Kamis, 08 Maret 2012

Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Tentang Musik dan Tari (4)

REPUBLIKA.CO.ID, Meskipun demikian, orang-orang yang mendengar syair sufi berada dalam bahaya dikutuk, jika ia menerapkan syair-syair yang didengarnya itu untuk Allah.

Misalnya, ketika ia dengar syair seperti "Engkau berubah dari kecenderungan semulamu," ia tak boleh menerapkannya untuk Allah—yang tak boleh berubah—melainkan untuk dirinya dan ragam suasana hatinya sendiri.

Allah bagaikan mentari yang selalu bersinar, tetapi bagi kita kadang-kadang cahaya-Nya terhalang oleh beberapa obyek yang ada di antara kita dan Dia.

Diriwayatkan bahwa beberapa ahli mencapai tingkat ekstase sedemikian rupa sehingga diri mereka hilang dalam Allah. Demikian halnya dengan Syekh Abul-Hasan Nuri yang ketika mendengar seuntai syair tertentu, terjatuh dalam keadaan ekstase dan menerobos ke dalam ladang yang penuh dengan batang-batang tebu yang baru dipotong, berlari kian-kemari sampai kakinya berdarah penuh luka dan akhirnya mati tak lama sesudah itu.

Dalam kasus-kasus semacam itu, beberapa orang berpendapat bahwa Tuhan telah benar-benar turun ke dalam manusia, tapi ini adalah kesalahan yang sama besar dengan yang dilakukan oleh seseorang yang ketika pertama kali melihat bayangannya di cermin, berpendapat bahwa ia telah tersatukan dengan cermin itu, atau bahwa warna-warni merah-putih yang dipantulkan oleh cermin adalah sifat-sifat bawaan cermin itu.

Keadaan-keadaan ekstase yang dialami para sufi beragam, sesuai dengan emosi-emosi yang dominan di dalamnya, yakni cinta, ketakutan, nafsu, tobat dan sebagainya. Keadaan-keadaan ini, sebagaimana kita sebut di atas, dicapai seringkali tidak hanya sebagai hasil mendengarkan ayat-ayat Alquran, tetapi juga syair yang merangsang. Sementara orang keberatan terhadap pembacaan syair, sebagaimana juga Alquran, pada kesempatan-kesempatan seperti itu.

Tapi mesti diingat bahwa tidak seluruh ayat Alquran dimaksudkan untuk membangkitkan emosi seperti misalnya, perintah bahwa seorang laki-laki mesti mewariskan seperenam hartanya untuk ibunya dan sebagainya untuk saudara perempuannya, atau bahwa seorang wanita yang ditinggal mati suaminya mesti menunggu empat bulan sebelum boleh menikah lagi dengan orang lain. Sangat sedikit orang dan hanya yang sangat peka sajalah yang bisa tercebur ke dalam ekstase keagamaan oleh ayat-ayat seperti itu.


Redaktur: Chairul Akhmad
Sumber: Kimyatusy Sya'adah (The Alchemy of Happiness) Al-Ghazali, terjemahan Haidar Bagir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar