada juga yang langsung mengusulkan lambang atau nama parpol yang akan dibentuk. Di antara pengusul itu ada Lajnah Sebelas Rembang yang diketuai oleh KH M. Cholil Bisri dan PWNU Jawa Barat.
Menyikapi berbagai usulan yang masuk, PBNU bersikap hati-hati, mengingat Muktamar NU ke-27 di Situbonbo menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Sikap hati-hati PBNU dianggap kurang memuaskan sebagian pengusul. Mereka yang tidak sabar dengan sikap PBNU langsung menyatakan berdirinya parpol untuk mewadahi aspirasi politik warga NU setempat. Di antaranya ada yang mendirikan Partai Bintang Sembilan, ada pula Partai Kebangkitan Umat.
Pada akhirnya PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriah dan tanfidziyah PBNU tanggal 3 Juni 1998 dan memutuskaan membentuk Tim Lima dengan tugas menampung aspirasi warga NU. Selanjutnya, untuk memperkuat posisi dan kemampuan Tim Lima, melalui Rapat Harian Syuriah dan Tanfidziyah PBNU diputuskan dibentuk Tim Asistensi yang beranggotakan sembilan orang. Tanggal 22 Juni 1998, Tim Lima mengadakan rapat untuk mndefinisikan dan mengelaborasi tugas-tugasnya. Setalah mengadakan serangkaian pertemuan, antara lain tanggal 26-28 Juni 1998 di Cipanas tim ini merumuskan rancangan awal pembentukan parpol, dan menghasilkan rancangan: Pokok-pokok Pikiran NU mengenai Reformasi Politik, Mabda’ Siyâsiy, Hubungan Partai Politik dengan NU, AD/AT Partai, dan Naskah Deklarasi. Tanggal 4-5 Juni 1998 diadakan Silaturrahmi Nasional Ulama dan Tokoh NU di Bandung guna memperoleh masukan yang lebih luas dari warga NU. Dalam kesempatan ini muncul tiga alternatif nama parpol, yakni Nahdlatul Ummah, Kebangkitan Umat, dan Kebangkitan Bangsa. Setelah melalui diskusi dan verifikasi, pada tanggal 30 Juli 1998 tim lima menyerahkan hasil-hasil rancangannya kepada PBNU dalam Rapat Harian tanggal 22 Juli 1998. Alhasil, partai yang diharapkan dideklarasikan dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tangga 23 Juli 1998 di kediaman KH. Abdurrahman Wahid di Ciganjur Jakarta Selatan. Meski telah mendeklarasikan berdirinya sebuah partai, PBNU tetap mengingatkan bahwa warga NU tetap diberi kebebasan untuk bergabung dengan partai manapun, dengan tetap menjaga institusi NU sebagai ormas keagamaan (Jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah), yang secara organisatoris tetap independen dan tidak terkait dengan parpol manapun.
Berdirinya PKB sebagai partai yang diposisikan sebagai salah satu skoci dari prahu Induk NU, nampaknya dianggap sebagai harapan baru oleh sebagian kalangan NU, terutama yang dalam menafsiri Khittah masuk dalam barisan versi ketiga. Bahkan, tidak sedikit kalangan muda NU yang semula menafsiri khittah sebagai anpolitcal-politics, masuk dalam barisan ini. Apalagi setelah melalui Sidang MPR hasil Pemilu 1999, PKB berhasil mendudukkan KH. Abdurrahman Wahid di kursi Presiden RI. Namun sebagimana hukum besi politk yang menegaskan ketidakabadian dunia politik, belum sampai dua tahun menjadi Presiden, Gus Dur kembali dilengserkan oleh kekuatan-kekuatan yang dulu menaikkannya bersama PKB. Kenyataan ini menjadi bahan refleksi mendalam bagi kepengurus NU pasca Abdurrahman Wahid, agar tetap mampu menjaga keutuhan bangunan besar NU sebagai kampung halaman yang teduh mengayomi semua anak-anak NU yang kembali setelah ber-musafir ke berbagai arah. Wa Allâh A’lam. [ ]


[1]Abdurrahman Wahid, NU: dan Asal-usulnya, dalam Warta Nahdlatul Ulama no.8/tahun I April 1986.
[2]Ibid.
[3]Di antara yang hadir dalam pertemuan 31 Januari 1926 di rumah KH. A. Wahab Hasbullah yang melahirkan kesepakatan berdirinya NU adalah: KH. M. Hasyim Asy’ari, Tebuireng-Jombang, KH. Bisri Syansuri, Denanyar-Jombang; KH. R. Asnawi, Kudus, KH. Nawawi, Pasuruan; KH. Ridwan, Semarang; KH. Maksum, Lasem; KH. Nahrawi, Malang; H. Ndoro Muntaha (menantu KH. Kholil Bangkalan-Madura); KH Hamid Faqih, Sedayu-Gresik; KH. Abdul Halil, Leuwi Munding-Cirebon; KH. Ridwan Abdullah, KH. Mas Alwi, KH. Ubaid, ketiganya dari Surabaya; Syaikh Ahmad Ghanaim al-Mishri, Mesir; dan beberapa nama lain yang tidak tercatat. Lihat: KH. Abdul Halim, sejarah perjuangan KH. Abdul Wahab, (Bandung: Baru 1970) Hal. 13-14.
[4]Lihat: Daliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 242-245.
[5]Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, Maret 1999), hal. 11-12.
[6]Konsep santri yang dimaksud di sini secara sosiologis adalah masyarakat Islam tradisi yang terikat dalam kehidupan patron-klien dengan ulama sebagai patronnya. Mereka ini tidak hanya orang yang secara langsung pernah belajar di pesantren, tetapi juga mencakup pengusaha, petani, pendidik, dll.
[7]Dalam dokumen resmi NU maupun buku-buku yang ditulis para tokoh NU, Ahlussunnah wal Jama’ah didefinisikan sebagai orang-orang yang dalam hal fiqh mengikuti salah satu ajaran dari empat mazhab besar, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; dalam bidang tawhîd menganut ajaran Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi; dan dalam kehidupan tashawuf, mengikuti ajaran Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan Imam Junayd al-Baghdadi. Lihat Bab I buku ini.
[8]Bahwa argumentasi keharusan bermazhab juga didasari pertimbangan epistemologis, dapat dilihat dalam seruan Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam artikel berjudul ‘al-Muwazza’ah’ (ajaran yang keras). Kutipan (terjemah) selengkapnya: “Wahai para ulama dan sahabat sekalian yang takut kepada Allah, dari golongan Ahlussunnah Waljama’ah, dari golongan yang menganut mazhab Imam empat! Engkau sekalian adalah orang-orang yang telah menuntut ilmu pengetahuan agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian dan begitu juga seterusnya, dengan tidak gegabah dalam memilih seorang guru, dan dengan penuh ketelitian pula kalian memandang seorang guru di mana kalian menuntut ilmu pengetahuan dari padanya. Maka, oleh karena menuntut ilmu pengetahuan, memang dengan cara demikian itulah, maka sebenarnya, kalian yang memegang kunci bahkan menjadi pintunya ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karenanya apabila kalian memasuki suatu rumah, hendaknya melalui pintunya. Dan barang siapa memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya, maka ia dikatakan seorang pencuri”. Lihat Panji Masyarakat, tahun I no 5/15 Agustus 1959.
[9]Swara Nahdlatul Oelama, no. ii, Sjawal 1347 H. Maret-April 1929.
[10] Chirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Jatayu Sala, 1985), hal. 88
[11] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia tahun 1900-1942.
[12] Berita Nahdlatul Ulama, tahun IV no. 16 (15 Juni 1973), hal. 13-14
[13]http://ldnu.org/fatwa/arsip/000341.shtml. Dalam situs ini tertulis bahwa Muktamar NU ke-11 itu dilakukan tahun 1933. Yang benar, jika muktamar berlangsung setahun sekali dan pertama dilakukan Oktober 1926, adalah tahun 1936.
[15]Harry J. Benda, The Crescent and the rising Sun Indonesia; Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945, terjemahan Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya  1979 ), hal 155.
[16]H. Anas Thahir et al., Kebangkitan  umat Islam dan peranan  NU di Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980), hal. 126.
[17]Harry  J. Benda, Op. cit., hal . 171.
[18]Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung: 1983), hal. 13.
[19]Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1977), hal. 206
[22]Chalid Mawardi, Pratik Politik NU, (Jakarta Yayasan Pendidikan, tt.).hal. 27.
[23]Maksoem Mahfoed, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, (Surabaya; Yayasan Kersejahteraan Umat, 1982). hal.  90-91.
[26] Achmad Fachruddin, Gus Dur dari Pesantren ke Istana Negara, (Jakarta: Yayasan Gerakan Amaliah Siswa), hal. 6.
[27]H. Abdul Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kyai dan Politisi, (sala: CV.  Mayasari, 1980). hal. 53-54
[28]A. Samsuddin, Sari Berita dan Pendapat: Pemilian Umum 1971, (Jararta: Lembaga Pendidikan dan konsultasi Pers, 1972), hal. 158-159.
[29]Mahbub Djunaidi, “NU bagaikan Ayam Pulang ke Pautan“, Kompas, Mei 1975.
[30] KH Muchit Muzadi dalam seminar “Meneguhkan Kembali Khittah Menuju NU Masa Depan”, Jakarta, 27-29 Juli 2002. Menurut Kiai Muchith, interpretasi ini disampaikan oleh KH Idham Chalid atas nama PBNU.
[31] Waktu itu yang ditugasi untuk menemui KH Ahmad Shiddiq adalah salah satu Ketua Panitia Muktamar, alm. Bapak KH Munasir (saat itu menjadi Sekjen PBNU).  Ceramah KH Muchith Muzadi, 27—29 Juli 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar