BAB II
KHITTAH NAHDLATUL
ULAMA
DAN CITA-CITA PEMBENTUKAN
KHAIRA UMMAH
Dengan prinsip-prinsip
yang dipegangnya, Nahdlatul Ulama (NU) pada awalnya berusaha menjaga termasuk
mengembangkan kepercayaan dan praktek Islam masyarakat mayoritas yang kebetulan
mengikuti paham aswaja sebagai hasil dari binaan para muballigh yang bermuara
pada "wali songo".[1]
Bisa dikatakan bahwa ketika NU lahir, masyarakat Islam meresponnya dengan
positif dan mereka merasa sebagai anggota NU, meskipun tidak pernah secara
resmi mendaftarkan diri.
Respon
positif masyarakat telah meneguhkan tekad para pendiri NU untuk terus berjuang
melalui organisasi baru ini. Pada sepuluh tahun pertama, pengikut NU telah
mencapai 67 ribu orang yang tersebar di 68 cabang se-Indonesia. Respon
masyarakat Islam Indonesia terhadap NU makin besar ketika tidak kurang dari 400
kiai bergabung dengan NU.[2]
Capaian kuantitatif tersebut mungkin melebihi jumlah anggota organisasi
keagamaan lainnya yang telah lebih dulu lahir dan eksis di bumi Hindia Belanda.
Meskipun ia adalah
organisasi sosial keagamaan, kelahiran NU juga dimaksudkan sebagai wadah
perjuangan yang harus merespon berbagai masalah dalam masyarakat. Seperti
terlihat dalam dokumen pendiriannya, NU pada awalnya menitikberatkan kepada
tiga bidang; sosial, pendidikan dan perekonomian, sebagai lahan garapannya.[3]
Di bidang sosial, NU berupaya menciptakan kenyamanan masyarakat Islam dalam
melakukan aktifitas ritualnya. Di samping itu, NU juga berusaha mencari jalan
keluar atas problem yang dihadapi fakir miskin dan anak yatim piatu.
Di bidang pendidikan, NU
berupaya meningkatkan kualitas lembaga-lembaga pendidikan pesantren[4],
di samping juga mendorong terjadinya pembaruan dengan mendirikan madrasah atau
sekolah baik di lingkungan pesantren maupun di tengah masyarakat umum. Di
bidang perekonomian, NU berusaha melakukan modernisasi di bidang pertanian,
perdagangan dan dan industri. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan
mendirikan badan-badan usaha, seperti koperasi.
Karena NU lahir untuk
mengembangkan masyarakat, dan membantu memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya, maka perkembangan masyarakat sendiri telah membawa NU untuk
terlibat dalam masalah-masalah yang berbau politik, lebih-lebih masyarakat
memang berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Ketika Muktamar NU XI diadakan
di Banjarmasin pada bulan Juni 1936, para kiai terpaksa NU harus menjawab
problem sosial mengenai eksistensi pemerintahan Hindia Belanda. Pertanyaan
mendasar yang muncul adalah, apakah negara Hindia Belanda (Indonesia) ini ‘darul
harbi’ (dâr al-harb) atau ‘darul Islam’ (dâr al-Islâm)?
Hal yang cukup mengejutkan adalah bahwa Muktamar yang didominasi oleh para kiai
pesantren itu berkesimpulan bahwa negara Hindia Belanda saat itu dianggap
sebagai darul Islam.[5]
Konsekuensinya, NU mempunyai kewajiban sosial, agama dan politik untuk
mewujudkan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi
nilai-nilai Islam, seperti anti diskriminasi, perbudakan, keadilan, kemerdekaan
menjalankan agama dan keyakinannya dan sebagainya.[6]
Pandangan akomodatif NU ini kelihatannya dipengaruhi oleh prinsip klasik yang
berkembang di lingkungan pesantren yang menegaskan bahwa penguasa yang
membolehkan umatnya menjalankan kewajiban agamanya lebih baik daripada fitnah (chaos)
yang diakibatkan oleh aksi kekerasan. Meskipun demikian, sikap kompromistis seperti
itu bisa berbalik menjadi radikal dan tidak kompromistis apabila para elite NU
menilai bahwa pemerintah melakukan penyimpangan dilihat dari perspektif Islam. NU,
misalnya, pernah menolak keras permintaan pemerintah pendudukan Jepang agar
rakyat Indonesia melakukan saikeirei, yaitu ritual membungkukkan
badan ke arah Kaisar Jepang, sehingga pemerintah
pendudukan memenjarakan dua tokoh NU, yaitu KH. Hasyim Asyari dan KH. Mahfoedz
Shiddiq beberapa bulan.
Persinggungan NU dengan
masalah politik terus meningkat sejalan dengan perkembangan politik Belanda di
tanah air. Dalam Muktamar XIII di Menes, Banten, bulan Juni 1938, terdapat
peserta muktamar yang mengusulkan agar NU berusaha mendudukkan wakilnya dalam Volksraad
(dewan rakyat), sebuah parlemen semu bentukan Pemerintah Hindia Belanda.
Tetapi usulan ini mendapat penolakan keras dari peserta Muktamar lainnya, yang
mengharapkan NU menghindarkan diri dari dunia politik dalam bentuk apapun. Meskipun
NU berusaha untuk bersikap apolitik dengan menitikberatkan gerakannya di bidang
sosial, ekonomi dan pendidikan, perkembangan sosial politik yang ada telah
menyebabkannya tidak bisa menghindar untuk bersentuhan dengan masalah-masalah
politik. Bersama-sama dengan organisasi Islam lain, NU telah mendirikan Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI), suatu federasi yang merespon kebijakan-kebijakan
pemerintah Belanda.
Orientasi yang agak
politis ini menguat ketika kekuasaan Belanda berakhir pada 1942, digantikan
oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pada bulan Nopember 1943 Nahdlatul Ulama
turut serta membidani lahirnya Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia, Dewan
Musyawarah umat Islam Indonesia) yang didukung oleh organisasi-organisasi Islam.
Masyumi merupakan organisasi semacam holding company organisasi-organisasi
Islam yang bertujuan memperkuat persatuan di antara mereka. Presiden Masyumi
pertama adalah KH. Hasyim Asy’ari yang juga Rais Akbar Syuriah NU.[7]
Keterlibatan dalam Masyumi ini telah membuat NU tidak dilihat dengan sebelah
mata oleh pemerintah Jepang. Pihak Jepang justru memberikan peran yang cukup kepada NU,
misalnya ketika terjadi penataan ulang Shumubu (Departemen Agama). Aktifnya
NU di masa pendudukan Jepang ini juga terlihat, misalnya, ketika NU membentuk
barisan Hizbullah, yaitu barisan semi-militer[8]
sebagai respon terhadap wacana kemerdekaan bagi Indonesia yang dikemukakan oleh
pemerintah pendudukan Jepang.
Menjelang berakhirnya
kekuasaan Jepang, NU melebarkan cakupan perjuangannya dengan terjun ke dalam
dunia politik praktis. Hal itu makin menguat setelah bangsa Indonesia
menyatakan kemerdekaannya, karena wacana kemerdekaan Indonesia membutuhkan
perjuangan politik oleh ormas-ormas yang ada. Setelah kemerdekaan, keterlibatan
NU dalam politik tidak terhindarkan, lebih-lebih NU ikut mendirikan partai
politik Masyumi[9]
bersama organisasi Islam lainnya.
Komitmen Nahdlatul Ulama
untuk mempertahankan kemerdekaan RI mendapat ujian ketika tentara Inggris sudah
mendarat di Jakarta pada akhir September 1945, tidak lama setelah Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 21—22 Oktober
1945, wakil-wakil cabang NU di Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan
menyatakan bahwa perjuangan melawan Inggris merupakan jihad (perang suci), setelah
beberapa kota di Jawa, termasuk kota Semarang dan Bandung jatuh ke tangan
Inggris setelah melalui pertempuran yang sengit. Bahkan sebelumnya secara
khusus KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa
mempertahankan kemerdekaan republik dari Inggris adalah kewajiban agama bagi
semua orang Islam (fardl ‘ayn).
Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihâd ini juga
meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mendeklarasikan perang suci,
mengingat di Jakarta Pemerintah Republik masih menahan diri untuk melakukan
perlawanan. Pemerintah waktu itu masih menginginkan penyelesaian diplomatik dan
bersikap diam saja ketika bendera Belanda dikibarkan kembali di Jakarta. Resolusi Jihâd ini memperlihatkan
performa NU yang tidak kompromistis secara tidak disangka-sangka.
Dari apa yang
dikemukakan di atas, jelas bahwa NU secara politis bisa kompromistis dan bisa
juga keras ketika melawan ketidakadilan. Seruan jihad tadi, seperti terlihat
dalam pertempuran 10 Nopember 1945 bukan hanya efektif dalam menggerakkan massa
untuk mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga di luar prediksi Belanda dan
Inggris yang memang dari awal mengenal NU sebagai organisasi yang cukup
kompromistis dan moderat.[10]
Sikap tidak mau kompromi seperti itu, seperti diungkapkan oleh Dr. ‘Ali Sami’
Nasyar, sejarawan Mesir, juga pernah diperlihatkan dalam sikap ‘pengharaman’ memakai
celana panjang yang dianggap sebagai simbol peradaban penjajah, dan sebagai
gantinya masyarakat Islam diharuskan menggunakan ‘sarung’.[11]
NU semakin menancapkan
kukunya di bidang politik praktis ketika menyatakan bahwa ia secara
organisatoris memisahkan diri dari Partai Masyumi pada 8 April 1952 dan
beberapa bulan kemudian secara independen menyatakan diri sebagai organisasi
sosial politik. Saat itu NU berpendapat bahwa ada kepentingan umat Islam
tradisional yang sangat besar yang tidak terakomodir oleh parpol yang ada, dan
Pemilu 1955 adalah momentum tepat dan pintu masuk untuk merealisasikan
kepentingan tersebut. Dengan menjadi partai politik, NU pun menjadi peserta
pemilu dan berhasil menduduki posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi dari empat
(4) besar partai yang ada (dalam posisi keempat adalah Partai Komunis
Indonesia).
A. Khittah Nahdlatul
Ulama
Upaya Nahdlatul Ulama berjuang
lewat politik memang tidak sia-sia, karena ia berhasil menduduki peringkat
ketiga dalam perolehannya pada Pemilu
1955. Tapi, keberhasilan ini berkonsekuensi pada tersedotnya seluruh tenaga dan
pikiran dicurahkan ke bidang yang satu ini. Timbul penilaian dari beberapa
aktivis dan para ulama NU bahwa NU semakin jauh meninggalkan bidang-bidang
garapan hakikinya yang tidak kalah potensial. Pendidikan yang menjadi garapan
utama NU, misalnya, seolah ditinggalkan. Kekecewaan yang muncul di kalangan para ulama
NU makin membesar, karena di samping banyak garapan yang terbengkalai, juga
karena para aktivis politik NU seolah kurang menjiwai kultur NU. Dalam ungkapan
seorang ulama NU: “NU secara tiba-tiba dipenuhi
oleh orang-orang yang tidak mengerti hakikat dan jati diri NU”. Saat itu para
ulama NU kecewa melihat begitu banyaknya orang mengaku NU tetapi perilakunya
tidak mencerminkan budaya NU.[12]
Para ulama melihat bahwa
di saat NU menjadi partai politik, kondisi sosial keagamaan masyarakat Islam
Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menggembirakan.
Pemerintah mendirikan ratusan mesjid, menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi
Muhammad saw., dan lainnya. Tetapi, realitas tersebut tidak diimbangi dengan
membaiknya kualitas keagamaan masyarakat Islam Indonesia. Banyak anggota masyarakat
Islam yang tidak mempunyai komitmen keagamaan yang tinggi. Korupsi uang negara merajalela,
kejahatan terjadi di mana-mana, penebangan hutan liar tanpa tindakan hukum dan moralitas
masyarakat makin menurun.[13]
Di
masa Orde Baru berkuasa, hal itu telah diperparah oleh tidak sehatnya kondisi
politik yang ada, karena pemerintah telah melakukan political engineering
sebagai mekanisme menjaga kekuasaannya. Pada pemilu 1971, pemerintah berusaha
untuk memenangkan Golkar, orpol yang dibentuknya, untuk melegitimasi
kekuasaannya. Dengan dibantu kalangan birokrasi dan tentara, organisasi politik[14]
baru ini berhasil mengalahkan partai-partai lainnya. Upaya itu ditindaklanjuti
dengan mengeluarkan policy “masa mengambang” (floating mass) yang
berusaha membatasi dan menjauhkan masyarakat dari politik. Ini artinya,
dukungan terhadap partai politik oleh masyarakat dipotong, karena masyarakat dibolehkan
terlibat dalam politik hanya 5 tahun sekali, yakni waktu pemilu.
Apa
yang tak kalah penting dari politik otoriter pemerintah adalah memaksa 4 partai
Islam menjadi satu, yaitu menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan
partai-partai yang berideologi nasionalis dan non Islam menjadi Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), sehingga selama Orde Baru berkuasa, hanya ada 3
organisasi politik, yakni dua partai tadi plus Golkar sebagai partai
pemerintah. Situasi ini tidak sehat, bukan saja karena partisipasi politik
masyarakat dibatasi, tetapi juga pemerintah ikut campur dalam mengatur
masalah-masalah internal partai, terutama siapa yang boleh memimpin partai.
Situasi ini digambarkan oleh KH. Muchit Muzadi:
“Sistem
kepartaian dan politik saat itu sudah tidak demokratis. Pemerintah hanya
membatasi dua partai dan satu organisasi politik—Golkar—yang tidak mau disebut
partai. Ini sistem kepartaian yang tidak sehat. Partai-partai yang berpaham
nasionalis dan non muslim diringkas dan diringkus menjadi PDI. Partai-partai
yang berpaham Islam diringkas dan diringkus menjadi PPP. Sedangkan UU
kepartaian dan lainnya memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk mengatur,
hingga mengatur pengurus partai sekalipun!”[15]
Situasi
ini dirasakan oleh NU sebagai tidak kondusif bagi pembangunan politik bangsa,
terlebih NU sendiri telah dijadikan sasaran penggembosan oleh Orde Baru, karena
NU mempunyai kekuatan massa yang sangat besar di antara kelompok dan ormas yang
ada, dan cukup solid. Dengan situasi seperti ini memang berat untuk berjuang
lewat kancah politik, karena dua partai yang ada, yakni PPP dan PDI menjadi
tidak berdaya, mengingat Orde Baru terlalu kuat, bahkan juga ia bisa
mengintervensi partai-partai tadi.
Dihadapkan
pada situasi ini, di kalangan ulama dan aktivis NU muncul pikiran-pikiran untuk
kembali ke khittah NU, yakni NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Gagasan
ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, sejak NU menjadi partai
politik pada 1952, berbagai koreksi, kritik serta usulan telah muncul dalam
upaya meluruskan NU agar sesuai dengan khittahnya. Pada Muktamar NU Ke-22 di
Jakarta pada bulan Desember 1959, PC NU Mojokerto yang diwakili oleh KH. Ahmad
Achyat Khalimi menggulirkan gagasan perlunya NU kembali menekuni bidang sosial
keagamaan seperti terumuskan ketika NU didirikan pada 1926. Usulan itu muncul
begitu saja tanpa ada penjelasan yang memadai, sehingga gagasan bagus ini
diterjemahkan PBNU sebagai “warning”, sebatas mengembalikan NU kepada
semangat ‘ubûdiyah pada 1926.[16]
Gagasan
yang kemudian menjadi desakan agar NU kembali menjadi organisasi sosial
keagamaan ini muncul kembali pada saat berlangsung Muktamar NU ke-26 di
Semarang bulan Juni 1979. Tapi, desakan yang sempat membesar dan menguat ini
ternyata tidak sampai menjadi agenda pembahasan, meskipun KH. Ahmad Shiddiq
berhasil menuangkan gagasannya: Risâlah khiththâh Nahdliyyah dan
dibagikan kepada peserta Muktamar.[17]
Meskipun demikian, gagasan itu tetap hidup, terlebih setelah di awal 1980-an Nahdlatul
Ulama mengalami goncangan hebat. Dengan alasan makin tidak signifikannya peran
politik NU di PPP dan banyaknya bidang garapan sosial keagamaan yang terbengkalai
akibat terlalu konsentrasi di bidang politik praktis, beberapa kalangan NU yang
lebih muda melakukan gerakan-gerakan agar NU kembali ke khittahnya.
Pelopor
gerakan ini adalah Majelis 24 yang terdiri dari: Abdurrahman Wahid, Musthofa
Bisri, Fahmi D. Saifuddin, Muhammad Thohir, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Muchit
Muzadi, Slamet Effendi Yusuf, Said Budairi, M. Zamroni, Mahbub Junaidi,
Abdullah Syarwani, Masdar F. Mas’udi, Asip Hadi Pranata, M. Tholhah Hasan, HM.
Munasir, Saiful Mudjab, Umar Basalim, Cholil Musaddad, Gaffar Rahman, Ichwan
Sjam, Musa Abdillah, Musthofa Zuhad, Danial Tanjung, dan Ahmad Bagdja. Mereka
mengadakan pertemuan di hotel Hasta dan membentuk Tim 7 untuk pemurnian Khittah
yang diketuai oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan anggota Zamroni, Fahmi
D. Saifuddin, Said Budairi, Ahmad Baghja, Mahbub Junaidi dan Danial Tandjung.
Kemudian proses perumusan Khittah diteruskan dan mengalami penyempurnaan
pada saat Munas Alim Ulama di Situbondo pada 1983.
Apa
yang dilakukan Tim 7 berhasil meyakinkan banyak orang, dan menggiring bagi
disepakatinya apa yang disebut ‘kembali ke khittah’. Pada Munas Alim Ulama di
Situbondo bulan Desember 1983, para ulama berhasil menyepakati untuk
mempertegas pokok-pokok pikiran ‘Khittah NU’. Dalam pokok-pokok pikiran
tersebut dinyatakan bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan yang tidak
berafiliasi terhadap partai politik manapun. Ini adalah penegasan sikap
mengundurkan diri (dissociation) dari PPP, mengingat saat itu NU adalah
salah satu unsur penting dalam partai Islam itu. Meskipun demikian, NU
memperbolehkan warganya untuk berpolitik dan berafiliasi dengan partai manapun
selain PPP. Meskipun pada awalnya, hasil Munas Alim Ulama ini menimbulkan
kontroversi di lingkungan internal NU, tetapi rumusan tersebut berhasil di bawa
ke Muktamar NU ke-27 pada 1984 di tempat yang sama (baca: Situbondo) yang
melahirkan rumusan naskah Khittah Nahdlatul Ulama.
B. Gerakan Menuju Perumusan
Khittah NU
Seperti
sudah disebutkan di atas, keterlibatan NU dalam politik praktis telah
menyebabkan terbengkalainya bidang-bidang lain yang harus digarapnya. Hampir
semua tokoh NU, terutama generasi mudanya lebih memperhatikan apa yang terjadi
dalam dunia politik, sehingga political mindedness mewarnai watak dan
tingkah laku mereka. Semua orang bicara dan mempersiapkan diri untuk berjuang
lewat politik NU. Situasi ini, secara tepat digambarkan oleh seorang tokoh NU
sebagai berikut:
“Ada sebuah keluarga
yang mempunyai toko di sebelah rumahnya. Keluarga itu juga punya kebun, ternak,
dan lainnya. Alhasil, ia mempunyai banyak usaha. Ketika lagi trend usaha
transportasi, keluarga tersebut juga membuka usaha transportasi. Maka ia
membuat garasi besar tempat menyimpan mobil-mobil yang dijadikan usaha
transportasinya. Dalam perkembangannya, usaha baru ini mengalami kesuksesan
luar biasa, mengalahkan usaha-usaha lain yang dimilikinya. Perkembangan yang
pesat itu, mengakibatkan semua anggota keluarga tersebut jatuh hati terhadap
bisnis transportasi ini dan kerasan berada di garasi. Waktu pun terfokus ke
usaha transportasi. Anggota keluarga yang biasanya mengurus sawah ikut berada
di garasi. Anggota keluarga yang lain pun meninggalkan kebunnya, warungnya dan
semuanya tertarik berada di garasi. Bahkan rumahnya pun kosong, kumuh, hingga kursi-kursi diambil orang.
Semuanya tidak terurus karena sibuk berada di garasi.
Padahal tidak semua anggota keluarga yang
berada di garasi itu berfungsi. Setiap hari ada anggota yang kerjaannya hanya
memegang klakson, memegang setir mobil, dan lainnya. Maka pada 1959, salah satu
anggota keluarga, Kiai Ahmad Achyat Khalimi Mojokerto mengusulkan agar garasinya
ditutup saja, karena sawah keluarga tidak ada yang menggarap, kursi hilang
semua. Anggota keluarga yang lain, KH. Idham Khalid mengatakan, “Tidak perlu
ditutup, pokoknya yang biasa buka toko, ya dibuka lagi tokonya, yang lain juga
begitu. Yang penting tidak semuanya berada di garasi, tapi juga harus ada yang
nungguin garasi.”[18]
Tarik
menarik antar keinginan tetap terlibat dalam politik dan dorongan sebagian
warga NU utnuk meninggalkan politik berakhir setelah Muktamar Situbondo
mendudukkan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang secara organisatoris
tidak terlibat dalam politik. Tapi, apa yang cukup penting dari hasil Muktamar
Situbondo adalah dirumuskannya Khittah NU yang bisa dijadikan landasan
berkiprah warga NU.
Khittah
yang berarti landasan atau garis-garis yang harus diikuti warga NU sebenarnya
sudah ada sejak pertama kali NU didirikan. Ini, setidaknya bisa dilihat dari
bagaimana pola pikir yang harus dipunyai warga NU sebagai penganut Ahlussunnah
wal Jama’ah. Juga, NU telah merumuskan prinsip-prinsip pembentukan umat yang
unggul (khayr ummah). Tetapi, rumusan ini belum secara komprehensif
eksplisit, sehingga tidak mudah terbaca oleh semua warganya. Karena itu,
rumusan khittah NU yang dihasilkan oleh Muktamar Situbondo adalah hasil
reaktualisasi dan revitalisasi khittah NU yang biasanya baru bersarang dalam
pikiran para ulama NU dan terekspresikan dalam tingkah laku mereka. Reaktualisasi
artinya rumusan khittah yang ada telah disesuaikan dengan peran kelembagaan
sosial yang ada, sehingga dalam khittah ini terangkum nilai-nilai yang tidak
terpikirkan sebelumnya.
Rumusan Khittah NU itu sebagai
berikut:
KHITTAH NU
Motto: QS. al-Mâidah:
48—49
MUQADDIMAH
- Kesadaran
atas keharusan hidup bermasyarakat dengan persyaratannya.
- NU:
Jamiyah Diniyah berfaham ahlussunnah wal jamaah, berhaluan salah satu dari
madzhab empat
- NU:
gerakan keagamaan meningkatkan kualitas insan bertakwa.
- Dalam
berupaya mencapai cita-cita NU, terbentuklah kepribadian khas NU yang
kemudian disebut sebagai Khittah NU.
PENGERTIAN
- Khittah
NU: Landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU.
- Landasan
ini ialah faham ahlussunnah wal jamaah yang diterapkan menurut kondisi
kemasyarakatan di Indonesia.
- Khittah
NU juga digali dari intisari sejarah NU
DASAR-DASAR
FAHAM KEAGAMAAN NU
a.
NU mendasarkan
paham keagamaannya kepada sumber-sumber al-Quran, al-Sunnah. Al-Ijma’ dan
al-Qiyas.
b.
NU menggunakan
“jalan pendekatan’ (al-madzhab):
1.
Di bidang akidah
mengikuti faham ashlussunnah wal jamaah yang dipelopori oleh Imam al-Asy’ari
dan al-Maturidi.
2.
Di bidang fiqih
mengikuti salah satu dari madzhab empat.
3.
Di bidang tasawuf
mengikuti antara lain Imam Baghdadi, Imam Ghazali dan imam-imam lain.
c.
NU mengikuti
pendirian bahwa Islam adalah agama fitri, menyempurnakan nilai-nilai yang baik
yang ada pada manusia, ciri-ciri yang baik milik sesuatu kelompok manusia dan
tidak menghapusnya.
SIKAP
KEMASYARAKATAN NU
a.
Sikap tawasstuh
dan i’tidal:
1.
Sikap tengah
berintikan keadilan di tengah kehidupan bersama.
2.
menjadi kelompok
panutan, bertindak lurus, bersifat membangun, tidak ekstrem.
- Sikap
tasamuh:
1.
Toleran di dalam
perbedaan pendapat keagamaan.
2.
Toleran di dalam
urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.
- Sikap
tawazun:
1.
Keseimbangan dalam
berkhidmat kepada Allah SWT., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada
lingkungan hidup.
2.
Keselarasan antara
masa lalu, masa kini dan masa depan.
- Amar
ma’ruf nahi munkar:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar