Minggu, 18 Maret 2012

Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur'an, Talqin dan Tahlil untuk orang yang telah wafat


Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur'an, Talqin
dan Tahlil  untuk orang yang telah wafat

Daftar isi Bab 5 ini diantaranya:
·  Dalil-dalil Ziarah kubur 
·  Ziarah kubur bagi wanita 
·  Adab berziarah dan berdo'a didepan pusara Rasulallah saw.
·  Dalil-dalil yang melarang ziarah kubur dan jawabannya.
·  Pembacaan Al-Qur’an di kuburan dan hadiah pahala bacaan untuk orang yang telah wafat
·  Keterangan dari Ustadz Quraish Shihab
·  Fatwa-fatwa ulama Syafi'iyah 
·  Celaan orang yang tidak setuju dengah hadiah pahala bacaan
·  Contoh-contoh fatwa imam Syafi'i yang ditahqiq (dikritisi) kembali
·  Pahalanya membaca Al-Qur’an
·  Amalan orang hidup yang bermanfaat bagi si mayyit
·  Kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat
·  Talqin (mengajari dan memberi pemahaman/peringatan) mayyit yang baru dimakamkan 
·  Pembacaan Tahlil/Yasinan
·  Keterangan singkat tentang Haul (peringatan tahunan)
·  Haul ala Wahabi/Salafi
·  Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
·  Pahala sedekah untuk orang yang telah wafat 
·  Pahala Puasa dan Sholat untuk orang yang telah wafat 
·  Pahala Haji untuk orang yang telah wafat
·  Keterangan singkat sholat jenazah yang ghoib
·  Membangun masjid disisi kuburan
·  Memberi penerangan terhadap kuburan
·  Membangun kubbah diatas kuburan


{{Buku baru yang berjudul kAMUS SYIRIK (Edisi Revisi Telaah kritis atas doktrin faham Salafi/Wahabi)  setebal 512 halaman, ukuran 17x25cm, ALHAMDULILLAH SUDAH TERBIT BULAN AGUSTUS 2009. Buku ini belum beredar merata pada toko-toko buku di Indonesia. Bagi peminat bisa langsung hubungi toko-toko di jalan Sasak. Surabaya-Indonesia, di toko Gramedia atau hubungi pengedarnya (62) 031 60604235.
Daftar Isi kitab kamus syirik ,mengingat jumlah halaman buku, tidak selengkap isi website kami ini, tetapi cukup untuk menjelaskan dalil-dalil amalan yang dikerjakan oleh golongan ahlus Sunnah wal jamaah dan amalan yang sering diteror oleh golongan pengingkar, misalnya tawassul/tabarruk, taklid imam madzhab, ziarah kubur, peringatan2 keagamaan, majlis dzikir dan lain sebagainya}}.  


Setiap kaum muslimin mengetahui kewajibannya terhadap saudara kita muslimin yang telah wafat yaitu harus memandikannya, mensalatkannya dan mengantarkannya sampai keliang kubur. Ini adalah merupakan fardhu kifayah (kewajiban bila telah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban seluruh muslimin).  
Insya Allah dengan adanya kutipan dan kumpulan dalil-dalil di bab ini, cukup jelas bagi kaum muslimin bahwa; ziarah kubur, membaca ayat suci al-Qur’an yang pahalanya di hadiahkan pada si mayit dan sebagainya, itu semua menurut tuntunan syariat Islam yang benar serta diamalkan oleh para salaf dan para pakar Islam.

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:

اَنَّ النَّبِيَّ .صَ. كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِِ الْمُتَوَفَّّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْألُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِـهِ فَضْلا ؟                      
 فَاِنْ حُدَِّث اَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى, وَاِلاَّ قَاَل لِلْمُسْـلِمِيْنَ  "صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ" (رواه البخاري و مسلم)      

Artinya: “Bahwa seorang lelaki yang wafat dalam keadaan berhutang, disampaikan beritanya pada Nabi saw. Maka Nabi saw menanyakan apakah ia ada meninggalkan kelebihan buat membayar hutangnya. Jika dikatakan bahwa ia ada meninggalkan harta untuk membayarnya, maka beliau menyalatkannya. Jika tidak beliau akan memerintahkan kaum muslimin; ‘Shalatkanlah teman sejawatmu’ “.
Begitu juga masih banyak hadits yang menyebutkan pahala orang yang menyalatkan mayat dan mengantarkannya sampai keliang kubur.
           
Shalat jenazah juga mempunyai rukun-rukun yang dapat mewujudkan hakikatnya, hingga bila salah satu rukun tersebut tidak terpenuhi, maka ia dianggap kurang sempurna oleh syara’. Jumlah rukun-rukun tersebut menurut ahli fiqih ada delapan. Sudah tentu yang pertama niat, takbir dan terakhir salam, sebagaimana syarat dari semua macam shalat. Diantara rukun-rukun tersebut yaitu do’a untuk si mayat tersebut.

Sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abud Daud dan Baihaqi serta disahkan oleh Ibnu Hibban sebagai berikut :  

اِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاء(رواه أيو داود والبيهقي وابن الحبّان وصححه)

Artinya: “Jika kamu menyalatkan jenazah, maka berdo’alah untuknya dengan tulus ikhlas”.

Banyak juga riwayat hadits Rasulallah saw yang mengajarkan kita kalimat-kalimat doa yang diucapkan dalam shalat jenazah tersebut. Rasulallah saw menganjurkan pada kaum muslimin yang masih hidup untuk menyalatkan yang mana do’a itu sebagai salah satu rukun daripadanya pada saudaranya muslim-muslimah yang wafat. Ini membuktikan bahwa semua amalan-amalan tersebut di antaranya do’a pengampunan dan lain sebagainya sangat bermanfaat baik bagi si mayat khususnya maupun kaum muslimin yang menyalatinya. Juga menunjukkan bahwa kita harus doa mendoakan sesama kaum muslimin baik waktu masih hidup atau sudah wafat,  bukan sesat mensesatkan, kafir mengafirkan antara sesama muslimnya. Doa ini tidak hanya dianjurkan pada waktu shalat jenazah saja, tapi untuk setiap waktu baik setelah shalat wajib atau dalam hidup sehari-hari, sebagaimana banyak hadits yang mengungkapkan hal tersebut dan ayat-ayat Qur’an yang menyebutkan do’a-do’a yang diucapkan oleh manusia, baik untuk pribadi mereka sendiri maupun untuk muslimin lainnya.

Dalil-dalil Ziarah Kubur 
Ziarah kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw., sebagaimana hadits dari Sulaiman bin Buraidah yang diterima dari bapaknya, bahwa Nabi saw bersada:

         كُنْتُ نَهَيْتُكُم عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ, فَزُورُوهَا, وَفِي                                                   
                                                                           رِوَايَةٍ..... فَإنَّهَا تُذَكِّرُ بالآخرة     
        
Artinya:Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, namun kini berziarahlah kalian!. Dalam riwayat lain; ...‘(Maka siapa yang ingin berziarah kekubur, hendaknya berziarah), karena sesungguhnya (ziarah kubur)  itu mengingatkan kepada akhirat’.  (HR.Muslim)
       
– Juga ada hadits yang serupa diatas tapi berbeda sedikit versinya dari Buraidah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: 
“Dahulu saya melarang kalian menziarahi kubur, sekarang telah di-izinkan dengan Muhammad untuk berziarah pada kubur ibunya, karena itu berziarahlah ke perkuburan, sebab hal itu dapat mengingatkan pada akhirat”. (HR. Muslim [lht.shohih Muslim jilid 2 hal.366 Kitab al-Jana’iz], Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i, Ahmad).

– Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulallah saw. bersabda: 
“Saya pernah melarang kamu berziarah kubur, maka berziarahlah padanya dan jangan kamu mengatakan ucapan yang mungkar [Hajaran]”. (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits nr. 603 jilid 1 hal. 217)

Hadits-hadits tadi, jelaslah bahwa awal mulanya Nabi saw. melarang ziarah kubur namun kemudian membolehkannya setelah turunnya pensyariatan (legalitas) ziarah kubur dari Allah swt Dzat Penentu hukum (Syari’ al-Muqaddas). 
Anjuran sunnah untuk berziarah itu berlaku baik untuk lelaki maupun wanita. Karena dalam hadits itu tidak disebutkan kekhususan hanya untuk kaum pria saja. 

– Dalam kitab Makrifatul as-Sunan wal Atsar jilid 3 halaman 203 bab ziarah kubur disebutkan bahwa Imam Syafi’i telah mengatakan: “Ziarah kubur hukumnya tidak apa-apa (boleh). Namun sewaktu menziarahi kubur hendaknya tidak mengatakan hal-hal yang menyebab kan murka Allah”. 

–  Al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Ala as-Shahihain jilid 1 halaman 377 menyatakan: “Ziarah kubur merupakan sunnah yang sangat di tekankan”.
Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam kitab-kitab para ulama dan tokoh Ahlusunah seperti Ibnu Hazm dalam kitab al-Mahalli jilid 5 halaman 160; Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin jilid 4 halaman 531; Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fikh alal Madzahibil Arba’ah jilid 1 halaman 540 (dalam penutupan kajian ziarah kubur) dan banyak lagi ulama dari Ahlusunah lainnya. Atas dasar itulah Syeikh Manshur Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid 1 halaman 381 menyatakan: “Menurut mayoritas Ahlusunah dinyatakan bahwa ziarah kubur adalah sunnah”.

Selain riwayat diatas, masih ada lagi hadits Nabi saw. yang memerintahkan untuk ziarah kubur, tapi kami hanya ingin menambahkan dua hadits lagi, insya Allah  akan lebih jelas buat pembaca bahwa ziarah kubur dan pemberian salam terhadap ahli kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw.

– Hadits dari Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulallah saw. melewati perkuburan di kota Madinah maka beliau menghadapkan wajahnya pada mereka seraya mengucapkan: ‘Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah atas kalian wahai penghuni perkuburan ini, semoga Allah berkenan memberi ampun bagi kami dan bagi kalian. Kalian telah mendahului kami dan kami akan menyusul kalian’. (HR. Turmudzi).

–  Hadits dari Aisyah ra.berkata:

كَانَ النَّبِي .صَ. كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتَهَا يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إلَى الْبَقِيْعِ فَيَقُوْلُ:              
 السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَ ار قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ, وَاَتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا مُؤَجِّلُوْنَ,                    
 وَاِنَّا اِنْشَا ءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ اللهُمَّ اغْفِرْ ِلاَهْلِ بَقِيْعِ الْفَرْقَدْ (رواه المسلم)             

Artinya: “Adalah Nabi saw. pada tiap malam gilirannya keluar pada tengah malam kekuburan Baqi’ lalu bersabda: ‘Selamat sejahtera padamu tempat kaum mukminin, dan nanti pada waktu yang telah ditentukan kamu akan menemui apa yang dijanjikan. Dan insya Allah kami akan menyusulmu dibelakang. Ya Allah berilah ampunan bagi penduduk Baqi’ yang berbahagia ini’”. (HR. Muslim).


Ziarah kubur bagi wanita
Golongan madzhab Wahabi/Salafi (pengikut paham syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab) melarang wanita ziarah kubur dengan berpegang kepada kalimat hadits yang diriwayatkan di kitab-kitab as-Sunan -kecuali Bukhori dan Muslim- yaitu: “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” ( kitab Mushannaf Abdur Razzaq jilid 3 hal. 569). 

Sebenarnya hadits ini telah dihapus (mansukh) dengan hadits yang menyebutkan bahwa ‘Aisyah ra. menziarahi kuburan saudaranya, yang diungkapkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra, Abdurrazaq dalam kitab Mushannaf, al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Alas Shahihain dan hadits riwayat Imam Muslim (lihat catatan pada halaman selanjutnya ). 

Begitu juga jika kita teliti lebih detail lagi, ternyata sanad hadits yang menyebutkan “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” itu melalui tiga jalur utama: 1. Hasan bin Tsabit. 2. Ibnu Abbas dan 3. Abu Hurairah [ra]. 

Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 502 menukil hadits tersebut melalui tiga jalur diatas.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 menukil hadits tersebut melalui dua jalur yaitu Hasan bin Tsabit (Lihat jilid 3 halaman 442) dan Abu Hurairah (Lihat jilid 3 halaman 337/356). At-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 2 halaman 370 hanya menukil dari satu jalur saja yaitu Abu Hurairah. Abu Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud jilid 3 halaman 317 hanya menukil melalui satu jalur saja yaitu Ibnu Abbas. 
Sedangkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits itu sama sekali. Begitu juga –jika dilihat dari sisi jalur sanad haditsnya– tidak ada kesepakatan di antara para penulis kitab as-Sunan dalam menukil hadits tersebut.
Ibnu Majah, Imam Ahmad bin Hanbal dan Turmudzi sepakat meriwayatkan melalui jalur Abu Hurairah. Sedangkan dari jalur Hasan bin Tsabit hanya dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad saja, sedangkan jalur Ibnu Abbas dinukil oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.

Dari jalur pertama yang berakhir pada Hasan bin Tsabit –yang dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad– terdapat pribadi yang bernama Abdullah bin Utsman bin Khatsim. Semua hadits yang diriwayatkan olehnya dihukumi tidak kuat/lemah. Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daruqi dari Ibnu Mu’in. Ibnu Abi Hatim sewaktu berbicara tentang Abdullah bin Utsman tadi menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Utsman tidak dapat dijadikan dalil. An-Nasa’i dalam menjelaskan kepribadian Ibnu Usman tadi mengatakan: “Ia sangat mudah meriwayatkan (menganggap remeh periwayatan.-red) hadits” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 459). Dan melalui jalur tersebut juga terdapat pribadi seperti Abdurrahman bin Bahman. Tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Ibnu Khatsim. Ibnu al-Madyani mengatakan: “Aku tidak mengenal pribadinya” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 551).

Dari jalur kedua yang berakhir pada Ibnu Abbas ra. terdapat pribadi seperti Abu Shaleh yang aslinya bernama Badzan.
Abu Hatim berkata tentang dia: “Hadits-hadits dia tidak dapat dipakai sebagai dalil”. An-Nasa’i menyatakan: “Dia bukanlah orang yang dapat dipercaya”. Ibnu ‘Adi mengatakan: “Tak seorang pun dari para pendahulu yang tak kuketahui dimana mereka tidak menunjukkan kerelaannya (ridho) terhadap pribadinya (Badzan)” (Lihat kitab Tahdzib al-Kamal jilid 4 halaman 6).

Dari jalur ketiga yang berakhir pada Abu Hurairah ra terdapat pribadi seperti Umar bin Abi Salmah yang an-Nasa’i mengatakan tentang dirinya: “Dia tidak kuat (dalam periwayatan .red)”. Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil”.  Ibnu Mu’in mengatakan: “Dia orang yang lemah”. Sedangkan Abu Hatim menyatakan: “Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil” (Lihat kitab Siar A’lam an-Nubala’ jilid 6 halaman 133).

Mungkin karena sanad haditsnya tidak sehat inilah akhirnya Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits tadi. Bukankah dua karya besar itu memiliki gelar shahih sehingga terhindar dari hadits-hadits yang tidak jelas sanadnya? Melihat hal-hal tadi maka hadits pelarangan ziarah kubur buat perempuan di atas tadi tidak dapat dijadikan dalil pengharaman.

– Salah seorang ulama madzhab Wahabi/Salafi yang bernama syeikh Nashiruddin al-Albani pernah menyatakan tentang hadits pelaknatan penziarah wanita tadi dengan ungkapan berikut ini:
“Di antara sekian banyak hadits tidak kutemui hadits-hadits yang menguatkan hadits tadi. Sebagaimana tidak kutemui hadits-hadits lain yang dapat memberi kesaksian atas hal tersebut. Hadits ini adalah penggalan dari hadits: “Laknat Allah atas perempuan-perempuan yang menziarahi kubur dan orang-orang yang menjadikannya (kuburan) sebagai masjid dan tempat yang terang benderang” yang disifati sebagai hadits lemah (Dha’if). Walau pun sebagian saudara-saudara dari pengikut Salaf (baca: Wahabi) suka menggunakan hadits ini sebagai dalil. Namun saya nasehatkan kepada mereka agar tidak menyandarkan hadits tersebut kepada Nabi, karena hadits itu adalah hadits yang lemah (Lihat kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah wa Atsaruha as-Salbi fil Ummah halaman 260).

Tetapi sayangnya sampai sekarang bisa kita lihat dan alami kaum wanita –pelaksana haji atau umrah di Makkah dan Madinah– , masih tetap dilarang oleh ulama Madzhab Wahabi untuk berziarah di kuburan Baqi’ (Madinah) dan di Ma’la (di Makkah), untuk menziarahi makam para keluarga dan sahabat Rasulallah saw.. Mereka menvonis saudara-saudara mereka sesama muslim dengan sebutan penghamba Kubur (Quburiyuun), bahkan mereka berkepala keras menyatakan bahwa ziarah kubur bagi perempuan adalah haram menurut ajaran Rasulallah saw dan para Salaf Sholeh ?

Menurut ahli fiqh, adanya hadits yang melarang wanita ziarah kubur bila ini shohih, karena umumnya sifat wanita itu ialah lemah, sedikitnya kesabaran sehingga mengakibat- kan jeritan tangis yang meraung-raung (An-Niyahah), menampar pipinya sendiri dan perbuatan-perbuatan jahiliyah dikuburan itu, yang mana ini semua tidak dibenarkan oleh agama Islam. Begitu juga sifat wanita senang berhias atau mempersolek dirinya sedemikian rupa atau tidak mengenakan hijab sehingga dikuatirkan –dengan campur baurnya antara lelaki dan wanita– mereka ini tidak bisa menjaga dirinya dikuburan itu sehingga menggairahkan para ziarah kaum lelaki.
Hal tersebut dipertegas dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 2/142. Begitupun juga Al-Hafidz Ibnu Arabi (435-543H), pensyarah hadits Turmudzi dalam mengomentari masalah ini berkata:  "Yang benar adalah bahwa Nabi saw. membolehkan ziarah kubur untuk laki-laki dan wanita. Jika ada sebagian orang menganggapnya makruh bagi kaum wanita, maka hal itu dikarenakan lemahnya kemampuan wanita itu untuk bersikap tabah dan sabar sewaktu berada diatas pekuburan atau dikarenakan penampilannya yang tidak mengenakan hijab (menutup aurat nya) dengan sempurna".
Kalimat semacam diatas juga dinyatakan dalam kitab at-Taajul Jami’ lil Ushul jilid 2 halaman 381, atau kitab Mirqotul Mafatih karya Mula Ali Qori jilid 4 halaman 248.

Rasulallah saw. membolehkan dan bahkan menekankan kepada umatnya untuk menziarahi kubur, hal itu berarti mencakup kaum perempuan juga. Walau dalam hadits tadi Rasulallah saw. menggunakan kata ganti (Dhamir) lelaki, namun hal itu tidak lain dikarenakan hukum kebanyakan (Taghlib) pelaku ziarah tersebut adalah dari kaum lelaki. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Mula Ali Qori dalam kitab Mirqotul Mafatih jilid 4 halaman 248 dan at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3 halaman 372 hadits ke-1056. Kalaupun kita harus berbicara tentang jumlah obyek yang diajak bicara (mukhatab), terbukti dalam tata bahasa Arab walau ada seribu perempuan dan lelaki hanya segelintir saja jumlahnya, maka kata ganti yang dipakai untuk berbicara kepada semua –yang sesuai dengan tata bahasa yang baik dan benar– yang hadir tadi adalah menggunakan kata ganti lelaki.  
Jadi kesimpulannya ialah ziarah kubur itu tidak disunnahkan untuk wanita bila para wanita diwaktu berziarah melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama atau dimakruhkan seperti yang tersebut diatas, tapi kalau semuanya ini bisa dijaga dengan baik, maka tidak ada halangan bagi wanita tersebut untuk berziarah kubur seperti halnya kaum lelaki. Dengan demikian bukan ziarah kuburnya yang dilarang, tetapi kelakuan wanita yang berziarah itulah yang harus diperhatikan.

Mari kita lanjutkan dalil-dalil mengenai ziarah kubur bagi wanita: 
– Imam Malik, sebagian golongan Hanafi, berita dari Imam Ahmad dan kebanyakan ulama memberi keringanan bagi wanita untuk ziarah kubur. Mereka berdasarkan sabda Nabi saw. terhadap Aisyah ra. yang diriyatkan oleh Imam Muslim. Beliau saw. didatangi malaikat Jibril as. dan disuruh menyampaikan kepada Aisyah ra.sebagai berikut : 

إنَّ رَبَّك بِأمْرِك أنْ تَـأتِيَ أهْلَ البَقِيْع وَتَسْتَغْفِرِلَهُمْ                   

Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka”.

Kata Aisyah ra; 'Wahai Rasulallah, Apa yang harus aku ucapkan bila berziarah pada mereka'? Sabda beliau saw. :

قُوْلِيْ: السَّـلاَمُ عَلََى أهْـلِ الدِّيَـارِ مِنَ المُؤْمِنـِيْنَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ الله المُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسْتَأخِرِيْنَ, وَإنَّا إنْشَاءَ الله بِكُمْ لآحِقُوْنَ

Artinya:Ucapkanlah; salam atasmu wahai penduduk kampung, dari golongan mukminin dan muslimin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik yang telah terdahulu maupun yang terbelakang, dan insya Allah kami akan menyusul kemudian’ “. 

Untuk lebih jelasnya hadits yang dimaksud diatas adalah bahwasanya Nabi saw. bersabda pada Aisyah ra.: 
“Jibril telah datang padaku seraya berkata: ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka.’ Kata Aisyah; ‘Wahai Rasulallah, apa yang harus aku ucapkan bagi mereka? Sabda beliau saw: ‘Ucapkanlah: Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah bagi para penduduk perkuburan ini dari orang-orang beriman dan orang-orang Islam, semoga Allah merahmati orang-orang kami yang terdahulu maupun yang terkemudian, insya Allah kamipun akan menyusul kalian’ “. (HR.Muslim) 
Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Semoga salam sejahtera senantiasa tercurahkan bagi para penghuni perkuburan dari orang-orang beriman dan Islam, dan kamipun insya Allah akan menyusul kalian, kami berharap semoga Allah berkenan memberi keselamatan bagi kami dan kalian’.                                    
           
Juga riwayat dari Abdullah bin Abi Mulaikah, bahwa pada suatu hari Aisyah datang dari pekuburan, maka dia bertanya: 
“Ya Ummul Mukminin, darimana anda? Ujarnya: Dari makam, saudaraku Abdurrahman. Lalu saya tanyakan pula: Bukankah Nabi saw. telah melarang ziarah kubur? Benar, ujarnya, mula-mula Nabi melarang ziarah kubur, kemudian menyuruh menziarahinya”. ( Adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra jilid 4 halaman 131, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf Abdurazaq jilid 3 halaman 572/574 dan dalam kitab Mustadrak alas Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadits ke-1392). Adz-Dzahabi telah menyatakan kesahihannya sebagaimana yang telah tercantum dalam catatan kaki yang ia tulis dalam kitab Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi tersebut. (Lihat: Mustadrak al-Hakim an-Naisaburi Jil:1 Hal: 374)  

Dalam kitab-kitab itu juga diriwayatkan bahwa Siti Fathimah Az-Zahrah ra, puteri tercinta Rasulullah saw. hampir setiap minggu dua atau tiga kali menziarahi para syuhada perang Uhud, khususnya paman beliau Sayyidina Hamzah ra.

Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi disebutkan: “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu (larangan ziarah kubur bagi perempuan) diucapkan sebelum Nabi saw membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah saw membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu”. (Sunan At-TIrmidzi: 976)

Aisyah ra. melakukan ziarah kubur, berarti apa yang dilakukan Aisyah adalah sebaik-baik dalil dalam mengungkap hakekat hukum penziarah kubur dari kalangan perempuan. Hal itu dikarenakan selain Aisyah sebagai istri Rasulallah saw. yang bergelar ummul mukminin (ibu kaum mukmin) sekaligus sebagai Salaf Sholeh. Karena Salaf Sholeh tidak hanya dikhususkan buat sahabat dari kaum lelaki saja, namun mencakup kaum perempuan juga (shahabiyah).
           
Hadits dari Anas bin Malik berkata:  
                                                                                        
          عَنْ أَنَسٍ إبْنِ مَالِكٍ (ر) مَارَ النَّبِيِّ (ص) بِأَمْرَأَةٍ تَبْكِي   عِنْدَ قَبْرِ   فَقَالَ: إِتَّقِي اللهَ واصْبِرِي , فَقَالَتْ: إلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ  بِمُصِيبَتِي وَلَمْ                                                  
تَعْرِفْـهُ, فَقِيْلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِيِّ (ص) فَاتَتْ بَابَـهُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِـينَ فَقَالَتْ لَمْ أعْرِفُكَ, فَقَالَ: إِنَّمَا الصَّبْرُ     عِنْدَ صَدَمَةِ الأُولَى

                                     .
Artinya: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berjalan melalui seorang wanita yang sedang menangis diatas kuburan. Maka Nabi saw. bersabda: ‘Takut lah kepada Allah dan sabarlah’.  Dijawab oleh wanita itu:  ‘Tinggalkanlah aku dengan musibah yang sedang menimpaku dan tidak menimpamu!’ Wanita itu tidak tahu kepada siapakah dia berbicara. Ketika dia diberitahu, bahwa orang yang berkata padanya itu adalah Nabi saw., maka ia segera datang ke rumah Nabi saw. yang kebetulan pada waktu itu tidak dijaga oleh seorang pun. Kata wanita itu: ‘Sesungguhnya saya tadi tidak mengetahui bahwa yang berbicara adalah engkau ya Rasulallah. Sabda beliau saw.: “Sesungguh nya kesabaran itu hanyalah pada pukulan yang pertama dari datangnya musibah’.  (HR Bukhori dan Muslim). Al-Bukhari memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur,” menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur. ( Shohih Al-Bukhari 3/110-116). 

Lihat hadits terakhir diatas ini, Rasulallah saw melihat seorang wanita dipekuburan dan tidak melarangnya untuk berziarah, hanya di anjurkan agar sabar menerima atas kewafatan anaknya (yang diziarahi tersebut).

– Al-Imam Al-Qurthubi berkata : “Laknat yang disebutkan didalam hadits adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafadhnya menunjukkan mubalaghah (berlebih-lebihan)”. Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak suami, berhias diri belebihan dan akan memunculkan teriakan, raungan-raungan dan semisalnya.Jika semua hal tersebut tidak terjadi, maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita untuk ziarah kubur, sebab mengingat mati diperlukan bagi laki-laki maupun wanita”. (Lihat: Al Jami’ li Ahkamul Qur`an).
 
Muhibbuddin at-Thabari pun dalam kitabnya yang berjudul ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2 halaman 330 menyebutkan bahwa: “ Suatu saat, ketika Umar bin Khatab (Khalifah kedua ) ra. bersama beberapa sahabatnya pergi untuk melaksanakan ibadah haji ditengah jalan ia berjumpa dengan seorang tua yang meminta tolong kepadanya. Sepulang dari haji kembali ia melewati tempat dimana orang tua itu tinggal dan menanyakan keadaan orang tua tadi. Penduduk daerah itu mengatakan: ‘Ia telah meninggal dunia’. Perawi berkata: Kulihat Umar bergegas menuju kuburan orang tua itu dan di sana ia melakukan shalat. Kemudian dipeluknya kuburan itu sambil menangis”.

Nah, insya Allah jelas bagi kita bahwa ziarah kubur itu sunnah Rasulallah saw. dan berlaku baik bagi lelaki maupun wanita. Sebab hikmah ziarah kubur adalah untuk mendapat pelajaran dan ingat akhirat serta mendoakan ahli kubur agar mendapat ampunan dari Allah swt. Ziarah kubur yang dilarang adalah menyembah dan meminta-minta kepada penghuni kubur. Adapun hadits yang menyatakan larangan ziarah kubur bagi wanita itu (mengenai hadits larangan ini silahkan rujuk uraian diatas) telah dicabut/dihapus dengan dalil-dalil berziarah baik laki-laki maupun perempuan adalah sunnah.

Yang lebih heran lagi kami pernah mendengar dari saudara muslim bahwa ada orang yang pergi ke tanah suci untuk menunaikan Haji atau Umrah tapi tidak mau ziarah pada junjungan kita Rasulallah saw., karena hal ini dianggap bid’ah sesat. Mungkin saudara-saudara kita ini mendapat kesalahan informasi tentang ziarah kubur. Kalau kita membaca keterangan tadi, banyak hadits shohih Rasulallah saw. yang menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah, berdo’a untuk si mayit baik pada waktu sholat jenazah maupun pada waktu berziarah tersebut, dengan tujuan agar kita lebih mengingat pada Allah swt., akhirat serta kita saling doa mendoa antara kaum muslimin baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. 
Kalau kita disunnahkan ziarah kubur pada kaum muslimin, bagaimana kita bisa melupakan ziarah kubur makhluk Ilahi yang paling mulya dan taqwa yakni Rasulallah saw. Tanpa beliau kita tidak mengetahui syariat-syariat Islam,  juga dengan berdiri dimuka (makam) beliau saw. kita akan lebih konsentrasi untuk ingat pada Allah dan Rasul-Nya !.

Adab berziarah dan berdo’a di depan (makam) Rasulallah saw.
Sebagaimana yang telah kami kemukakan tadi, bahwa adab berziarah ke kuburan orang muslimin yang diajarkan oleh Rasulallah saw. yaitu menghadapkan wajah kita kekuburan itu kemudian memberi salam dan berdo’a. Tetapi golongan Wahabi/Salafi yang menjaga disekitar makam Rasulallah saw. sering membentak orang-orang yang sedang berziarah agar waktu berdo’a harus menghadap ke kiblat.  
Padahal banyak fatwa ulama yang mengatakan, bahwa diperbolehkan bagi orang yang berziarah kemakam Rasulallah saw., berdiri mengucapkan do’a mohon kepada Allah swt. agar dikarunia kebajikan dan kebaikan apa saja yang di-inginkan, dan tidak harus menghadap kearah kiblat (Ka’bah). Berdiri seperti ini bukan bid’ah, bukan perbuatan sesat dan bukan pula perbuatan syirik. Para ulama telah menfatwakan masalah itu bahkan ada diantara mereka yang memandangnya mustahab/baik. 

Masalah tersebut pada mulanya berasal dari peristiwa yang dialami oleh Imam Malik bin Anas ra., yaitu ketika beliau mendapat tegoran dari Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur di dalam masjid Nabawi di Madinah. Ketika itu Imam Malik menjawab: “Ya Amirul-Mu’minin, janganlah anda bersuara keras di dalam masjid ini, karena Allah swt. telah mengajarkan tatakrama kepada ummat ini dengan firman-Nya: ‘Janganlah kalian memperkeras suara kalian (dalam berbicara) melebihi suara Nabi….dan seterusnya (QS.Al-Hujurat:2). Allah swt juga memuji sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya mereka yang melirihkan suaranya dihadapan Rasulallah…dan seterusnya(QS.Al-Hujurat:3). Begitu juga Allah swt. mencela sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya orang-orang yang memanggil-manggilmu dari luar kamar…dan seterusnya’. (QS.Al-Hujurat :4). 
Rasulallah saw adalah tetap mulia, baik selagi beliau masih hidup maupun setelah wafat. Mendengar jawaban itu Abu Ja’far terdiam, tetapi kemudian bertanya: ‘Hai Abu ‘Abdullah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku harus berdo’a sambil menghadap Kiblat, atau menghadap (pusara) Rasulallah saw.?’. Imam Malik menjawab: ‘ Mengapa anda memalingkan muka dari beliau saw, padahal beliau saw adalah wasilah anda dan wasilah Bapak anda, Adam as, kepada Allah swt pada hari kiamat kelak? Hadapkanlah wajah anda kepada beliau saw dan mohonlah syafa’at beliau, beliau pasti akan memberi syafa’at kepada anda di sisi Allah swt. Allah swt telah berfirman: ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri (lalu segera) datang menghadapmu (Muhammad saw.)dan seterusnya’ ". (QS. An-Nisa:64) . (Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dengan isnadnya yang terdapat didalam kitabnya Al-Ma’ruf Bisy-Syifa Fit-Ta’rif pada bab Ziarah.) Banyak ulama yang menyebut peristiwa/riwayat diatas ini.

Ibnu Taimiyyah sendiri dalam Iqtidha-us Shiratul-Mustaqim halaman 397, menuturkan apa yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb mengenai Imam Malik bin Anas. “Tiap saat ia (Imam Malik) mengucapkan salam kepada Nabi saw., ia berdiri dan menghadapkan wajahnya ke arah pusara Nabi saw., tidak kearah kiblat. Ia mendekat, mengucap kan salam dan berdo’a, tetapi tidak menyentuh pusara dengan tangannya” (Mengenai riwayat menyentuh pusara silahkan baca bab Tawassul/Tabarruk di website ini—pen). 

Imam Nawawi didalam kitabnya yang berjudul Al-Idhah Fi Babiz-Ziyarah mengetengahkan juga kisah itu. Demikian juga didalam Al-Majmu jilid VIII halalam 272.

Al-Khufajiy didalam Syarhusy-Syifa menyebut, bahwa As-Sabki mengatakan sebagai berikut: “ Sahabat-sahabat kami menyatakan, adalah mustahab jika orang pada saat datang berziarah ke pusara Rasulallah saw. menghadapkan wajah kepadanya (Rasulallah saw) dan membelakangi Kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada beliau saw., beserta keluarganya (ahlu-bait beliau saw.) dan para sahabatnya, lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau saw. (Khalifah Abubakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu kembali ketempat semula dan berdiri sambil berdo’a “. (Syarhusy-Syifa jilid III halaman 398). Lihat pula  Mafahim Yajibu An Tushahhah, oleh As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, seorang ulama di Tanah Suci, Makkah. 
Dengan demikian tidak ada ulama yang mengatakan cara berziarah sambil berdoa menghadap makam Rasulalallah saw, adalah haram, bid’ah sesat dan lain sebagainya, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya. Lebih heran lagi muthowwik wahabi sekitar makam Rasulallah saw tsb. tidak berani melarang famili Raja Saud atau pejabat tinggi Saudi yang ziarah disana dan berdoa menghadap kemakam beliau saw. dan tidak menghadap kekiblat (untuk bukti klik situs www.abusalafy.com. fotonya raja Abdullah ketika ziarah kemakam Rasulallah saw). Mereka hanya berani melarang kepada para pendatang dari jamaah haji. Untuk melakukan amal ma'ruf dan nahi mungkar, maka seharusnya mereka melarang setiap orang –baik itu Raja, President maupun rakyat biasa–  untuk tidak melaksanakan perbuatan yang mereka anggap wajib tersebut, jadi tidak membeda-bedakannya.

Dalil-dalil yang melarang ziarah kubur dan jawabannya. 
Golongan yang melarang ziarah kubur menukil dalil-dalil sebagai berikut:
1. Fatwa Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadits yang lemah (Dzaif), bahkan dibuat-buat (Ja’li) ”.  
Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadits yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadits lemah, bahkan hadits bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini di-ikuti secara fanatik oleh semua ulama Wahabi, termasuk Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama Wahabi lainnya.

2.  Disamping dalil diatas, mereka juga berdalil dengan ayat al-Qur’an yang sama sekali tidak bisa diterapkan kepada kaum muslimin, yakni firman Allah swt. dalam surat at-Taubah:84: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) dikuburnya”.  

Kaum pengikut Wahabi menganggap bahwa ayat itu membuktikan akan pelarangan ziarah kubur secara mutlak. Padahal, mayoritas ulama Ahlusunah yang menafsirkan ayat tadi dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum munafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin. Jadi ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni kubur itu adalah seorang muslim dan mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur tadi tergolong kekasih (Wali) Allah swt..
Al-Baidhawi dalam kitab Anwarut Tanzil jilid 1 hal.416 dan al-Alusi dalam kitab Ruhul Ma’ani jilid 10 hal.155 dalam menafsirkan ayat at Taubah:84 menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk penghuni kubur yang tergolong kaum munafik dan kafir.

Bagaimana mungkin kelompok Wahabi memutlakkannya, yang berarti mencakup segenap kaum muslimin secara keseluruhan, termasuk mencakup kuburan wali Allah? Apakah kaum Wahabi telah menganggap bahwa segenap kaum muslimin dihukumi sama dengan kaum kafir dan munafik? Apakah hanya yang meyakini akidah Wahabi yang dianggap muslim dan monoteis (Muwahhid) sejati? Pikiran semacam itu adalah pikiran yang dangkal sekali.  
Kita ingin bertanya lagi pada golongan pengingkar itu; “Bagaimana dengan argumentasi hadits-hadits diatas dan hadits-hadits lainnya yang tercantum dalam kitab-kitab standart dan karya para ulama terkemuka Ahlusunah wal Jama’ah? Dalam kitab-kitab hadits disebutkan bahwa Nabi saw. bukan hanya tidak melarang umatnya untuk menziarahi kubur, bahkan beliau menganjurkan hal tersebut, guna mengingat kematian dan akherat. Hal itu dikarenakan dengan ziarah kubur manusia akan mengingat akhirat. Dan dengan itu akan meniscayakan manusia yang beriman akan semakin ingat dengan Tuhannya. Malah beliau saw. mengajarkan kepada kita bagaimana adab atau cara berziarah. Begitu juga beberapa fatwa para Imam madzhab fikih Ahlusunah wal Jama’ah yang membuktikan bahwa ziarah kubur disunnahkan.

Apakah Ibnu Taimiyyah  dan golongan Wahabi serta pengikutnya akan meragukan keshahihan Shahih Muslim dan para perawi lainnya yang tersebut diatas, sehingga mereka mengatakan bahwa legalitas hadits ziarah kubur merupakan kebohongan? Jika menziarahi kuburan muslim biasa saja diperbolehkan secara syariat, lantas apa alasan mereka mengatakan bahwa menziarahi kubur manusia agung seperti Muhammad Rasulullah saw. yang merupakan kekasih sejati Allah pun adalah kebohongan? 
Mengapa golongan pengingkar itu tidak menvonis Umar bin Khatab ra. yang shalat dan menangis didepan kuburan orang tua itu sebagai seorang penyembah kuburan atau amalan seorang musyrik? Mengapa mereka tidak mengatakan bahwa ummul mukminin Aisyah ra. dan Umar bin Khattab ra. telah melakukan hal yang tanpa dalil (bid’ah)? Mungkinkah khalifah kedua dan ummul mukiminin Aisyah melakukan syirik, perbuatan yang paling dibenci oleh Allah? Bukankah mereka berdua adalah tokoh dari Salaf Sholeh yang konon ajarannya akan di hidupkan kembali oleh pengikut Wahabi, lantas mengapa mereka ini berfatwa tidak sesuai dengan ajaran mereka berdua, dan tidak sesuai dengan ajaran Rasulallah saw.?  
Jika benar bahwa kelompok Wahabi memiliki misi untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf Sholeh maka hendaknya mereka membolehkan berziarah kubur, melaksana kan shalat di sisi kuburan atau menangis disamping kubur sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab (khalifah kedua)!

3. Ada lagi dari golongan pengingkar yang melarang ziarah kemakam Nabi saw. dengan alasan hadits berikut ini: “Jangan susah-payah bepergian jauh kecuali ke tiga buah masjid; Al-Masjidul-Haram, masjidku ini (di Madinah) dan Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina)”. 

Sebenarnya hadits diatas ini berkaitan dengan masalah sembahyang, jadi bukan masalah ziarah kubur. Yang dimaksud hadits tersebut ialah ‘jangan bersusah-payah bepergian jauh hanya karena ingin bersembahyang di masjid lain, kecuali tiga masjid yang disebutkan dalam hadits itu’. Karena sembahyang disemua masjid itu sama pahalanya kecuali tiga masjid tersebut.
Makna ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal yaitu Rasulallah saw. pernah bersabda: “Orang tidak perlu bepergian jauh dengan niat mendatangi masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya, kecuali Al-Masjidul-Haram (di Makkah), Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku (di Madinah) Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini terkenal luas (masyhur) dan baik.
Hadits yang semakna diatas tapi sedikit perbedaan kalimatnya yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. dan dipandang sebagai hadits baik dan masyhur oleh Imam Al-Hafidz Al-Haitsami yaitu: “Orang tidak perlu berniat hendak bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya kecuali Al-Masjidul-Haram, Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku ini (di Madinah). (Majma’uz-Zawa’id jilid 4/3). Dan beredar banyak hadits yang semakna tapi berbeda versinya.
Dengan demikian hadits-hadits diatas ini semuanya berkaitan dengan sholat bukan sebagai larangan untuk berziarah kubur kepada Rasulallah saw. dan kaum muslimin lainnya!

4.  Ada lagi pikiran yang aneh dari golongan pengingkar, yang mengatakan bahwa ziarah kubur dilarang pada masa awal perkembangan Islam karena masalah ini memang akan bisa menjatuhkan orang dalam bahaya kesyirikan dan kondisi keimanan seseorang. Jadi sebagai tindakan hati-hati sangatlah wajar jika kita kaum muslimin untuk tidak melakukan ziarah kubur. Lebih lanjut kata mereka: Sering terjadi  kekeliruan waktu Ziarah Kubur misalnya:
-Mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah (bulan Sya’ban, idul Fithri dll)
-Menaburkan bunga-bunga dan meletakkan pelepah pepohonan di atas pusara kubur. Adapun apa yang dilakukan Nabi saw. ketika meletakkan pelepah kurma di atas kubur adalah kekhususan untuk beliau dan berkaitan dengan perkara ghaib, karena Allah memperlihatkan kepada beliau keadaan penghuni kubur yang sedang disiksa.
-Sujud, membungkuk ke arah kuburan kemudian mencium dan mengusapnya
-Berdo’a kepada penghuni kubur. Begitu juga sering orang mempunyai persangkaan bahwa berdo’a di kubur itu lebih terkabulkan, sehingga memilih tempat tersebut
-Memakai sandal ketika memasuki pekuburan
-Duduk, sholat di atas kubur.
Shalat diatas kuburan ini tidak diperbolehkan kecuali shalat jenazah dan Nabi saw. bersabda (Janganlah kalian sholat di atas kubur) 

Jawabannya:
Pemikiran-pemikiran seperti diatas dari golongan pengingkar sebagai alasan untuk mengharamkan atau melarang ziarah kubur adalah tidak berdasarkan dalil dari Sunnah Rasulallah saw., tidak lain berdasarkan pikiran, logika  dan angan-angan mereka sendiri. Begitu juga bila pemikiran diatas dijadikan alasan untuk melarang ziarah kubur maka hal itu akan berbenturan dengan hadits-hadits shohih Rasulallah saw yang membolehkan dan menganjurkan ziarah kubur, memberi salam dan berdo’a untuk dimuka makam ahli kubur, dan lain sebagainya (baca keterangan diatas dan uraian selanjutnya dibab ini atau bab tawassul/tabarruk di website ini).  

Hadits Nabi saw yang menyebutkan ‘Dahulu saya melarang ziarah kubur, namun kini berziarahlah….’. jelas sekali bagi orang yang mau berpikir hukum yang lama yaitu ‘larangan ziarah kubur’ akan terhapus/mansukh dengan hukum yang baru yaitu ‘diperbolehkannya’  ziarah tersebut. Begitu juga adanya dalil-dalil shohih mengenai ziarah kubur yang telah kami kemukakan. Mengapa golongan pengingkar ini selalu takut-takut sendiri orang jatuh kedalam kesyirikan bila berziarah kekuburan? Sedangkan manusia yang paling taqwa dan mulia disisi Allah swt Muhammad Rasulallah saw telah menganjurkannya!!
Apakah beliau saw. akan menganjurkan sesuatu amalan yang mengakibatkan kesyirikan atau kemungkaran? Apakah para sahabat Nabi saw. yang mulia dan tokoh dari para  Salaf Sholeh serta para pakar islam baik pada zaman Rasulallah saw., sahabat, tabi'in maupun pada zaman berikutnya yang berziarah kemakam Rasulallah saw, kemakam para sholihin serta bertawassul dan bertabarruk (baca bab tawassul/tabarruk dibuku ini) kepada mereka tidak mengerti hukum syari’at Islam?, dan hanya ulama dari pengikut madzhab Wahabi/Salafi saja yang memahaminya? Kami kira para pembaca yang budiman bisa menjawabnya dengan mudah sekali.

Waktu-waktu tertentu untuk berziarah:
Rasulallah saw tidak pernah mewajibkan maupun mengharamkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah kubur, orang boleh berziarah pada waktu apapun baik itu malam, pagi, siang hari atau pada bulan Sya’ban, Idul Fihtri dan lain sebagainya. Mengapa justru golongan pengingkar ini yang melarangnya? Dalam syariat Islam telah diriwayat kan, adanya bulan dan hari yang mulia umpama, bulan-bulan Hurum/suci (Muharam, Dzul-Kiddah, Dzul-Hijjah, Rajab) begitu juga bulan Sya’ban, Ramadhan, hari raya idul fithri, hari Kamis, Jum’at dan lain sebagainya (mengenai hal ini silahkan baca pada bab amalan-amalan nishfu Sya’ban, disitus ini). Pada bulan dan hari tersebut, Allah swt lebih meluaskan Rahmat dan Ampunan-Nya kepada makhluk yang berdoa, beramal sholeh dan lain sebagainya, melebihi dari hari-hari atau bulan-bulan biasa. Dalam waktu-waktu yang mulia itu, kaum muslimin sempatkan pula untuk berziarah kekuburan kerabatnya atau para sholihin. Jadi tidak ada diantara para penziarah yang berfirasat atau mensyariatkan, hanya (khusus) pada bulan atau hari tertentu tersebut mereka berziarah kekuburan. Ini tidak lain hanya pikiran, karangan dan dongengan golongan pengingkar sendiri! Apakah mereka ini tahu hukumnya dalam Islam, orang yang melarang sesuatu amalan yang halal dan menghalalkan suatu amalan yang haram? Kalau sudah mengetahui hukumnya, mengapa masih sering berani menghukumi setiap amalan yang tidak sepaham dengannya, sebagai amalan munkar, haram, syirik dan lain sebagainya? Ingat firman Allah swt dalam surat An-Nahl:116; " Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah…".

Golongan pengingkar ini sering mengharamkan, memunkarkan, mensesatkan suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka dengan alasan bahwa Nabi saw atau para sahabat tidak pernah melakukan mengapa kita melakukan hal itu. Kaedah seperti inilah yang sering digembar-gemborkan oleh mereka. Padahal Allah swt, berfirman dalam surat Al-Hasyr :7 :

وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا

Artinya: Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr :7). Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !

Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :  

وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا                                   

Artinya: ‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.

Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam Bukhori: 

  اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ  فَاجْتَنِبُوْهُ         

Artinya: ‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia' ! 

Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:  
                                    وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
Artinya:  ‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia'!

Begitu juga syari’at Islam telah menyatakan adanya kehidupan ruh-ruh orang mukmin, yang telah wafat dialam barzakh bisa mengerjakan sholat, bisa menghadiri tempat kuburnya, terbang kemana-mana menurut kehendaknya, berdoa kepada Allah swt untuk para kerabatnya yang masih hidup, mendengar omongan orang yang hidup dan lain sebagainya (baca keterangan selanjutnya dan pada bab tawassul/tabarruk dibuku ini). Dengan adanya hadits-hadits tadi, disamping para penziarah berdoa kepada Allah swt untuk ahli kubur –bukan berdoa kepada ahli kubur tetapi untuk ahli kubur– juga bertawassul, bertabarruk dengan penghuni kubur, agar penghuni kubur itu ikut berdoa kepada Allah swt untuk penziarah itu.

Menaburkan bunga, menanam pelepah pohon:
Dengan adanya hadits-hadits tentang kehidupan ruh-ruh itu itu, para penziarah ada yang menaburkan bunga diatas kuburan, tidak lain hanya sebagai penghormatan atau kecintaan kepada ahli kubur itu, sebagaimana orang yang masih hidup yang sering antara satu dan lain memberi bunga untuk penghormatan. Itu semua tidak ada salahnya, selama penghormatan kepada manusia –baik yang hidup maupun yang telah mati– tidak dibarengi dengan keyakinan, bahwa obyek yang dihormati itu memiliki sifat ketuhanan. Begitu juga menaruh atau menanam pelepah diatas kuburan, juga tidak ada salahnya. Nabi saw sendiri telah mencontohkannya didalam haditsnya, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lain-lain dari Ibnu Abbas ra. Dalam hadits itu Nabi saw minta pelepah pucuk kurma, lalu dibelahnya satu ditanamkannya kepada satu kubur dan satu lagi pada kubur yang lain, dengan berdoa semoga mereka berdua diberi keringanan (dari siksa kubur) selama pelepah ini belum kering.

Dengan adanya hadits itu, umat beliau saw juga mencontoh perbuatan beliau saw yaitu, menanamkan pelepah pohonan diatas kubur sambil berdoa kepada ahli kubur. Dalam hadits itu Nabi saw tidak melarang atau menyuruh umatnya untuk berbuat seperti beliau saw, begitu juga beliau saw tidak mengatakan perbuatan itu hanya khusus untuk beliau saw! Ada lagi orang mengatakan, yah, itu Nabi yang mengerjakannya tetapi kita tidak boleh menirunya. Omongan seperti ini adalah karangan mereka! Beliau saw adalah sebagai contoh dari umatnya, bila hal tersebut dilarang untuk umatnya, maka sudah pasti beliau saw memberitahukan bahwa perbuatan tersebut khusus untuk beliau. Dengan demikian, penanaman pelepah tersebut mungkin ada hikmahnya, Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui. Kalau tidak demikian halnya, mengapa beliau tidak cukup mendoakan ahli kubur itu saja, tanpa harus meletakkan daun pelepah? Malah ada hadits shohih, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa Buraidah Aslami berpesan agar pada kuburnya ditanamkan dua pucuk kurma. Nah, apa salahnya kalau orang meniru perbuatan Rasulallah saw tersebut? Pertanyaan lagi terhadap golongan pengingkar, mengapa mereka melarang perbuatan itu, sedangkan Nabi saw tidak melarang perbuatannya tersebut bila ditiru oleh umatnya? Apakah Buraidah Aslami waktu berwasiat itu, tidak mengerti hukum syariat Islam?

Berdiri secara khidmat, atau berbuat tawadhu’ (rendah diri) dan sopan dihadapan kuburan,
Ini tidak ada salahnya, selama perbuatan itu sebagai ta’dhim/ penghormatan saja terhadap ahli kubur dan bukan sebagai ibadah. Begitu juga mencium atau mengusap-usap kuburan, tidak ada salahnya selama niatnya sebagai tabarruk/pengambilan barokah (baca bab Tabarruk/Tawassul). Apakah golongan pengingkar ini masih ingat ayat al-qur’an yang menyebutkan, tentang sujudnya para malaikat kepada Adam as dan sujudnya saudara-saudara Yusuf as kepada Nabi Yusuf? Semua ahli tafsir mengatakan, bahwa sujud di ayat itu sebagai sujud penghormatan, bukan sebagai ibadah kepada obyek yang dihormati. Kalau sujud disitu tidak dicela oleh Allah swt, karena tidak lain hanya merupakan penghormatan, mengapa golongan pengingkar berani mengharamkan sampai berani mensyirikkan orang yang berdiri khidmat sebagai peng- hormatan dihadapan kuburan Rasulallah saw, para sahabat atau para wali? Semua amalan itu tergantung dari niatnya....(hadits shohih), kalau niat orang itu untuk penghormatan atau bertabarruk kepada ahli kubur, maka tidak ada masalahnya, tetapi kalau niatnya beribadah kepada kuburan, maka inilah yang tidak dibolehkan oleh syariat. Sama halnya orang yang rukuk dan sujud dimuka bangunan dari batu yaitu Ka’bah, bila dia rukuk atau sujud menganggap sebagai ibadah kepada Ka’bah, maka akan hancurlah keimanannya, karena ibadah hanya ditujukan kepada Allah swt! Bila ada penziarah kubur berkeyakinan, bahwa ahli kubur (obyek yang di ziarahi) itu bisa merdeka (tanpa izin Allah swt) memberi syafaat pada penziarah kubur, keyakinan inilah yang dilarang oleh agama. Jadi sekali lagi semua itu terletak pada keyakinan seseorang. Kita tidak boleh mengharamkan ziarah kubur, karena melihat secara lahiriyah perbuatan perorangan, atau karena situasi lokasi dikuburan itu banyak kemungkaran yang terjadi.

Al-Allamah syeikh Ibnu Hajar ditanya tentang ziarah kemakam para wali, padahal dikuburan sana sering terjadi bercampurnya lelaki dan wanita, menyalakan lampu secara berlebih-lebihan dan lain sebagainya. Beliau menjawab, ‘Ziarah kubur para wali dan melakukan perjalanan kesana, merupakan pendekatan diri yang dihukumi sunnah. Adapun mengenai perkara-perkara yang bid’ah atau yang diharamkan (yang terjadi disana) tidak bisa ditinggalkan. Justru menjadi kewajiban setiap manusia untuk tetap melakukan ibadah, dan mengingkari bid’ah, dan melarangnya jika memang memungkinkan’. (Imam Nawawi, Al-Fatawi Al-Kubro juz.II hal.24). Dengan demikian kita diwajibkan untuk melarang (kalau ini memungkinkan) perbuatan yang melanggar syariat dilokasi kuburan, tetapi bukan ziarah kuburnya yang dilarang, karena ziarah kubur adalah sejalan dengan hukum syariat Islam! 

Berdoa dipekuburan:
Cukup banyak riwayat hadits bahwa Rasulallah saw dan para sahabatnya ketika ziarah kubur mendoakan dan memberi salam kepada ahli kubur dan berdoa juga untuk diri- nya. Begitu juga banyak riwayat bahwa para sahabat, para salaf dan khalaf ketika ziarah (makam) Rasulallah saw, para sholihin sambil tawassul, bertabarruk kepada mereka. Allah swt. akan mengabulkan do’a para hamba-Nya dimanapun dia berada, tetapi bila kita berdo’a disekitar Ka’bah, Maqam Ibrahim dan tempat-tempat lain yang mulia disisi Allah swt. termasuk juga disekitar kuburan Rasulallah saw., kuburan para Nabi lainnya, para sahabat Rasulallah saw. dan para kaum sholihin yang pribadi mereka di muliakan oleh Allah swt. harapan cepat terkabulnya do’a lebih besar, daripada kalau kita berdo’a kepada Allah swt. dirumah atau dipasar. Banyak riwayat yang menceriterakan tempat-tempat mustajab do’a, jadi tidak semua tempat sama ! 

Syari’at Islam telah menyatakan adanya kehidupan ruh-ruh orang mu’min yang telah wafat dialam barzakh (bisa mengerjakan sholat, bisa menghadiri tempat kuburnya, terbang kemana-mana menurut kehendaknya, berdo’a kepada Allah swt. untuk para kerabatnya yang masih hidup, mendengar omongan orang yang hidup dan lain sebagainya baca keterangan selanjutnya dibab ini dan pada bab tawassul/tabarruk diwebsite ini.
Kalau ruhnya orang mu’min biasa saja bisa berbuat demikian, apalagi dengan Ruhnya Rasulallah saw., para Nabi, para wali, dan kaum sholihin. Dengan adanya hadits-hadits itu, para penziarah berdo’a kepada Allah swt. untuk ahli kubur tersebut bukan berdo’a kepada ahli kubur tetapi untuk ahli kubur juga bertawassul, bertabarruk dengan penghuni kubur itu,  agar penghuni kubur itu ikut berdo’a kepada Allah swt.untuk penziarah itu. Untuk keterangan lebih mendetail silahkan rujuk ke bab Tawassul/Tabarruk di website ini.

Memakai sandal di kuburan:
Para ulama berbeda pendapat hukumnya. Kebanyakan ulama berpendapat tak ada salahnya berjalan di pekuburan dengan memakai terompah dan ada lagi ulama yang memakruhkan memakai terompah yang mewah bila tidak ada udzurnya (banyak duri dll). Jureir bin Ibnu Hazim berkata: ‘Saya melihat Hasan dan Ibnu Sirin berjalan diantara kubur-kubur dengan memakai terompah’.

Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i dari Anas bin Malik ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Seorang hamba bila ia telah diletakkan dalam kuburnya dan teman-temannya telah berpaling, maka sesungguhnya ia (si mayyit) mendengar bunyi terompah-terompah mereka”.
Hadits ini sebagai alasan atau dalil dibolehkannya berjalan di kuburan memakai terompah. Karena tidaklah akan didengar oleh simayyit bunyi terompah itu jika tidak dipakai!

Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal telah menganggap makruh memakai terompah Sibtit terompah mewah dipekuburan, berdasarkan riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Basyir bekas budak Nabi saw. yang berkata: “Rasulallah saw. melihat seorang lelaki yang berjalan di pekuburan dengan berterompah, maka sabdanya; ‘Hai orang yang berterompah Sibtit, lemparkanlah terompahmu itu’!. Lelaki itu pun menoleh, dan demi dikenalnya Rasulallah saw. maka ditanggalkannya terompahnya lalu dilemparkannya”. Imam Ahmad mengatakan makruh ialah jika tidak ada udzur. Maka jika terdapat sesuatu keudzuran yang mengharuskan seseorang buat memakai terompah misalnya karena banyak duri atau najis, lenyaplah hukum makruh itu !!

Berkata Khathabi: “Tampaknya hal itu dimakruhkan ialah karena menunjukkan kemewahan, sebab terompah Sibtit itu biasanya dipakai oleh golongan mampu yang bermewah-mewah. Lalu katanya lagi: ‘Maka Keinginan Nabi saw. hendaklah memasuki pekuburan itu dengan sikap tawadhu’ (rendah diri) dan berpakaian seperti orang khusyu’ “.
Dengan adanya dalil-dalil diatas para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar komentar golongan pengingkar yang mengharamkan orang yang pakai sandal di pekubur
an? Hukum makruhnya saja masih belum mutlak!

Duduk, sholat diatas kubur:
Duduk diatas kubur, dianggap kurang penghargaan terhadap penghuni kubur, maka dari itu para ulama berbeda pendapat juga waktu menerangkan hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud dan lainnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Lebih baik jika seseorang diantaramu duduk diatas bara panas hingga membakar pakaiannya dan tembus kekulitnya daripada ia duduk diatas kubur ”. Hadits ini malah bisa dijadikan dalil bahwa orang yang telah wafat layak untuk dihormati, bila tidak demikian halnya, maka tidak perlu adanya hadits yang memakruhkan untuk duduk diatas pusara kubur.
Jumhur (pada umumnya) ulama memakruhkan hal itu, ada lagi yang membolehkan dan ada lagi yang mengharamkan. Untuk mempersingkat halaman marilah kita ambil dalil dari mayoritas ulama yang memakruhkan, antara lain:
Imam Nawawi berkata: “Melihat gelagat ucapan Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, begitu pun golongan terbesar dari kawan-kawan sealiran, dimakruhkan duduk dikubur, maksudnya larangan itu adalah buat makruh, sebagaimana biasa terdapat dalam pengertian fukaha, bahkan banyak diantara mereka yang menyatakannya dengan tegas. Ulasnya pula: Demikian pula halnya pendapat jumhur ulama, termasuk didalamnya Nakh’i, Laits, Ahmad dan Abu Daud’. Imam Nawawi melanjutkan; Juga sama makruh hukumnya, bertelekan diatasnya dan bersandar padanya”.
Sebaliknya Ibnu Umar dari golongan sahabat, Imam Abu Hanifah,  dan Imam Malik menyatakan tidak ada salahnya (boleh) duduk di kubur. Sedangkan pendapat yang mengharamkan ialah Ibnu Hazmin. (Keterangan diatas mengenai memakai sandal dan duduk diatas kubur dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq jilid 4 cet.pertama th 1978 hal.175 dan 181).

Sedangkan hadits ,riwayat Imam Bukhori, mengenai membina masjid diatas (bukan disisi) kubur Mereka (Yahudi dan Nasrani) itu, jika ada  seorang yang sholeh di- antara mereka meninggal, mereka binalah diatas makamnya sebuah masjid dan mereka buat didalamnya patung-patung....sampai akhir hadits”dan hadits lainnya tentang sholat diatas kuburan, itu masih belum jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) menjurus kepada hukum haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya (lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 hal.111) dimana beliau mengumpul- kan hadits-hadits semacam itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh saja yang selayaknya dihindari, bukan mutlak haram Begitu juga hadits diatas itu jelas makruh membina masjid atau sholat diatas kuburan bukan disisi kuburan.
Larangan Nabi saw. dalam hadits tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia sholeh dari mereka bukan hanya sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Lainnya halnya dengan orang muslimin yang mengambil tempat sholat disisi kuburan orang sholeh hanya sebagai tabarrukan (pengambilan barokah) bukan sebagai arah kiblat.

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm bab ‘Pekerjaan setelah penguburan’ mengatakan: “Saya memandang makruh membangun masjid di atas kuburan, atau diratakan kemudian sholat diatasnya. Namun apabila ia telah sholat, maka ia tidak mengapa, tapi ia telah berbuat yang tidak baik”.

Memahami omongan imam Syafi'i, bahwa sholat diatas kuburan adalah makruh jadi tidak sampai kederajat haram. Begitu juga yang dimakruhkan adalah sholat diatas kuburan bukan disisi kuburan. Kalau golongan pengingkar tetap bersikeras mengharamkan sholat disisi atau menghadap kuburan dan lain sebagainya seperti yang telah dikemukakan, kami ingin bertanya kepada mereka: Dimana letak kuburan Rasulallah saw., khalifah Abubakar dan khalifah Umar bin Khattab [ra], apakah tidak terletak didalam masjid Nabawi? Mengapa ulama-ulama mereka yang di Madinah membiarkan orang muslimin sholat dihadapan, dibelakang, disamping kuburan tersebut? Malah kebanyakan kaum muslimin ingin sholat dekat atau disekitar kuburan Rasulallah saw. dan dua sahabatnya itu, sebagai tabarukkan. Keterangan lebih mendetail, silahkan baca halaman selanjutnya mengenai membina masjid disisi kuburan dan memberi penerangan dikuburan diwebsite ini. Wallahu a’lam

Pembacaan Al-Qur’an di kuburan dan hadiah pahala bacaan untuk orang yang telah wafat
Membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah wafat adalah pendapat jumhur (umum) dari golongan Ahlus-Sunnah. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan segolongan dari sahabat Imam Syafi’i mengatakan bahwa pahalanya akan sampai kepada si mayit. Si pembaca sebaiknya mengucapkan do’a setelah pembacaan Al-Qur’an: ‘Ya Allah sampaikanlah pahala seperti pahala bacaan saya itu kepada si Anu’. 

Marilah kita ikuti ,berikut ini, wejangan para pakar Islam mengenai pahala bacaan untuk orang yang telah wafat.

Berkata Muhamad bin Ahmad al-Marwazi: “Saya mendengar Ahmad bin Hambal berkata: ‘Jika kamu masuk kepekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al-Falaq dan an-Nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur. Maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tetapi yang lebih baik adalah agar si pembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: ‘Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan….’”.(Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jamaah hal.15).

Ibnu ‘Ukeil berkata: “Jika seseorang melakukan amal kebaikan seperti sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an dan dihadiahkannya –artinya pahalanya diperuntukkan bagi mayat Muslim– maka pahala itu (sebaiknya) didahului oleh niat yang segera disertai dengan perbuatan”. Pendapat beliau ini diperkuat juga oleh Ibnul Qayyim, disetiap negeri dan membaca Al-Qur’an lalu menghadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal diantara mereka, dan tak seorangpun yang membantahnya, hingga telah merupakan ijma (kesepakatan)”.

Berkata Ibnul Qayyim: “Ibadat itu dua macam; mengenai harta (maliyah) dan mengenai badan (badaniyah). Dengan sampainya pahala sedekah, syara’ mengisyaratkan sampainya pada sekalian ibadat yang menyangkut harta, dan dengan sampainya pahala puasa, di-isyaratkan pula sampainya sekalian ibadah badaniyah. Kemudian dinyata kan pula sampainya pahala ibadah haji, suatu gabungan dari ibadah maliyah dan badaniyah. Maka ketiga macam bentuk ibadah itu –jelaslah sampainya (hadiah pahala)– baik dengan keterangan dari nash maupun dengan jalan perbandingan (Qiyas). (keterangan pembacaan Al-Qur’an kami nukil dari kitab Fiqih Sunnah oleh Sayid Sabiq jilid 4 hal. 217-218 cet. pertama th.1978). 

Menurut madzhab Hanafi, setiap orang yang melakukan ibadah –baik berupa do’a, istiqhfar, shadaqah, tilawatul Qur’an, dzikir, shalat, puasa, thawaf, haji, ‘umrah maupun bentuk-bentuk ibadah lainnya yang bersifat ketaatan dan kebaktian– dan berniat menghadiahkan pahalanya kepada orang lain, baik yang masih hidup atau yang telah wafat, pahala ibadah yang dilakukannya itu akan sampai kepadamereka dan juga akan diperolehnya sendiri. Demikianlah sebagaimana disebut dalam Al-Hidayah, Al-Bahr dan kitab-kitab lainnya. Di dalam kitab Al-Kamal terdapat penjelasan panjang lebar mengenai itu. 

Ditinjau dari dalil Ijma’ (sepakat) ulama dan Qiyas bahwa do’a dalam sholat jenazah akan bermanfaat bagi mayit, bebasnya hutang mayit yang di tanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga (HR.Ahmad dari Abi Qatadah) dan lain sebagainya, semuanya ini bisa bermanfaat bagi mayit. Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta atau membebaskan hutang untuk orang lain diwaktu hidupnya dan setelah wafatnya. Begitu juga menghadiahkan pahala kurban untuk orang yang belum sempat berkurban, padahal kurban adalah melalui menumpahkan darah. 

Begitu juga kita perhatikan arti fardhu kifayah, dimana sebagian orang bisa mewakili sebagian yang lain. Persoalan menghadiahkan pahala itu boleh/ mustahab, jadi bukan menggantikan pahala, sebagaimana seorang buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi gajiannya/upahnya boleh diberikan kepada orang lain jika ia mau. Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayit. Jika demikian bagaimana mungkin tidak sampainya pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan dan niat juga? 
Hubungan melalui agama merupakan sebab yang paling besar bagi sampainya manfaat orang Islam kepada saudaranya dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do’a orang Islam dapat bermanfa’at untuk orang Islam lain. Al-Qur’an tidak menafikan seseorang mengambil manfaat dari usaha orang lain. Adapun amal orang lain adalah miliknya, jika orang lain tersebut menghadiahkan amalnya untuk dia, maka pahalanya akan sampai kepadanya bukan pahala amalnya. Allah swt. menjelaskan bahwa Dia tidak menyiksa seseorang karena kesalahan orang lain, dan seseorang tidak mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan usahanya sendiri. Dan dalam firman-Nya itu, Allah swt. tidak menyatakan bahwa orang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dari usahanya sendiri. Ini tidak lain menunjukkan keadilan Allah swt.

– Ibnu Taimiyyah didalam Fatawa-nya mengatakan: Adalah benar bahwa orang yang telah wafat beroleh manfaat dari semua ibadah jasmaniah seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan lain-lain –yang dilakukan orang yang masih hidup baginya. Ia (si mayit) pun beroleh manfaat juga dari ibadah maliyah seperti shadaqah dan sebagainya. Semua ini sama halnya jika orang yang masih hidup berdo’a dan beristiqhfar baginya. Mengenai ini para Imam madzhab sepakat.

– Ibnu Taimiyah mengatakan juga: "Sesungguhnya mayit itu dapat beroleh manfaat dengan bacaan Al-Qur'an sebagaimana dia beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan yang seumpamanya" (Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 1/442) 

Berkata Syeikh Ali bin Muhamad bin Abil Iz:  “Adapun membaca Al-Qur’an dan menghadiahkan (pahala)nya kepada orang mati secara sukarela dengan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah Aqidah Thahawiyah hal.457)

Berkata Dr.Ahmad  Syarbasi : “Sesungguhnya jumhur ulama telah menyebutkan bahwa bacaan Al-Qur’an Karim dapat memberi manfaat kepada mayit atau sampai pahala bacaan itu kepadanya. Dan terhadap yang demikian sekelompok ulama yang lain tidak menyetujui. Dan menurut mereka yang menyukai hal tersebut, akan menjadi bagus jika si pembaca berdoa sesudah selesai dengan: ‘Ya Allah, sampaikanlah seumpama pahala ayat yang telah aku baca kepada si fulan atau fulanah’”. (Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 111/413).

  Ibnul Qayyim juga berkata dalam kitabnya Ar-Ruh: “Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’, berkata: Menceriterakan kepada kami Abbas bin Muhamad ad-Dauri, menceriterakan kepada kami Yahya bin Mu’in, menceriterakan kepada kami Mubassyar al-Halabi, menceriterakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-Lajlaj dari bapaknya, dia berkata : Berkata bapakku: ‘Jika aku telah mati, maka letakkanlah aku diliang lahad dan ucapkanlah Bismillah wa ala sunnati Rasulillah dan ratakanlah tanah atasku dan baca permulaan al-Baqarah disamping kepalaku karena sesungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar mengatakan yang demikian. Ibnul Qayyim ini didalam kitab dan halaman yang sama juga mengutip ucapan Al-Khallal:
“Mengkabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad al-Warraq, menceriterakan kepadaku Ali bin Musa al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata: ‘Pernah aku bersama Ahmad bin Hambal dan Muhamad bin Qudomah al-Jauhari menghadiri jenazah, maka tatkala mayit itu telah dimakamkan, seorang lelaki yang kurus duduk disamping kubur (sambil membaca Al-Qur’an). Melihat itu berkatalah Imam Ahmad kepadanya: ‘Hai, sesungguhnya membaca Al-Qur’an disamping kubur itu bid’ah’! Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah Muhamad bin Qudomah kepada Ahmad bin Hambal: ‘Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-Halabi? Imam Ahmad menjawab: ‘Beliau orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau ada meriwayatkan sesuatu darinya? Muhamad bin Qudomah berkata: ‘Ya, mengkabarkan kepadaku Mubassyar dari Abdurrahman bin Ala’ bin al-Lajlaj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibaca akan disamping kepalanya permulaan surat al-Baqarah dan akhirnya, dan dia berkata: Aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat dengan yang demikian itu’. Mendengar riwayat tersebut Imam Ahmad berkata: ‘Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar diteruskan bacaan Al-Qur’annya’”.

  Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah juga berkata: "Sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca Al-Qur'an dan menghadiahkan pahalanya kepada si mayit dengan cara sukarela tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya, sebagaimana pahala puasa dan haji juga akan sampai kepadanya"(Yasaluunaka fid din wal hayat jilid 1/442) 

Berkata Syeikh Hasanain Muhamad Makhluf ,mantan mufti Mesir, : “Tokoh-tokoh madzhab Hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-Qur’an atau selain yang demikian daripada bermacam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya”.

Berkata Syeikh Ali Ma’shum: “Dalam madzhab Maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayit. Yang ada khilafnya adalah masalah boleh tidak- nya membaca Al-Qur’an untuk mayit.  Menurut dasar madzhab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutaakhhirin berpendapat boleh dan itulah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayit dan Ibnu Farhun menukil bahwa pendapat inilah yang rojih (kuat)”. (Hujjatu Ahlis Sunnah wal-jamaah hal.13).

 Berkata Allamah Muhamad al-Arobi: “Sesungguhnya membaca Al-Qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggal hukumnya boleh dan sampai pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah, walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq”. (Majmu’ Tsalatsi rosaail).

Berkata Imam Qurtubi : “Telah ijmak ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang-orang yang sudah wafat, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan Al-Qur’an, doa dan istiqfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits: ‘Setiap kebaikan adalah sedekah’. Disini tidak dikhususkan sedekah itu dengan harta”. (Tadzkirah Al-Qurtubi hal.26).

Berkata Imam Sya’bi: “Orang-orang Anshar jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disamping- nya”. (ucapan Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayim dalam kitabnya Ar-Ruh hal.13).

Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang bacaan Al-Qur’an untuk mayit dan juga tentang tasbih, tahmid, tahlil dan takbir jika dihadiahkan kepada mayit, sampaikah pahalanya atau tidak? Beliau menjawab sebagaimana tersebut dalam kitab beliau Majmu’ Fatawa jilid 24 hal.324:  “Sampai kepada mayit pahala bacaan Al-Qur’an dari keluarganya. Dan tasbih, takbir serta seluruh dzikir mereka kepada Allah Taala apabila mereka menghadiahkan pahalanya kepada mayit akan sampai pula kepadanya”.

Dengan adanya kutipan kami yang singkat ini ,dapatlah kita ketahui bahwa banyak para ulama selain madzhab Syafi’i, yang menyetujui hadiah pahala bacaan Al-Qur’an. Mari kita ikuti kajian berikut ini.

Hadits tentang wasiat Ibnu Umar ra yang tertulis dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 458:

عَنِ إبْنِ عُمَر(ر) أوْصَى أنْ يُقْرَأ عَلَى قَبْرِهِ وَقْتَ الدَفنِ بِفَوَاتِحِ سُوْرَةِ البَقَرَةِ وَخَوَاتِمِهَا

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra: “Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhir-
nya.. ".  

Hadits ini menjadi pegangan Muhammad bin Hasan dan Imam Ahmad bin Hanbal padahal Imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala amalan dari orang yang hidup pada orang yang telah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar ini beliaupun mencabut pengingkarannya itu (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25).

– Ada hadits yang serupa diatas, dalam Sunan Baihaqi dengan isnad Hasan:“Bahwasanya Ibnu Umar menyukai agar dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya”.
Perbedaan dua hadits terakhir diatas ialah yang pertama adalah wasiat Ibnu Umar sedangkan yang kedua adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut. 

Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulallah saw.bersabda:Jika mati seorang dari kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segeralah membawanya kekubur dan bacakanlah Fatihatul Kitab disamping kepalanya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Abu Hurairah ra.meriwayatkan bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al-Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhaakumut takatsur’, lalu ia berdo’a Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi syafa’at) pada hari kiamat”.
           
Hadits-hadits diatas atau hadits-hadits lainnya dijadikan dalil yang kuat oleh para ulama untuk menfatwakan sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang telah wafat. Apa mungkin para sahabat Nabi seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah [ra] mengeluarkan kata-kata yang mengandung ilmu ghaib (yaitu mengenai imbalan pahala) kalau tidak dari Rasulallah saw.? Mungkinkah para sahabat itu meriwayatkan sesuatu amalan yang berbau kesyirikan atau larangan dalam agama Islam? Mereka berdua adalah termasuk salah satu tokoh dari golongan Salaf Sholeh, mengapa golongan pengingkar ini menolaknya ?

Ustadz Quraish Shihab ,seorang ulama di Indonesia, dalam bukunya Fatwa-fatwa Seputar ibadah dan Muamalah halaman 27 mengenai ‘berdo’a dan membacakan Al-Qur’an untuk orang mati’  menulis sebagai berikut:          
“Berdo’a untuk kaum Muslimin yang hidup atau yang sudah wafat adalah anjuran agama. Membaca Al-Qur’an juga merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Hanya saja, terdapat perbedaan paham di kalangan para ulama masalah bermanfaat atau tidaknya bacaan itu bagi orang yang telah wafat. Memang, dalam kitab-kitab hadits, ditemukan yang menganjurkan pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang akan atau telah wafat. Diantaranya, Abu Dawud meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ma’qil bin Yasar, menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Bacalah surat Yaa Sin untuk orang-orang yang (akan atau sudah) mati (dari kaum Muslim).
           
Nilai keshohihan hadits diatas ini dan semacamnya masih ada yang memperselisihkannya. Sekalipun ada golongan yang mengatakan hadits-hadits tersebut lemah atau tidak ada sama sekali tidak ada halangan untuk membaca ayat Al-Qur’an bagi orang yang akan wafat atau telah wafat. Dikalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang fadhail (keutamaan) !

Para Ulama juga menyatakan bahwa membaca Al-Qur’anpada dasarnya dibenarkan oleh agama dan mendapat pahala, kapan (kecuali orang yang sedang junub/haid--pen.) dan dimanapun berada (kecuali di WC--pen.). Diantara perselisihan ulama itu adalah ‘Apakah dapat diterima hadiah pahala bacaan tersebut oleh almarhum atau tidak!  (Jadi bukan masalah pembacaannya! --pen.)
           
Syekh Muhammad Al-Syarabashi dalam bukunya Yas’alunaka mengutip pendapat Al-Qarafi dalam kitab Al-Furuq bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang telah meninggal mencakup tiga kategori:

a).  Disepakati tidak bermanfaat: memberi pahala keimanan kepada orang yang telah wafat.
b). Disepakati bermanfaat: seperti shodaqah yang pahalanya diberikan kepada orang telah wafat.
c)  Diperselisihkan apakah bermanfaat atau tidak: seperti menghajikan, berpuasa dan membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal.

Sementara madzhab Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, berpendapat pahalanya dapat diterima oleh yang telah mati. Kemudian Imam Al-Qarafi yang bermadzhab Maliki ini menutup keterangannya bahwa persoalan ini (pahala untuk yang wafat), walaupun diperselisihkan, tidak wajar untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya. Sebab, siapa tahu, hal itu benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah wafat, karena yang demikian itu berada diluar jangkauan pengetahuan kita.  
Perbedaan pendapat terjadi bukan pada hukum boleh tidaknya membaca Al-Qur’an untuk orang yang akan atau telah wafat, melainkan pada kenyataan sampai tidaknya pahala bacaan itu kepada si mayit!“ Demikianlah keterangan yang diungkapkan oleh Ustadz Quraish Shihab dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa seputar ibadah dan muamalah’.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa para pakar Islam yang mengakui sampainya hadiah pahala bacaan, yang ditujukan untuk simayit diantaranya sebagai berikut:
"Imam Ahmad bin Hanbal; ulama-ulama dalam madzhab Hanafi, Maliki dan madzhab Syafi’i; Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dalam kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah hal.15 ; Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil Iz (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457); Dr. Ahmad Syarbasi ( Yasaluunaka fid din wal-hayat 3/413 ); Ibnu Taimiyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442 ) ; Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442) juga Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh mengatakan bahwa  “Al-Khallal  dalam kitabnya Al-Jami’ “ sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’ ; Al-Allamah Muhammad al-Arobi  (Majmu’ Tsholatsi Rosaail ) ; Imam Qurtubi (Tazkirah Al-Qurtubi hal. 26 ) ; Imam Sya’bi mengatakan: ‘Orang-orang Anshor jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disampingnya (kuburan nya)’. Ucapan Syekh Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh halaman 13; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.

Dan masih banyak lagi para ulama berbeda madzhab yang membenarkan hadiah pahala bacaan ini. Jadi jelas bagi kita setelah membaca dan meneliti kutipan pada lembaran sebelum dan berikut ini banyak hadits Nabi saw. serta anjuran para sahabat dan para pakar Islam tentang dibolehkannya serta sampainya pahala amalan orang yang masih hidup ditujukan kepada si mayyit. Disamping itu, semua madzhab sepakat bahwa pembacaan Al-Qur’an akan mendapat pahala bagi pembacanya kapan dan dimana pun, yang mana pahala itu selalu diharapkan oleh setiap muslim.

Kita tidak boleh langsung menuduh suatu amalan itu haram untuk diamalkannya, karena menurut pendapat sebagian ulama hadits mengenai amalan itu lemah, palsu, atau tidak ada haditsnya. Kita harus meneliti lebih jauh lagi bagaimana pendapat ulama lainnya dan harus meneliti apakah amalan tersebut  menyalahi atau keluar dari syariat yang telah digariskan Islam atau tidak?, bila tidak menyalahi syari’at Islam, apalagi sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, boleh diamalkan! Apalagi amalan-amalan yang masih mempunyai dalil ,baik secara langsung maupun tidak langsung, maka tidak ada alasan orang untuk mengharamkan, mensesatkan atau membid’ahkan munkar amalan-amalan tersebut. Untuk menghramkan suatu amalan, harus mengemukakan dalil yang jelas dan shohih dari Rasulallah saw.

Fatwa -fatwa ulama madzhab Syafi’i adalah sebagai berikut :
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar  hal.140: “Dalam hal sampainya bacaan Al-Qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzhab Syafi’i dan sekelompok ulama bahwa pahalanya tidak sampai. Namun Ahmad bin Hambal beserta sekelompok ulama dan juga sekelompok para sahabat Syafi’i berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka yang lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa: ‘Ya Allah sampaikanlah pahala ayat yang aku baca ini kepada si fulan…”. 

Dalam kitab Al-Majmu’  jilid 15/522: “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: ‘Dalam madzhab Syafi’i menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tetapi menurut qaul yang mukhtar sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan tersebut. Dan seyogyannya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si penulis adalah lebih utama’”. 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzhab Syafi’i terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan:
1.Qaul yang masyhur; pahala bacaan tidak sampai 2. Qaul yang mukhtar; pahala bacaan sampai.

Untuk menanggapi qaul yang masyhur tersebut Syeikh Zakaria al-Anshari pengarang dalam kitab Fathul Wahhab jilid II/19 mengatakan: “Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzhab Syafi’i itu dibawa atas satu pengertian: ‘Jika Al-Qur’an itu tidak dibaca dihadapan mayit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan itu untuknya’”.
Sedangkan syarat-syarat untuk sampainya pahala bacaan, Syeikh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya Hasiyatul Jamal jilid 4/67 mengatakan: “Berkata Syeikh Muhamad Ramli: ‘Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu: 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya. 2. Berdoa untuk mayit sesudah membaca Al-Qur’an yakni memohon agar pahalanya disampaikan kepadanya.3.Meniatkan sampainya pahalanya bacaan itu kepadanya’ “.

Hal yang senada diatas diungkapkan juga oleh Syeikh Ahmad bin Qasim al-Ubbadi dalam Hasiyah Tuhfatul Muhtaj jild 7/74: “Kesimpulannya bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayit sesudah membaca Al-Qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasillah bagi mayit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membaca’ ”.
Namun demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika: 1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayit di-iringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepada- nya. 2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayit agar disamping meniatkannya untuk si mayit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca. Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti tersebut dalam kitab Tuhfah dan Syarah Minhaj (lihat I’anatut Thalibin jilid 3/24).

Celaan orang yang tidak setuju dengan hadiah pahala
Golongan pengingkar bacaan pahala sering kali mengecam dan mencela orang yang mengamalkannya. Yang mereka anggap senjata ampuh terhadap kelompok madzhab Syafi’i untuk penolakan hadiah pahala dengan ucapan mereka : “Imam Syafi’i sendiri toh mengatakan bahwa pahala bacaan Al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, walaupun didoakan kepada Allah agar disampaikan….?

Menanggapi pertanyaan seperti ini, perlu dikemukakan bahwa Imam Syafi’i tidak pernah mengatakan amalan tersebut sebagai bid’ah atau melarang apalagi mencela orang-orang yang mengamalkannya. Beliau jelas mengetahui bahwa para tokoh ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Imam Ahmad bin Hambal sendiri berpendapat bahwa pahala bacaan itu sampai kepada mayit. Kalau imam Syafi’i sampai mengecam apalagi menuduh sebagai amalan bid’ah, maka sama saja beliau menuduh para imam penganut tiga madzhab tersebut sebagai ahli bid’ah yang akan masuk neraka. Harus dibedakan antara ‘pendapat madzhab Syafi’i’ dan ‘pendapat Imam Syafi’i’. Tidak semua produk hukum yang ada dan berlaku dalam madzhab Syafi’i bersesuaian dengan pendapat Imam Syafi’i sendiri, karena terdapat kemungkinan dan kebolehan untuk mentahqiq kembali pendapat sang Imam ini.Tidak terdapat juga ucapan imam Syafi’i yang mengatakan, bahwa pendapat yang sudah beliau kemukakan harus diamalkan dan tidak boleh diganggu gugat oleh pengikut-pengikut beliau yang sesudahnya. Justru beliau sendiri mengatakan :“Jika kamu dapatkan didalam kitabku sesuatu yang menyalahi sunnah Rasulallah saw, maka ambillah sunnah Rasulallah saw itu dan tinggalkan ucapanku”. 
Ucapan beliau ini walaupun merupakan pertanda ketawadhu’an namun dengan penuh pertimbangan dan semangat kehati-hatian telah dilaksanakan oleh para ulama pengikut beliau. Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa para ulama Syafi’iyah mengikuti saja secara membabi buta ucapan imam Syafi’i, karena kalau itu dilakukan berarti menentang perintah Imam Syafi'i sendiri. 

Contoh-contoh fatwa imam Syafi’i yang ditahqiq (dikritisi) kembali
Ada beberapa masalah yang sudah diputuskan oleh Imam Syafi’i, tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang teliti ditahqiq kembali oleh para ulama madzhab Syafi’i belakangan dan hasil pentahqigan mereka itulah yang berlaku dan diamalkan didalam madzhab Syafi’i. Contoh diantara masalah-masalah tersebut ialah: 

– Hukum shalat idul fithri dan idul Adha ,menurut imam Syafi’i, wajib atas orang-orang yang berkewajiban menghadiri shalat Jum’at. Beliau mengatakan didalam Al-Mukhtasar: “Barangsiapa wajib atasnya menghadiri jum’at, maka wajib atasnya menghadiri idul fithri dan idul adha”.
Pendapat beliau ini oleh para sahabat Syafi’i dibawa kepada pengertian yang tidak seperti dhohirnya, karena menimbulkan hukum kewajiban (fardhu a’in) atas sholat dua hari raya tersebut dan ini menyalahi ijmak kaum muslimin. Oleh karen itulah beberapa tokoh madzhab Syafi’i seperti Abu Ishaq dan Al-Istakhri memberi komentar sebagai berikut: a.Menurut Abu Ishaq, ucapan imam Syafi’i itu adalah: “Barangsiapa dituntut shalat jum’at secara wajib, maka dia dituntut shalat id secara sunnah”.
b. Menurut Al-Istakhry, maknanya ialah: “Barangsiapa dituntut shalat jum’at secara fardhu, maka dia dituntut shalat id secara (fardhu) kifayah”. Dan ternyata yang terpakai dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa hukum sholat dua hari raya itu bukan wajib melainkan sunnah muakkadah.

– Dua qaul dari Imam Syafi’i yakni qaul jadid dan qaul qadim. Tujuan beliau dengan qaul jadid ialah agar inilah yang dipakai dan diamalkan sedangkan qaul qadimnya ditnggalkan. Namun oleh para ulama madzhab Syafi’i dengan pertimbangan yang teliti, mengecualikan 20 masalah. Dalam  20 masalah ini yang dipakai adalah qaul qadim, sedangkan qaul jadidnya ditinggalkan.
– Masalah hadiah pahala bacaan Al-Qur’an. Imam Syafi’i ,kalau itu memang benar,  mengatakan tidak sampainya pahala bacaan, namun dengan pertimbangan beberapa dalil para ulama Syafi’iyah , sebagian nama ulama telah kami kemukakan, pahala bacaan itu akan sampai dan fatwa inilah yang berlaku dan diamalkan dalam madzhab Syafi’i.   
a. Didalam kitab Bujairimi Minhaj jilid 3/286 : “Perkataan: ‘Sesungguhnya tidak sampai pahala bacaan’ adalah dhoif, sedangkan perkataan : ‘Dan sebagian ashab Syafi’i mengatakan sampai’ adalah muktamad (terpegang)”. 
b. Memahami bahwa pernyataan Imam Syafi’i itu mengandung pengertian jika Al-Qur’an tidak dibaca dihadapan mayit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan itu untuknya.

Pengertian seperti ini tersebut dalam kitab Fathul Wahhab karangan Syeikh Zakaria al-Anshari jilid II/19. Walaupun sekiranya imam Syafi’i mengatakan tidak sampai pahalanya, tetapi beliau tetap mengakui adanya segi positif bacaan Al-Qur’an terhadap orang mati. Hal ini karena terbukti beliau menyukai diamalkannya hal tersebut.
– Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar hal.137 menulis: “Berkata imam Syafi’i dan para ashab: ‘Disunnahkan seseorang membaca sebagian ayat Al-Qur’an untuk orang yang wafat. Para sahabat beliau berkata: Jika dia menamatkan seluruh Al-Qur’an niscaya akan baik sekali’”.

– Dalam kitab Tuhfah jilid VII/71, imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan: “Imam Syafi’i dan ashab menashkan bahwa sunnah membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah disamping mayit dan berdoa sesudahnya, karena doa disitu lebih bisa diharapkan pengabulannya dan karena mayit akan mendapatkan berkah bacaan Al-Qur’an seperti halnya orang yang hadir”.

– Dalam kitab Ar-Ruh hal. 13 Ibnul Qayyim menyebutkan: “Berkata Hasan bin Sholeh Az-Za’farani: ‘Aku pernah bertanya kepada imam Syafi’i tentang membaca Al-Qur’an disamping kubur. Beliau menjawab: Tidak mengapa…..’ “.

1 komentar:

  1. Terimakasih atas pejelasan
    insya allah saya minat/membeli untuk mepelajari kamus/kitab itu

    BalasHapus