Sabtu, 03 Maret 2012

KHITTAH NAHDLATUL ULAMA


BAB II

KHITTAH NAHDLATUL ULAMA
DAN CITA-CITA PEMBENTUKAN KHAIRA UMMAH

Dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya, Nahdlatul Ulama (NU) pada awalnya berusaha menjaga termasuk mengembangkan kepercayaan dan praktek Islam masyarakat mayoritas yang kebetulan mengikuti paham aswaja sebagai hasil dari binaan para muballigh yang bermuara pada "wali songo".[1] Bisa dikatakan bahwa ketika NU lahir, masyarakat Islam meresponnya dengan positif dan mereka merasa sebagai anggota NU, meskipun tidak pernah secara resmi mendaftarkan diri.
            Respon positif masyarakat telah meneguhkan tekad para pendiri NU untuk terus berjuang melalui organisasi baru ini. Pada sepuluh tahun pertama, pengikut NU telah mencapai 67 ribu orang yang tersebar di 68 cabang se-Indonesia. Respon masyarakat Islam Indonesia terhadap NU makin besar ketika tidak kurang dari 400 kiai bergabung dengan NU.[2] Capaian kuantitatif tersebut mungkin melebihi jumlah anggota organisasi keagamaan lainnya yang telah lebih dulu lahir dan eksis di bumi Hindia Belanda.
Meskipun ia adalah organisasi sosial keagamaan, kelahiran NU juga dimaksudkan sebagai wadah perjuangan yang harus merespon berbagai masalah dalam masyarakat. Seperti terlihat dalam dokumen pendiriannya, NU pada awalnya menitikberatkan kepada tiga bidang; sosial, pendidikan dan perekonomian, sebagai lahan garapannya.[3] Di bidang sosial, NU berupaya menciptakan kenyamanan masyarakat Islam dalam melakukan aktifitas ritualnya. Di samping itu, NU juga berusaha mencari jalan keluar atas problem yang dihadapi fakir miskin dan anak yatim piatu.
Di bidang pendidikan, NU berupaya meningkatkan kualitas lembaga-lembaga pendidikan pesantren[4], di samping juga mendorong terjadinya pembaruan dengan mendirikan madrasah atau sekolah baik di lingkungan pesantren maupun di tengah masyarakat umum. Di bidang perekonomian, NU berusaha melakukan modernisasi di bidang pertanian, perdagangan dan dan industri. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mendirikan badan-badan usaha, seperti koperasi.
Karena NU lahir untuk mengembangkan masyarakat, dan membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya, maka perkembangan masyarakat sendiri telah membawa NU untuk terlibat dalam masalah-masalah yang berbau politik, lebih-lebih masyarakat memang berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Ketika Muktamar NU XI diadakan di Banjarmasin pada bulan Juni 1936, para kiai terpaksa NU harus menjawab problem sosial mengenai eksistensi pemerintahan Hindia Belanda. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah negara Hindia Belanda (Indonesia) ini ‘darul harbi’ (dâr al-harb) atau ‘darul Islam’ (dâr al-Islâm)? Hal yang cukup mengejutkan adalah bahwa Muktamar yang didominasi oleh para kiai pesantren itu berkesimpulan bahwa negara Hindia Belanda saat itu dianggap sebagai darul Islam.[5] Konsekuensinya, NU mempunyai kewajiban sosial, agama dan politik untuk mewujudkan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, seperti anti diskriminasi, perbudakan, keadilan, kemerdekaan menjalankan agama dan keyakinannya dan sebagainya.[6] Pandangan akomodatif NU ini kelihatannya dipengaruhi oleh prinsip klasik yang berkembang di lingkungan pesantren yang menegaskan bahwa penguasa yang membolehkan umatnya menjalankan kewajiban agamanya lebih baik daripada fitnah (chaos) yang diakibatkan oleh aksi kekerasan. Meskipun demikian, sikap kompromistis seperti itu bisa berbalik menjadi radikal dan tidak kompromistis apabila para elite NU menilai bahwa pemerintah melakukan penyimpangan dilihat dari perspektif Islam. NU, misalnya, pernah menolak keras permintaan pemerintah pendudukan Jepang agar rakyat Indonesia melakukan saikeirei, yaitu ritual membungkukkan badan  ke arah Kaisar Jepang, sehingga pemerintah pendudukan memenjarakan dua tokoh NU, yaitu KH. Hasyim Asyari dan KH. Mahfoedz Shiddiq beberapa bulan.
Persinggungan NU dengan masalah politik terus meningkat sejalan dengan perkembangan politik Belanda di tanah air. Dalam Muktamar XIII di Menes, Banten, bulan Juni 1938, terdapat peserta muktamar yang mengusulkan agar NU berusaha mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (dewan rakyat), sebuah parlemen semu bentukan Pemerintah Hindia Belanda. Tetapi usulan ini mendapat penolakan keras dari peserta Muktamar lainnya, yang mengharapkan NU menghindarkan diri dari dunia politik dalam bentuk apapun. Meskipun NU berusaha untuk bersikap apolitik dengan menitikberatkan gerakannya di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan, perkembangan sosial politik yang ada telah menyebabkannya tidak bisa menghindar untuk bersentuhan dengan masalah-masalah politik. Bersama-sama dengan organisasi Islam lain, NU telah mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), suatu federasi yang merespon kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda.
Orientasi yang agak politis ini menguat ketika kekuasaan Belanda berakhir pada 1942, digantikan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pada bulan Nopember 1943 Nahdlatul Ulama turut serta membidani lahirnya Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia, Dewan Musyawarah umat Islam Indonesia) yang didukung oleh organisasi-organisasi Islam. Masyumi merupakan organisasi semacam holding company organisasi-organisasi Islam yang bertujuan memperkuat persatuan di antara mereka. Presiden Masyumi pertama adalah KH. Hasyim Asy’ari yang juga Rais Akbar Syuriah NU.[7] Keterlibatan dalam Masyumi ini telah membuat NU tidak dilihat dengan sebelah mata oleh pemerintah Jepang. Pihak Jepang justru  memberikan peran yang cukup kepada NU, misalnya ketika terjadi penataan ulang Shumubu (Departemen Agama). Aktifnya NU di masa pendudukan Jepang ini juga terlihat, misalnya, ketika NU membentuk barisan Hizbullah, yaitu barisan semi-militer[8] sebagai respon terhadap wacana kemerdekaan bagi Indonesia yang dikemukakan oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang, NU melebarkan cakupan perjuangannya dengan terjun ke dalam dunia politik praktis. Hal itu makin menguat setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, karena wacana kemerdekaan Indonesia membutuhkan perjuangan politik oleh ormas-ormas yang ada. Setelah kemerdekaan, keterlibatan NU dalam politik tidak terhindarkan, lebih-lebih NU ikut mendirikan partai politik Masyumi[9] bersama organisasi Islam lainnya.
Komitmen Nahdlatul Ulama untuk mempertahankan kemerdekaan RI mendapat ujian ketika tentara Inggris sudah mendarat di Jakarta pada akhir September 1945, tidak lama setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 21—22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan bahwa perjuangan melawan Inggris merupakan jihad (perang suci), setelah beberapa kota di Jawa, termasuk kota Semarang dan Bandung jatuh ke tangan Inggris setelah melalui pertempuran yang sengit. Bahkan sebelumnya secara khusus KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan republik dari Inggris adalah kewajiban agama bagi semua orang Islam (fardl ‘ayn).  Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihâd ini juga meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mendeklarasikan perang suci, mengingat di Jakarta Pemerintah Republik masih menahan diri untuk melakukan perlawanan. Pemerintah waktu itu masih menginginkan penyelesaian diplomatik dan bersikap diam saja ketika bendera Belanda dikibarkan kembali di Jakarta.  Resolusi Jihâd ini memperlihatkan performa NU yang tidak kompromistis secara tidak disangka-sangka.
Dari apa yang dikemukakan di atas, jelas bahwa NU secara politis bisa kompromistis dan bisa juga keras ketika melawan ketidakadilan. Seruan jihad tadi, seperti terlihat dalam pertempuran 10 Nopember 1945 bukan hanya efektif dalam menggerakkan massa untuk mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga di luar prediksi Belanda dan Inggris yang memang dari awal mengenal NU sebagai organisasi yang cukup kompromistis dan moderat.[10] Sikap tidak mau kompromi seperti itu, seperti diungkapkan oleh Dr. ‘Ali Sami’ Nasyar, sejarawan Mesir, juga pernah diperlihatkan dalam sikap ‘pengharaman’ memakai celana panjang yang dianggap sebagai simbol peradaban penjajah, dan sebagai gantinya masyarakat Islam diharuskan menggunakan ‘sarung’.[11]
NU semakin menancapkan kukunya di bidang politik praktis ketika menyatakan bahwa ia secara organisatoris memisahkan diri dari Partai Masyumi pada 8 April 1952 dan beberapa bulan kemudian secara independen menyatakan diri sebagai organisasi sosial politik. Saat itu NU berpendapat bahwa ada kepentingan umat Islam tradisional yang sangat besar yang tidak terakomodir oleh parpol yang ada, dan Pemilu 1955 adalah momentum tepat dan pintu masuk untuk merealisasikan kepentingan tersebut. Dengan menjadi partai politik, NU pun menjadi peserta pemilu dan berhasil menduduki posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi dari empat (4) besar partai yang ada (dalam posisi keempat adalah Partai Komunis Indonesia).

A. Khittah Nahdlatul Ulama

Upaya Nahdlatul Ulama berjuang lewat politik memang tidak sia-sia, karena ia berhasil menduduki peringkat ketiga dalam perolehannya  pada Pemilu 1955. Tapi, keberhasilan ini berkonsekuensi pada tersedotnya seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan ke bidang yang satu ini. Timbul penilaian dari beberapa aktivis dan para ulama NU bahwa NU semakin jauh meninggalkan bidang-bidang garapan hakikinya yang tidak kalah potensial. Pendidikan yang menjadi garapan utama NU, misalnya, seolah ditinggalkan.  Kekecewaan yang muncul di kalangan para ulama NU makin membesar, karena di samping banyak garapan yang terbengkalai, juga karena para aktivis politik NU seolah kurang menjiwai kultur NU. Dalam ungkapan seorang ulama NU:  “NU secara tiba-tiba dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mengerti hakikat dan jati diri NU”. Saat itu para ulama NU kecewa melihat begitu banyaknya orang mengaku NU tetapi perilakunya tidak mencerminkan budaya NU.[12]
Para ulama melihat bahwa di saat NU menjadi partai politik, kondisi sosial keagamaan masyarakat Islam Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menggembirakan. Pemerintah mendirikan ratusan mesjid, menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., dan lainnya. Tetapi, realitas tersebut tidak diimbangi dengan membaiknya kualitas keagamaan masyarakat Islam Indonesia. Banyak anggota masyarakat Islam yang tidak mempunyai komitmen keagamaan yang tinggi. Korupsi uang negara merajalela, kejahatan terjadi di mana-mana, penebangan hutan liar tanpa tindakan hukum dan moralitas masyarakat makin menurun.[13]
Di masa Orde Baru berkuasa, hal itu telah diperparah oleh tidak sehatnya kondisi politik yang ada, karena pemerintah telah melakukan political engineering sebagai mekanisme menjaga kekuasaannya. Pada pemilu 1971, pemerintah berusaha untuk memenangkan Golkar, orpol yang dibentuknya, untuk melegitimasi kekuasaannya. Dengan dibantu kalangan birokrasi dan tentara, organisasi politik[14] baru ini berhasil mengalahkan partai-partai lainnya. Upaya itu ditindaklanjuti dengan mengeluarkan policy “masa mengambang” (floating mass) yang berusaha membatasi dan menjauhkan masyarakat dari politik. Ini artinya, dukungan terhadap partai politik oleh masyarakat dipotong, karena masyarakat dibolehkan terlibat dalam politik hanya 5 tahun sekali, yakni waktu pemilu.
Apa yang tak kalah penting dari politik otoriter pemerintah adalah memaksa 4 partai Islam menjadi satu, yaitu menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan partai-partai yang berideologi nasionalis dan non Islam menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sehingga selama Orde Baru berkuasa, hanya ada 3 organisasi politik, yakni dua partai tadi plus Golkar sebagai partai pemerintah. Situasi ini tidak sehat, bukan saja karena partisipasi politik masyarakat dibatasi, tetapi juga pemerintah ikut campur dalam mengatur masalah-masalah internal partai, terutama siapa yang boleh memimpin partai. Situasi ini digambarkan oleh KH. Muchit Muzadi:
“Sistem kepartaian dan politik saat itu sudah tidak demokratis. Pemerintah hanya membatasi dua partai dan satu organisasi politik—Golkar—yang tidak mau disebut partai. Ini sistem kepartaian yang tidak sehat. Partai-partai yang berpaham nasionalis dan non muslim diringkas dan diringkus menjadi PDI. Partai-partai yang berpaham Islam diringkas dan diringkus menjadi PPP. Sedangkan UU kepartaian dan lainnya memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk mengatur, hingga mengatur pengurus partai sekalipun!”[15]

Situasi ini dirasakan oleh NU sebagai tidak kondusif bagi pembangunan politik bangsa, terlebih NU sendiri telah dijadikan sasaran penggembosan oleh Orde Baru, karena NU mempunyai kekuatan massa yang sangat besar di antara kelompok dan ormas yang ada, dan cukup solid. Dengan situasi seperti ini memang berat untuk berjuang lewat kancah politik, karena dua partai yang ada, yakni PPP dan PDI menjadi tidak berdaya, mengingat Orde Baru terlalu kuat, bahkan juga ia bisa mengintervensi partai-partai tadi.
Dihadapkan pada situasi ini, di kalangan ulama dan aktivis NU muncul pikiran-pikiran untuk kembali ke khittah NU, yakni NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Gagasan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, sejak NU menjadi partai politik pada 1952, berbagai koreksi, kritik serta usulan telah muncul dalam upaya meluruskan NU agar sesuai dengan khittahnya. Pada Muktamar NU Ke-22 di Jakarta pada bulan Desember 1959, PC NU Mojokerto yang diwakili oleh KH. Ahmad Achyat Khalimi menggulirkan gagasan perlunya NU kembali menekuni bidang sosial keagamaan seperti terumuskan ketika NU didirikan pada 1926. Usulan itu muncul begitu saja tanpa ada penjelasan yang memadai, sehingga gagasan bagus ini diterjemahkan PBNU sebagai “warning”, sebatas mengembalikan NU kepada semangat ‘ubûdiyah pada 1926.[16]
Gagasan yang kemudian menjadi desakan agar NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan ini muncul kembali pada saat berlangsung Muktamar NU ke-26 di Semarang bulan Juni 1979. Tapi, desakan yang sempat membesar dan menguat ini ternyata tidak sampai menjadi agenda pembahasan, meskipun KH. Ahmad Shiddiq berhasil menuangkan gagasannya: Risâlah khiththâh Nahdliyyah dan dibagikan kepada peserta Muktamar.[17] Meskipun demikian, gagasan itu tetap hidup, terlebih setelah di awal 1980-an Nahdlatul Ulama mengalami goncangan hebat. Dengan alasan makin tidak signifikannya peran politik NU di PPP dan banyaknya bidang garapan sosial keagamaan yang terbengkalai akibat terlalu konsentrasi di bidang politik praktis, beberapa kalangan NU yang lebih muda melakukan gerakan-gerakan agar NU kembali ke khittahnya.
Pelopor gerakan ini adalah Majelis 24 yang terdiri dari: Abdurrahman Wahid, Musthofa Bisri, Fahmi D. Saifuddin, Muhammad Thohir, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Muchit Muzadi, Slamet Effendi Yusuf, Said Budairi, M. Zamroni, Mahbub Junaidi, Abdullah Syarwani, Masdar F. Mas’udi, Asip Hadi Pranata, M. Tholhah Hasan, HM. Munasir, Saiful Mudjab, Umar Basalim, Cholil Musaddad, Gaffar Rahman, Ichwan Sjam, Musa Abdillah, Musthofa Zuhad, Danial Tanjung, dan Ahmad Bagdja. Mereka mengadakan pertemuan di hotel Hasta dan membentuk Tim 7 untuk pemurnian Khittah yang diketuai oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan anggota Zamroni, Fahmi D. Saifuddin, Said Budairi, Ahmad Baghja, Mahbub Junaidi dan Danial Tandjung. Kemudian proses perumusan Khittah diteruskan dan mengalami penyempurnaan pada saat Munas Alim Ulama di Situbondo pada 1983.
Apa yang dilakukan Tim 7 berhasil meyakinkan banyak orang, dan menggiring bagi disepakatinya apa yang disebut ‘kembali ke khittah’. Pada Munas Alim Ulama di Situbondo bulan Desember 1983, para ulama berhasil menyepakati untuk mempertegas pokok-pokok pikiran ‘Khittah NU’. Dalam pokok-pokok pikiran tersebut dinyatakan bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan yang tidak berafiliasi terhadap partai politik manapun. Ini adalah penegasan sikap mengundurkan diri (dissociation) dari PPP, mengingat saat itu NU adalah salah satu unsur penting dalam partai Islam itu. Meskipun demikian, NU memperbolehkan warganya untuk berpolitik dan berafiliasi dengan partai manapun selain PPP. Meskipun pada awalnya, hasil Munas Alim Ulama ini menimbulkan kontroversi di lingkungan internal NU, tetapi rumusan tersebut berhasil di bawa ke Muktamar NU ke-27 pada 1984 di tempat yang sama (baca: Situbondo) yang melahirkan rumusan naskah Khittah Nahdlatul Ulama.

B. Gerakan Menuju Perumusan Khittah NU

Seperti sudah disebutkan di atas, keterlibatan NU dalam politik praktis telah menyebabkan terbengkalainya bidang-bidang lain yang harus digarapnya. Hampir semua tokoh NU, terutama generasi mudanya lebih memperhatikan apa yang terjadi dalam dunia politik, sehingga political mindedness mewarnai watak dan tingkah laku mereka. Semua orang bicara dan mempersiapkan diri untuk berjuang lewat politik NU. Situasi ini, secara tepat digambarkan oleh seorang tokoh NU sebagai berikut:
 “Ada sebuah keluarga yang mempunyai toko di sebelah rumahnya. Keluarga itu juga punya kebun, ternak, dan lainnya. Alhasil, ia mempunyai banyak usaha. Ketika lagi trend usaha transportasi, keluarga tersebut juga membuka usaha transportasi. Maka ia membuat garasi besar tempat menyimpan mobil-mobil yang dijadikan usaha transportasinya. Dalam perkembangannya, usaha baru ini mengalami kesuksesan luar biasa, mengalahkan usaha-usaha lain yang dimilikinya. Perkembangan yang pesat itu, mengakibatkan semua anggota keluarga tersebut jatuh hati terhadap bisnis transportasi ini dan kerasan berada di garasi. Waktu pun terfokus ke usaha transportasi. Anggota keluarga yang biasanya mengurus sawah ikut berada di garasi. Anggota keluarga yang lain pun meninggalkan kebunnya, warungnya dan semuanya tertarik berada di garasi. Bahkan rumahnya pun kosong,  kumuh, hingga kursi-kursi diambil orang. Semuanya tidak terurus karena sibuk berada di garasi.
Padahal tidak semua anggota keluarga yang berada di garasi itu berfungsi. Setiap hari ada anggota yang kerjaannya hanya memegang klakson, memegang setir mobil, dan lainnya. Maka pada 1959, salah satu anggota keluarga, Kiai Ahmad Achyat Khalimi Mojokerto mengusulkan agar garasinya ditutup saja, karena sawah keluarga tidak ada yang menggarap, kursi hilang semua. Anggota keluarga yang lain, KH. Idham Khalid mengatakan, “Tidak perlu ditutup, pokoknya yang biasa buka toko, ya dibuka lagi tokonya, yang lain juga begitu. Yang penting tidak semuanya berada di garasi, tapi juga harus ada yang nungguin garasi.”[18]

Tarik menarik antar keinginan tetap terlibat dalam politik dan dorongan sebagian warga NU utnuk meninggalkan politik berakhir setelah Muktamar Situbondo mendudukkan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang secara organisatoris tidak terlibat dalam politik. Tapi, apa yang cukup penting dari hasil Muktamar Situbondo adalah dirumuskannya Khittah NU yang bisa dijadikan landasan berkiprah warga NU.
Khittah yang berarti landasan atau garis-garis yang harus diikuti warga NU sebenarnya sudah ada sejak pertama kali NU didirikan. Ini, setidaknya bisa dilihat dari bagaimana pola pikir yang harus dipunyai warga NU sebagai penganut Ahlussunnah wal Jama’ah. Juga, NU telah merumuskan prinsip-prinsip pembentukan umat yang unggul (khayr ummah). Tetapi, rumusan ini belum secara komprehensif eksplisit, sehingga tidak mudah terbaca oleh semua warganya. Karena itu, rumusan khittah NU yang dihasilkan oleh Muktamar Situbondo adalah hasil reaktualisasi dan revitalisasi khittah NU yang biasanya baru bersarang dalam pikiran para ulama NU dan terekspresikan dalam tingkah laku mereka. Reaktualisasi artinya rumusan khittah yang ada telah disesuaikan dengan peran kelembagaan sosial yang ada, sehingga dalam khittah ini terangkum nilai-nilai yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Rumusan Khittah NU itu sebagai berikut:

KHITTAH NU

Motto: QS. al-Mâidah: 48—49

MUQADDIMAH

  1. Kesadaran atas keharusan hidup bermasyarakat dengan persyaratannya.
  2. NU: Jamiyah Diniyah berfaham ahlussunnah wal jamaah, berhaluan salah satu dari madzhab empat
  3. NU: gerakan keagamaan meningkatkan kualitas insan bertakwa.
  4. Dalam berupaya mencapai cita-cita NU, terbentuklah kepribadian khas NU yang kemudian disebut sebagai Khittah NU.

PENGERTIAN

  1. Khittah NU: Landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU.
  2. Landasan ini ialah faham ahlussunnah wal jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia.
  3. Khittah NU juga digali dari intisari sejarah NU

DASAR-DASAR FAHAM KEAGAMAAN NU

a.       NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber-sumber al-Quran, al-Sunnah. Al-Ijma’ dan al-Qiyas.
b.      NU menggunakan “jalan pendekatan’ (al-madzhab):
1.      Di bidang akidah mengikuti faham ashlussunnah wal jamaah yang dipelopori oleh Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi.
2.      Di bidang fiqih mengikuti salah satu dari madzhab empat.
3.      Di bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Baghdadi, Imam Ghazali dan imam-imam lain.
c.       NU mengikuti pendirian bahwa Islam adalah agama fitri, menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang ada pada manusia, ciri-ciri yang baik milik sesuatu kelompok manusia dan tidak menghapusnya.

SIKAP KEMASYARAKATAN NU

a.       Sikap tawasstuh dan i’tidal:
1.      Sikap tengah berintikan keadilan di tengah kehidupan bersama.
2.      menjadi kelompok panutan, bertindak lurus, bersifat membangun, tidak ekstrem.
  1. Sikap tasamuh:
1.      Toleran di dalam perbedaan pendapat keagamaan.
2.      Toleran di dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.
  1. Sikap tawazun:
1.      Keseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah SWT., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidup.
2.      Keselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa depan.
  1. Amar ma’ruf nahi munkar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar